Permukaan Air Terus Naik, Sampai Kapan Warga Desa Timbulsloko Mampu Bertahan?
Rabu, 7 Juni 2023 19:20 WIBDesa Timbulsloko, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, kian lama makin tenggelam oleh banjir rob. Kawasan yang dulunya hijau oleh lahan sawah, kini hanya terlihat perairan sejauh mata memandang. Warga desa yang tak bisa pindah, harus bertahan dengan melakukan banyak adaptasi. Tapi, smapai kapan mereka bisa menghadang semua ini?
Nama Timbulsloko barangkali sudah tidak asing lagi di telinga banyak orang, terutama mereka yang aktif mengikuti isu-isu lingkungan. Nama ini kerap wira-wiri di banyak media dan sering kali menjadi topik perbincangan berbagai kalangan.
Timbulsloko adalah desa di Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, yang hampir tenggelam akibat invasi air laut Pantai Utara (Pantura) Jawa ke daratan. Desa ini menjadi salah satu wilayah di sepanjang Pantai Utara Jawa yang terdampak paling parah akibat naiknya air laut ke daratan.
Dulu wilayah Timbulsloko adalah daratan tulen yang merangkai cerita indah masa kecil anak-anak yang sekarang sudah menjadi orang tua, beranjak simbah, bahkan juga yang telah menjadi simbah. Tapi itu gGambaran yang amat beda dengan keadaan Timbulsloko sekarang ini.
Timbulsloko yang sekarang adalah desa yang antarrumah dihubungkan dengan jembatan kayu sebagai sarana saling berkunjung. Artinya, sudah tidak ada lagi daratan di Timbulsloko, yang ada hanyalah air laut bercampur tawar di penjuru desa. Memang ada wilayah kecil daratan yang belum terendam air, tetapi daratan tersebut adalah tempat pesarehan atau kuburan.
Tulisan ini akan sedikit menceritakan kehidupan masyarakat Timbulsloko di tengah ancaman pemukiman mereka yang makin tenggelam.
Diuber Segoro
Perjalanan melihat secara langsung kondisi Timbulsloko ini adalah pertama kali bagi penulis. Sebelumnya memang kerap mengikuti isu-isu lingkungan dan agraria dari berbagai media LSM seperti Walhi, Greenpeace, Jatamnas, dan lain sebagainya. Sehingga masalah di Timbulsloko ini sudah sedikit mengerti. Belakangan ada niatan melihat secara langsung wilayah isu/konflik lingkungan di sana.
Tanpa perkiraan, ternyata muncul acara Diuber Segoro: Merespon Pesisir Pantura yang Semakin Tenggelam yang diinisiasi mahasiswa BEM KM Universitas Negeri Semarang (Unnes) dan beberapa LSM. Sehingga tanpa pikir panjang penulis tak ragu mendaftar untuk ikut serta.
Diuber Segoro merupakan kegiatan belajar dan bentuk respon atas keadaan pesisir pantura yang makin terancam oleh rob. Acara yang dimaksudkan memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia 5 Juni ini dirangkai dalam beberapa kegiatan, antara lain, menulis (puisi, cerpen, dan artikel), melukis, dan dokumenter (foto dan video). Kegiatan tersebut ditujukan untuk mengangkat isu-isu lingkungan di Timbulsloko agar semakin banyak orang tahu dan peduli.
Jika merujuk pada esensinya, acara semacam Diuber Segoro ini memang sangat perlu digiatkan. Sebab afeksi dan kepedulian masyarakat luas terlalu minim dalam soal lingkungan. Terutama sekali di lingkungan kampus, yang seharusnya lebih memiliki kepedulian.
Munculnya gerakan kepedulian akan lingkungan hanya tumbuh pada tempat masalah lingkungan terjadi. Padahal kita sebagai manusia sudah seharusnya turut peduli minimal prihatin atas masalah-masalah lingkungan. Itu terlepas di mana masalahnya muncul. Semoga acara semacam ini dapat melahirkan kepedulian banyak orang terkait permasalahan lingkungan yang ada.
Kondisi Timbulsloko Terkini
Menurut data yang dihimpun dari berbagai sumber, rob mulai memasuki wilayah Timbulsloko sekitar tahun 2012. Ketika itu rob yang menggenangi daratan ini tidak terlalu tinggi, hanya sekitar 10-15 cm, dan itupun tidak setiap saat (kompas.id). Artinya rob hanya menggenangi diwaktu tertentu saja, dan kemudian bisa surut. Data tersebut adalah kondisi Timbulsloko dalam rentang waktu 10 tahun yang lalu. Lantas seperti apa kondisi Timbulsloko yang sekarang?
Pada Minggu, 4 Juni 2023, penulis bersama sekitar 50-an orang dari berbagai latarbelakang menilik langsung Desa Timbulsloko. Pusat kegiatan dilaksanakan di Masjid Al Ikhlas Dukuh Timbulsloko, dengan kegiatan bermain dan srawung dengan anak-anak setempat. Peserta yang ikut dipersilahkan menyebar melakukan kegiatan yang telah dipilih, mulai dari menulis, melukis, dan dokumenter.
Segeralah penulis menjelajahi jalanan kayu Timbulsloko dari ujung ke ujung untuk mengumpulkan data. Banyak sekali fakta dan informasi terkini mengenai kondisi wilayah ini. Pertama, rob yang menggenangi wilayah Timbulsloko ketinggiannya berkisar antara 70 cm sampai 1 meteran, bahkan di beberapa titik ada yang mencapai 1,5 m. Kondisi ini jelas semakin parah bila dibandingkan dengan kondisi ketika tahun 2012. Menurut penuturan beberapa warga, jika malam hari air sering kali makin meninggi hingga menggenangi panggung kayu.
Kedua, banyak rumah yang telah ditinggalkan pemiliknya, bahkan beberapa rumah sudah hancur atau memang sengaja dihancurkan terlebih dahulu sebelum ditinggalkan. Warga yang masih bertahan beradaptasi dengan membuat lantai semi permanen yang tinggi dari papan.
Ketiga, jalan untuk mobilitas warga adalah jalanan yang terbuat dari papan kayu dan bambu. Jalan utama memang masih bisa dilewati karena belum sepenuhnya tenggelam, tetapi dibeberapa titik juga tergenangi air. Keempat, air rob sudah menggenangi seluruh wilayah Timbulsloko, tetapi ada satu daratan yang belum tenggelam yaitu komplek pemakaman. Hal tersebut adalah keadaan Timbulsloko dari sisi kondisi fisik.
Dilihat dalam kacamata sosial, sebetulnya masyarakat Timbulsloko sudah capai dengan kondisi yang menimpa tempat hidupnya ini. Hanya, saja menurut penuturan Bu Sutiah, warga setempat, mereka yang masih bertahan karena terpaksa sebab tak memiliki tanah di daerah lain, juga adanya keterbatasan dana. Mau tidak mau warga memilih bertahan di tengah kondisi Timbulsloko yang makin tenggelam.
Beberapa fakta sosial lain yang diperoleh yaitu: Pertama, dengan kondisi ini maka jelas banyak warga yang kehilangan sumber ekonominya, terutama sekali adalah mereka yang mengandalkan ekonomi budidaya seperti pertanian dan tambak. Maka jelas kondisi ini menghambat roda ekonomi masyarakat Timbulsloko. Kedua, anak-anak kehilangan tempat bermainnya. Sebab sejatinya masa kecil orang daratan tidak bisa dilepaskan dari tanah tempat berpijak. Kondisi ini mengharuskan anak-anak Timbulsloko bermain-main dengan melibatkan air, seperti renang dan dayung perahu.
Ketiga, terganggunya akses pendidikan dasar setempat. Dari penuturan anak-anak yang seliweran, banyak diantara mereka yang bersekolah di luar Timbulsloko, karena kondisi sekolah dasar di desa ini juga sama kondisinya dengan rumah-rumah mereka. Keempat, tumbuhnya rasa cemas dan was-was dalam masyarakat Timbulsloko. Dampak ini memang sulit untuk dihindari, karena besarnya kemungkinan makin tingginya rob tanpa terprediksi sebelumnya.
Dalam satu momen, Bu Sutiah mengatakan dengan nada sedih, "Dulu, ya, mas sewaktu saya masih kecil, daerah sini itu persawahan, ditanami padi, jagung, ada juga tambak di daerah sana. Tapi, ya, beginilah sekarang."
Bagi masyarakat Timbulsloko yang pernah merasakan daratan, jelas ada rasa sedih ada dalam hati mereka. Tetapi tidak banyak yang bisa mereka lakukan, saling menguatkan dan ulur tangan sesama telah cukup menabahkan hati mereka. Masyarakat juga mengucapkan terima kasih bagi berbagai pihak yang selama ini telah banyak membantu. Mereka juga terbuka dan tidak menolak segala bantuan yang mendukung bagi keberlangsungan kehidupan di Timbulsloko.
Potret Timbulsloko
Resistansi Masyarakat Timbulsloko di Tengah Makin Meningginya Rob
Masyarakat Timbulsloko yang memilih pindah dan meninggalkan rumah-rumah mereka yang makin digempur banjir rob, berarti mereka telah lega, karena terbebas bayang-bayang rob Pantai Utara Jawa. Sementara bagi keluarga-keluarga yang memilih bertahan, mereka mencoba beradaptasi dan mencari berbagai antisipasi terhadap kondisi baru lingkungan mereka ini. Adaptasi dalam hal ini berarti cara untuk bertahan melalui solusi dan jalan alternatif yang mungkin untuk dilakukan.
Beberapa upaya untuk adaptasi yang dilakukan masyarakat Timbulsloko, yaitu: Pertama, meninggikan rumah selayaknya seperti rumah panggung. Tidak ada cara lain selain membuat panggung kayu semi permanen di dalam rumah, mengingat debit rob yang makin lama makin tinggi. "Misalpun kita meninggikan lantai secara permanen dengan menggunakan timbunan tanah itu juga bukan solusi yang tepat Mas. Kan, bisa saja sewaktu-waktu air ini makin tinggi lagi melebihi batas timbunan tadi," ujar salah seorang warga.
Jadi untuk sementara ini barangkali panggung kayu tersebut adalah solusi yang tepat, karena jika air meninggi maka ketinggian panggung bisa ditingkatkan lagi. Tetapi d ibalik itu, masyarakat Timbulsloko juga khawatir jika air rob makin tinggi, berarti ruang dalam rumah akan semakin sempit karena semakin mepet dengan atap rumah.
Kedua, penggunaan sampan dan perahu untuk menunjang mobilitas. Untuk mobilitas yang dekat memang telah dibuat jalan-jalan panggung dari kayu yang menghubungkan antarrumah warga. Tetapi jalanan kayu tersebut tidak memungkinkan untuk menunjang mobilitas yang jauh karena tidak menjangkau sampai ke wilayah yang jauh dari rob. Jadi, banyak ditemui sampan-sampan kecil di sekitar rumah warga, tak lain untuk mencapai titik yang tak terjangkau jalan panggung.
Warga Timbulsloko juga bersyukur karena ada bantuan perahu berukuran sekitar 3 meter yang berjumlah tiga buah dari beberapa pihak,salah satunya dari BPBD. Bantuan ini, seperti diungkapkan salah satu warga, sangat bermanfaat karena mampu menjangkau daratan seberang.
Ketiga, membeli air dari luar Timbulsloko untuk suplai kebutuhan air bersih. Awal sampai di Timbulsloko penulis juga heran dan mempertanyakan bagaimana masyarakat mendapatkan air bersih, sebab jika dari air sumur tidaklah mungkin karena sumur juga terendam air rob. Akhirnya setelah berbincang dengan beberapa warga diketahuilah bahwa air bersih mereka beli di luar Desa Timbulsloko dengan harga Rp 10 ribu untuk setiap satu galon air. Belum lagi ongkos perahu untuk mengangkutnya, jelas hal ini adalah salah satu kesengsaraan yang dirasakan masyarakat Timbulsloko dengan terendamnya desa mereka oleh banjir rob.
Keempat, menanam mangrove sebagai tumbuhan antisipasi. Mangrove memang dikenal sebagai tumbuhan yang bermanfaat, karena akarnya yang menjulang ke udara atau disebut sebagai akar gantung ini memiliki manfaat untuk menahan arus gelombang dan abrasi pantai. Tak salah memang jika tumbuhan ini ditanam di wilayah Timbulsloko ini, setidaknya dapat berguna untuk sedikit mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan dampak banjir rob yang membesar. Ketika penulis berkeliling, mangrove juga acap kali ditemukan di sekitar-sekitar rumah warga.
Beragam upaya di atas rasa-rasanya telah cukup menggambarkan seberapa jauh tekad masyarakat Timbulsloko untuk tetap bertahan hidup dalam kondisi lingkungan yang makin tenggelam. Walaupun disatu sisi mereka juga ingin beranjak meninggalkan desanya itu
Siapa Salah?
Sampai di sini dapat dikatakan bahwa masalah di Timbulsloko tidak hanya soal lingkungan. Tetapi juga merambat dan menghasilkan beragam permasalahan lain, sehingga menjadikannya ladang masalah yang kompleks. Masalah lingkungan Timbulsloko ini sebetulnya juga diakibatkan oleh beragam masalah yang lain sebelumnya. Sehingga jika diuraikan akan menghasilkan pengakaran masalah yang berdampak bagi naiknya air laut ke daratan Timbulsloko.
Kita sebagai manusia modern yang mendapatkan pengajaran, sebetulnya telah diperingatkan oleh apa yang dinamakan global warming dan apa yang disebut sebagai climate crisis. Dalam pandangan praktis hal tersebut agaknya berdampak terhadap tenggelamnya Timbulsloko. Kaitannya adalah global warming yang dikenal sebagai pemicu mencairnya es di kutub sehingga berakibat naiknya permukaan laut, itu ternyata memang benar adanya. Inilah yang menjadi salah satu faktor air laut Pantai Utara bisa mencapai Timbulsloko.
Kemudian terkait pembangunan di sepanjang kota Pesisir Utara Jawa, terutama di Kota Semarang juga memberikan dampak. Bagaimana tidak, seharusnya pembangunan di pesisir Utara Jawa ini perlu pembatasan. Tapi yang terjadi justru pembangunan dibiarkan dengan dalih ekonomi dan industri, maka tak ayal jika keugal-ugalan ini juga menyebabkan beberapa kawasan di pesisir pantura terdampak rob, tak lain juga Timbulsloko. Mekanismenya adalah pembangunan yang makin masif akan semakin menurunkan muka tanah, selain itu kebutuhan akan air tanah juga meningkat, sehingga terjadi penyedotan air tanah dalam jumlah besar yang juga menurunkan muka tanah. Masih dalam lingkup pembangunan, reklamasi dikawasan Pelabuhan Tanjung Mas dalam berbagai kajian akademis juga berakibat pada banjir rob di pesisir pantura.
Pada titik ini, penulis sangat menyayangkan ketidakseriusan pemerintah dalam menanggapi permasalahan ini. Padahal Timbulsloko hanya berjarak 20 kilometer saja dari kantor Bupati Demak dan hanya 24 kilometer dari gubernuran Jawa Tengah. Apakah jarak yang demikian itu kurang dekat untuk menyuarakan pesan-pesan warga Timbulsloko yang hampir tenggelam? Penulis tidak hanya fokus pada era pemerintahan Gubernur Ganjar Pranowo saat ini saja, tetapi juga para gubernur sebelumnya. Sebab masalah Timbulsloko telah menahun, bukan baru muncul di era ini saja.
Tetapi yang penulis tekankan adalah sebegitu diabaikankah sampai-sampai beberapa Desa di Demak telah tenggelam mendahului Timbulsloko? Seharusnya ketika awal permasalah dan isu pesisir pantura ini muncul, pemerintah dahulu mulai bergerak mengkaji dan melahirkan kebijakan yang berkelanjutan agar desa pesisir ini tidak tenggelam. Tetapi sayang sudah telat Desa Bedono telah tenggelam, dan kini masih ada kesempatan untuk mencegah Desa Timbulsloko menyusul Bedono.
Penulis Indonesiana
1 Pengikut
All Eyes on Papua Bukti Ugal-ugalan Negara dalam Eksploitasi Hutan Papua
Senin, 10 Juni 2024 07:50 WIBMasyarakat Belum Siap dengan Pemilu Bersih
Senin, 4 Maret 2024 06:41 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler