x

Ilustrasi kegiatan sektor sawit. Sumber foto: sindonews.com

Iklan

Bagas Indrayatna

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 1 Mei 2023

Senin, 5 Juni 2023 08:16 WIB

Mampukah Cangkang Sawit Menjawab Kebutuhan Biomassa Co-firing PLTU di Indonesia?

Secara berangsur-angsur, pemerintah melakukan persiapan untuk implementasi co-firing biomassa pada PLTU batubara. Co-firing yakni pembakaran bersama antara batu bara dan biomassa di ruang bakar. co-firing dimanfaatkan untuk mensubtitusi batubara batu bara yang jumlahnya sudah mulai menurun. Metode ini dirasa lebih ramah lingkungan daripada penggunaan batubara penuh dalam ruang bakar PLTU. Faktor emisi Gas Rumah Kaca (GRK) menjadi alasan karena ­metode co-firing menjanjikan penurunan emisi CO2. Selain itu, co-firing juga berdampak positif pada pengembangan ekonomi kerakyatan yang produktif (circullar economy) melalui penciptaan ekosistem listrik kerakyatan dan koperasi yang melibatkan partisipasi masyarakat secara aktif dalam pelaksanaannya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh: Bagas Indrayatna

Awal tahun 2021, Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral melakukan Rapat Dengar Pendapat (RPD) dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam rapat ini disampaikan bahwa terdapat 4 (empat) program strategi subsektor energi baru terbarukan dan konservasi energi tahun 2021. Empat program tersebut diantaranya yaitu, program mandatori B30, pengembangan co-firing biomassa, pengembangan PLTS secara massif, dan konversi pembangkit-pembangkit fosil ke energi terbarukan. 

Secara berangsur-angsur, pemerintah melakukan persiapan untuk implementasi co-firing biomassa pada PLTU batubara. Co-firing yakni pembakaran bersama antara batu bara dan biomassa di ruang bakar. co-firing dimanfaatkan untuk mensubtitusi batubara batu bara yang jumlahnya sudah mulai menurun. Metode ini dirasa lebih ramah lingkungan daripada penggunaan batubara penuh dalam ruang bakar PLTU. Faktor emisi Gas Rumah Kaca (GRK) menjadi alasan karena ­metode co-firing menjanjikan penurunan emisi CO2. Selain itu, co-firing juga berdampak positif pada pengembangan ekonomi kerakyatan yang produktif (circullar economy) melalui penciptaan ekosistem listrik kerakyatan dan koperasi yang melibatkan partisipasi masyarakat secara aktif dalam pelaksanaannya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Lebih dalam, metode ­co-firing menjadi jawaban atas energi terbarukan di Indonesia. Karena Indonesia sendiri telah ikut dalam Perjanjian Paris dan menargetkan penggunaan Energi Baru Terbarukan (EBT) di Indonesia mencapai 23%. Terlepas dari itu semua, seluruh upaya diatas dilakukan untuk mencapai rasio elektrifikasi nasional 100%. Menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) rasio elektrifikasi nasional pada 2020 naik 14,85% dari tahun sebelumnya menjadi sebesar 99,20%. Ini merupakan angka yang cukup fantastis dan harus segera didukung untuk bisa mencapai elektrifikasi nasional 100%.

Berbagai jenis biomassa digunakan untuk melaksanakan program co-firing ini. Salah satunya yaitu cangkang kelapa sawit. Cangkang kelapa sawit merupakan produk samping dari industri pengolahan kelapa sawit dari Tandan Buah Segar (TBS) menjadi minyak sawit kasar (Crude Palm Oil). Dalam proses pengolahannya dihasilkan produk utama yaitu CPO dan Palm Kernal Oil (PKO). Sedangkang produk sampingnya berupa cangkang, serabut, janjangan kosong dan limbah cair kelapa sawit. Semua produk samping Pabrik Kelapa Sawit (PKS) dapat dikelompokkan menjadi biomassa karena potensinya yang dapat diolah menjadi bioenergi.

Dilihat dari mass balance, persentase produktivitas cangkang sawit per satu ton TBS yaitu 64 kg atau 6.4 persennya. Ini merupakan potensi yang besar karena dilihat produktivitas kelapa sawit Indonesia yang mencapai 49,2 juta ton per tahun. Dalam sebuah riset memproyeksikan bahwa produktivitas cangkang kelapa sawit nasioanl tahun 2020 sebesar 10.4 juta ton dan di tahun 2030 mencapai 14.8 juta ton. Proyeksi tersebut berdasarkan analisis data produktivitas cangkang sawit dari 2002-2015. Pada grafik dibawah cangkang sawit atau Palm Kernel Shell (PKS) divisualisasikan dengan warna hitam.

Sumber : Hambali, E., & Rivai, M. (2017). The Potential of Palm Oil Waste Biomass in Indonesia in 2020 and 2030. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, 65, 012050. https://doi.org/10.1088/1755-1315/65/1/012050

Saat ini cangkang kelapa sawit digunakan sebagai bahan bakar boiler di PKS yang disubtitusi dengan serabut. Perbandingan bahan bakar cangkang dan serat kelapa sawit yang digunakan adalah 1 : 3 yaitu 25% cangkang dan 75% serat. Dengan penggunaan perbandingan ini sisa cangkang sawit di PKS sangatlah melimpah.

Seiring kebutuhan energi yang semakin besar namun energi fosil mulai habis, cangkang kelapa sawit dihadirkan sebagai komponen subtitusinya. Jika dilihat dari nilai kalor yang terkandung dalam biomassa ini, cangkang sawit memliki nilai kalor yang tidak kalah jauh dengan bahan bakar fosil. Nilai kalor cangkang sawit (biomasa) nilai kalori 4760 Kcal sedangkan nilai kalor batubara tipe sub-bituminus yaitu 5040 Kcal. Potensi energi listrik yang dihasilkan cangkang sawit sangar besar jika ditinjau dari kapasitas pengolahan yang bervariasi antara 30, 45, dan 60 ton per jam. Dengan asumsi kapasitas pengolahan 60 ton/ jam, dalam sehari menghasilkan 84,48 ton cangkang sawit (asumsi waktu operasional pabrik 22 jam/hari). Potensi energi listrik kemudian dihitung dengan nilai kalor 4760 Kcal, 1 kWh sama dengan 860,5 Kcal dan efisiensi alternator 95,6 % sehingga diperoleh 447 MWh dalam sehari.

Dengan kondisi nilai kalor cangkang sawit yang tinggi ditambah pasokan melimpah, membuat cangkang sawit menjadi primadona biomassa co-firing PLTU. Beberapa PLTU seperti PLTU Ketapang dan PLTU Sanggau di Kalimantan Barat telah menggunakan cangkang sawit sebagai biomassa co-firing. Sebagai perusahaan suplai listrik nasional, PLN juga telah melaukan uji coba co-firing di 114 unit PLTU yang tersebar di 52 lokasi. Dibutuhkan pellet biomassa sekitar 4 juta ton/tahun, dengan asumsi persentase pencampuran cangkang sawit sebesar 5% pada boiler jenis PC dan CFB serta sebesar 30% pada boiler jenis stoker untuk memenuhi kebutuhannya. Bukan hanya dilirik oleh para stakeholder dalam negeri, namun perusahaan-perusahaan luar negeri seperti Jepang juga melirik biomass ini. Bahkan setiap tahunnya, Jepang membutuhkan sekitar 10 juta ton cangkang kelapa sawit dari Indonesia.

Dengan segala potensi yang ada pemanfaatan cangkang sawit dalam negeri belum begitu maksimal. Potensi pasokan sudah mencukupi proyeksi kebutuhan, tapi regulasi dan teknis pemanfaatan belum ditetapkan. Hal ini membuat pelaksanaan co-firing cangkang sawit belum berjalan secara optimal. Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE)  bekerja sama dengan PT. PLN (Persero) telah menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) Nasional Co-firing Biomassa pada PLTU. FDG ini merupakan kelanjutan dari tahap uji coba terhadap potensi biomassa termasuk cangkang kelapa sawit. Setelah melalui tahapan uji coba, sebelum menuju implementasi Co-firing dengan pola operasi komersial, maka diperlukan penyiapan instrumen pendukung dan koordinasi intensif terkait regulasi teknis, kesiapan aspek teknologi, pasokan bahan bakar, aspek keekonomian serta dukungan kebijakan lintas sektor.

FGD ini membahas tentang Rancangan Standar Nasional Indonesia (RSNI) pelet biomassa dan bahan bakar jumputan padat untuk pembangkit listrik, pembahasan kesiapan teknologi, industri penunjang penyediaan pasokan biomassa, pembahasan kebijakan, regulasi, dan dukungan pendanaan. Hasil dari FGD ini yaitu disusunnya roadmap program co-firing beserta kebutuhan bahan bakunya serta penerapan teknologi dan industri penunjang yang mendukung serta penyusunan naskah akademis sebagai dasar penyusunan regulasi yang diperlukan dalam implementasi co-firing PLTU.

Dengan segala potensi yang ada cangkang sawit menjadi primadona biomassa saat ini. Ditinjau dari pasokan, cangkang sawit mampu mencukupi kebutuhan biomassa co-firing nasional. Tapi perlu adanya kolaborasi dan harmonisasi semua pihak untuk dapat mengoptimalkan penggunaan biomass ini. Mulai dari pemerintah, pengusaha, LSM, akademisi, engineer hingga seluruh eleman masyarakat. Aspek sosial, ekonomi, dan teknologi harus berjalan bersama untuk mengiring implementasi co-firing cangkang sawit di PLTU nasional. Demi terciptanya kemandirian dan keberlanjutan energi di Indonesia.

Ikuti tulisan menarik Bagas Indrayatna lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler