x

Ilustrasi Politisi. Karya Mustafa Kucuk dan V. Gruenewaldt dari Pixabay.com

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Selasa, 6 Juni 2023 09:21 WIB

Politik Elite Sepi Kesertaan Rakyat

Mendekati 2024, elite politik semakin sibuk, bukan hanya menentukan siapa yang bisa berlaga di arena pemilihan presiden, tapi juga berusaha mengubah aturan permainan. Dalam kesibukan ini, rakyat berada di luar arena permainan--tidak terlibat dan tidak dilibatkan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Mendekati 2024, kesibukan para politikus semakin meningkat. Elite politik terlihat sangat sibuk menjalin komunikasi di antara mereka. Saling berkunjung di antara ketua umum partai terus berlangsung. Aktivitas ini niscaya tidak akan mengendor hingga pemilihan umum digelar tahun depan. Dinamika politik pun akan semakin meningkat dan kita belum bisa memperkirakan hingga seberapa tinggi suhunya nanti.

Bagi elite politik, saat ini ada satu isu pokok yang mesti segera mereka selesaikan agar langkah berikutnya menjadi lebih jelas, yaitu menentukan siapa yang mesti digandeng untuk berkoalisi dalam pencalonan presiden dan siapa calon wapresnya. Meskipun sejumlah nama sudah muncul, seperti Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, dan Prabowo Subianto, namun hingga kini belum ada satupun nama yang secara resmi diumumkan sebagai calon wakil presiden untuk mendampingi ketiga politikus itu. Kepastian keikutsertaan ketiga nama tersebut pun masih menunggu saat pendaftaran capres nanti.

Nama calon wapres pun sangat bergantung kepada koalisi akhir yang akan terbentuk. Negosiasi antar elite belum mencapai kata final. Golkar, misalnya, masih bimbang akan mendukung Ganjar atau Prabowo. Tarik-menarik kepentingan elite partai terkait dengan siapa cawapres yang ingin mereka usung. PKB ingin Muhaimin yang jadi wapres, Golkar mungkin ingin Airlangga yang jadi cawapres setelah peluang untuk menjadi capres tidak menunjukkan tanda-tanda menguat, PAN kabarnya ingin Erick Thohir, PPP ingin Sandiaga Uno.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Elite politik masih sibuk menimbang-nimbang kekuatan dan kelemahan calon koalisi yang benar-benar tepat untuk diajak mengusung pasangan capres-cawapres. Siapa yang akan dijadikan cawapres tampaknya menjadi bahan negosiasi partai untuk berkoalisi atau tidak. Karena belum ada kepastian inilah, nama-nama tadi belum juga dapat dipastikan akan menjadi cawapres bagi Prabowo ataupun Ganjar. Koalisi yang relatif paling jelas—Demokrat, Nasdem, dan PKS—juga belum menentukan siapa pendamping Anies. Mungkin koalisi ini akan mencari nama di luar nama-nama tadi.

Bahkan, sebabai Ketua Mmum PKB, nasib Muhaimin Iskandar masih mengambang—belum pasti ia mendampingi Prabowo. Ini menunjukkan bahwa meskipun membutuhkan PKB, tapi Prabowo dan elite Gerindra masih belum yakin bahwa Muhaimin merupakan sosok yang tepat untuk cawapresnya.

Praktis, semua elite politik masih mencari-cari mitra koalisi yang tepat agar pasangan capres-cawapres yang mereka usung mampu memenangi pemilihan. Tentu saja, semua elite ingin menang. Tak heran bila kemudian banyak waktu, pikiran, energi, maupun finansial yang dicurahkan agar mereka bisa segera memastikan berkoalisi dengan parpol yang tepat dan menemukan pasangan capres-cawapres yang juga tepat.

Intensitas komunikasi politik di antara elite jelas meningkat. Elite politik yang menjabat menteri pun semakin teralihkan perhatiannya pada masalah persiapan menghadapi pemilu 2024. Di tengah peningkatan dinamika politik ini, rakyat nyaris tidak terlibat di dalamnya. Warga masyarakat juga tidak terlibat dalam diskursus politik mengenai isu-isu yang akan menyangkut masa depan mereka. Bahkan, dalam isu penundaan pemilu maupun perubahan dari pemilu terbuka ke tertutup pun sebagian besar rakyat berada di pinggiran wacana.

Elite politik tampaknya merasa bahwa isu capres-cawapres betul-betul urusan mereka sendiri, dalam arti mereka merasa paling berhak menentukan siapa figurnya. Rakyat cukup tahu, tak usah terlibat dalam proses penentuan figur tersebut. Begitu pula, isu penundaan pemilu maupun perubahan ke pemilu tertutup praktis hanya melibatkan pihak-pihak yang mengajukan gugatan perubahan. Rakyat banyak berada di luar arena permainan.

Ketidakterlibatan rakyat pada wacana ini tentu saja menguntungkan elite politik, sebab mereka tidak perlu bersusah payah berupaya agar kedua isu tersebut gol. Mereka tinggal menunggu keputusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat, sehingga jika mayoritas hakim menyetujui tuntutan dalam kedua isu tersebut, rakyat tak punya pilihan kecuali mengikuti. Tragisnya, Mahkamah Konstitusi semakin memperlihatkan kecenderungan untuk berpihak pada kekuasaan ketimbang masa depan kenegaraan.

Sejauh ini, keterlibatan rakyat hanya sebatas sebagai responden survei yang diadakan lembaga tertentu untuk mengetahui siapa sosok politikus yang populer di mata masyarakat. Jumlah warga masyarakat ini, tentu saja, amat sangat sedikit. Sebagian lainnya bergabung dalam kelompok yang menyebut diri ‘relawan’, dan sikap politik mereka juga lebih diarahkan oleh elite politik.

Bila menyaksikan realitas politik seperti ini, ikhtiar untuk membangun kembali demokrasi setelah 1998 membentur dinding tebal oligarki. Mereka tidak akan membiarkan demokrasi berjalan sehat dan berusaha keras agar kehendak rakyat berada dalam kendali mereka. Menjadi sukar rasanya untuk menyebut pemilu 2024 nanti sebagai pesta demokrasi rakyat. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler