x

Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) (Sumber: Liputan6/Putu Merta)

Iklan

Abd. Malik Efendi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 7 April 2023

Senin, 5 Juni 2023 07:51 WIB

Sistem Pemilu Proporsional Tertutup Lebih Efisien, Namun dengan Syarat

Sistem yang diterapkan zaman itu dinilai telah mengkerdilkan suara rakyat yang diwakilinya, dan lebih merepresentasikan suara elit parpol. Dari pengalaman pahit itulah, para pembentuk Undang-Undang di Tahun 2003 memgubah arah kebijakannya menjadi sistem proporsional terbuka.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Catatan sejarah Republik Indonesia, dalam merumuskan aturan pemilu yang digunakan masih terkenang dua peraturan, yakni proporsional tertutup dan proporsional terbuka. Penerapan sistem proporsional tertutup pernah diaplikasikan pada tahun: 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, dan 1999. Sedangkan sistem terbuka diterapkan pasca reformasi Tahun 1998, hingga pemilu 2004, 2009, 2014, dan 2019.

Pilihan pada sistem proporsional tertutup kala itu tidak bisa dilepaskan dari asal-usul atau suka duka dalam praktik peraturan pemilu-pemilu di masa Orde Baru. Sistem yang diterapkan zaman itu dinilai telah mengkerdilkan suara rakyat yang diwakilinya, dan lebih merepresentasikan suara elit parpol. Dari pengalaman pahit itulah para pembentuk Undang-Undang di Tahun 2003 mengubah arah kebijakannya menjadi sistem proporsional terbuka.

Dalam sistem proporsional tertutup pemilih diyakinkan dengan hanya bisa memilih parpol saja, pemilih juga tidak tahu dan tidak bisa memilih langsung siapa calon anggota legislatif (Caleg) yang terpilih dan bakal menjadi anggota dewan di DPR maupun di DPRD.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Caleg terpilih adalah mereka yang diajukan parpol berdasarkan nomor urut, misalnya parpol mendapatkan jatah dua kursi maka caleg terpilih adalah caleg dengan nomor urut 1 dan 2. Dalam sistem ini banyak yang mengkritisi 'sama saja beli kucing dalam karung'.

Sementara, peraturan Proporsional Terbuka berjalan sebaliknya. Pemilih bebas memilih siapa caleg yang akan mewakilinya di DPR dan DPRD. Meskipun Proporsional Terbuka secara teori nampak lebih memperlihatkan nilai-nilai demokrasi karena meningkatkan peran serta pemilih, namun juga selalu menuai banyak kritikan baik dari tokoh agama, akademis dan praktisi khususnya bagian dalam pemilu legislatif.

Bahkan saya juga berpendapat bahwa dalam praktiknya, sistem terbuka yang kita kenal saat ini tidak menghasilkan sistem demokrasi yang diharapkan setelah reformasi 1998 dulu, tetapi justru menciptakan suasana demokrasi yang pragmatis dan tidak sehat akibat maraknya politik uang, keterikatan antar kandidat, dan penggunaan politik identitas dengan emosi yang membanjiri persepsi masing-masing partisipan tentang SARA, sehingga menyebabkan polarisasi masyarakat seperti yang terjadi pada pemilu sebelumnya. 

Selain itu, untuk menghindari hadirnya oportunis politik atau caleg kutu loncat, sistem proporsional tertutup lebih efisien namun juga harus dilengkapi dengan syarat, seperti caleg harus sudah menjadi anggota partai dengan kurun waktu tertentu, paling tidak tiga tahun sebelum pendaftaran calon misalnya, atau dibuatkan regulasi di internal semua parpol yang pada intinya mencegah agar kejadian-kejadian yang sudah terjadi tidak terulang kembali.

Namun, bila akan dilakukan peninjauan sistem pemilu oleh pembentuk undang-undang, maka mestilah dilakukan secara terbuka dan akuntabel dengan terlebih dahulu merumuskan secara jelas tujuan-tujuan pemilu yang hendak dicapai. Harus dipastikan bahwa pilihan atas sistem pemilu adalah koheren dengan sistem kepartaian, sistem perwakilan, dan sistem pemerintahan agar cita-cita demokrasi kita mampu terkonsolidasi kuat.

Lagi pula, perubahan sistem pemilu yang mendekati agenda pemilu serta mendapat dukungan dari partai yang sedang berkuasa juga menjadikan indeks demokrasi kita kian menurun.

Terkait dengan pemilu 2024? Tentu saja, kondisi objektif saat ini jelas tidak mampu mengubah sistem pemilu, terutama dalam hal metode pemungutan suara, karena pihak penyelenggara sudah mulai melaksanakan. Dalam hal ini, saya sependapat dengan salah satu peserta, aktivis dan konstituante Titi Anggraini yang juga sebagai ahli dalam perkara tindak lanjut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 terkait Pemilihan Umum (UU Pilkada) yang akan dilaksanakan pada Senin (15/5/2023) di ruang sidang pleno MK.

Karena tahapan pemilu sedang berlangsung dan memasuki fase-fase yang menentukan. Sebaiknya setiap pihak yang terlibat fokus mempersiapkan diri secara optimal untuk semua tahapan dan pencegahan serta antisipasi berbagai potensi masalah. Tentunya harus melihat dan mengevaluasi serta merefleksi penyelenggaraan pemilu serentak di Tahun 2019 lalu. 

Sistem pemilu dengan segala jenis dan karakteristiknya baik proposional tertutup atau terbuka merupakan kebijakan hukum yang terbuka bagi pembuat undang-undang. Artinya, pilihan legislator dalam memilih sistem pemilu yang lebih cocok, harus menyesuaikan dengan negara dan tujuan yang ingin dicapai dari sistem pemilu tersebut. Sistem proporsional terbuka dengan suara terbanyak dan sistem tertutup keduanya sangat bermanfaat sepanjang sesuai dengan keadaan dan tujuan yang ingin dicapai dari undang-undang pemilu. 

Jika hanya mengacu pada keselarasan hukum melalui putusan Nomor 22-24/PUU-VI/2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD berdasarkan suara terbanyak, dan Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa pemilu dengan sistem proporsional terbuka lebih relevan karena telah memberikan kebebasan kepada rakyat untuk menentukan calon legislatif yang dipilih, itu juga tidak berdasar pada harapan demokrasi kita saat ini, karena kenyataannya demokrasi kita telah melahirkan demokrasi yang pragmatis seperti saat ini dengan metode sistem pemilu proporsional terbuka.

Oleh sebab itu, sistem yang menjadikan kegagalan kita dalam menggapai suasana demokrasi yang kuat dan sehat harus segera dirubah. Sistem proporsional tertutup bisa kembali menjadi kepercayaan masyarakat namun dengan syarat tidak hanya menjadikan parpol sebagai kendaraan dan merepresentasikan kepentingan elit parpol, tetapi juga harus menjadikannya sebagai alat perjuangan untuk menyalurkan suara rakyat yang sesungguhnya. Jadi perubahannya tidak hanya pada sistem pemilunya, namun juga syarat bagi para calon dan seluruh partai politik. ****

Ikuti tulisan menarik Abd. Malik Efendi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler