Seni Menjadi Mahasiswa Semenjana

Kamis, 21 September 2023 12:47 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pengkotak-kotakan tipe mahasiswa mengalami banyak polarisasi. Ada kategori mahasiswa semenjana, yakni mereka biasa-biasa saja melakoni kerja akademik di perguruan ringgit. Apa salahnya menjadi mahasiswa biasa-biasa saja?

Menjadi mahasiswa bukanlah hal yang sederhana, banyak labelisasi yang tersemat dalam pundaknya, sebut saja agen perubahan, mahasiswa diminta untuk menjadi subjek perubahan, tokoh yang memberi pencerahan ditengah kebuntuan sosial, ini labelisasi yang agak membingungkan sekaligus utopis. Apa indikator yang bisa kita gunakan untuk mengukur berhasil tidaknya seorang mahasiswa menjadi agen perubahan? menyelesaikan makalah? mengerjakan tugas? ikut pengabdian sosial? membangun start up? atau bahkan jumlah followers sosial media jadi indikator keberhasilan?

Sungguh menjadi mahasiswa adalah pekerjaan yang tak sederhana. Mereka tak hanya manusia yang sedang menjalani pendidikan tinggi di sebuah institusi pendidikan, bukan hanya manusia yang belajar, menghadiri kuliah, mengerjakan tugas akademis, atau terlibat dalam proyek penelitian. Dalam perjalanannya, mahasiswa juga dituntut untuk berpikir kritis, rasional, komprehensif, analitis, dan memiliki kemampuan komunikasi yang mumpuni. Sungguh melelahkan kerja-kerja kemahasiswaan modern ini.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tuntutan dan ekspektasi masyarakat juga jadi beban yang tersemat dalam pundak mahasiswa, masih banyak narasi yang membebani, seakan-akan mahasiswa menjadi kelompok masyarakat yang adiluhur, ideal, dan tak boleh salah. Lihat saja saat Manik Marganamahendra memutuskan untuk nyaleg, Presma UI yang dulunya aktivis ini dihujat oleh publik, dikatakan menelan ludah sendiri, tidak konsisten dengan pernyataan dia saat jadi mahasiswa. Kita semestinya perlu memahami kembali, adagium kuno berbunyi bahwa perubahan adalah keniscayaan.

Budaya Mahasiswa Kontemporer

Mahasiswa masa kini setidaknya sedang terpecah jadi dua bagian: mahasiswa aktif dan mahasiswa pasif. Perdebatan keduanya jadi langganan tiap kali penerimaan mahasiswa baru, tiap anak muda yang memutuskan diri untuk melanjutkan studi ke perguruan tinggi, musti melewati fase bimbang, bingung memilih langkah. Mau jadi mahasiswa aktif (aktivis sosial, organisasi, pengabdian, volunter) atau mahasiswa pasif yang semenjana dan biasa-biasa saja.

Kedua pilihan diatas memiliki konsekuensi masing-masing, saya pernah melakoni keduanya. Saat jadi mahasiswa aktif, saya merasakan banyak hal baru dalam hidup, terlibat dalam aktivisme sosial menjadikan saya sadar bahwa banyak sekali permasalahan sosial yang belum usai, problematika tak pernah ditangani dengan serius. Menjadi mahasiwa yang aktif dalam kegiaatan sosial, memberikan saya sudut pandang bahwa menciptakan kebaikan yang masif dan terstruktur itu tak mudah.

Melakoni laku hidup menjadi mahasiwa organisasi mengajarkan saya arti kebersamaan, menegasikan ego sektoral demi kepentingan bersama, kita bisa belajar banyak tentang manajemen jika memutuskan diri untuk jadi mahasiswa organisasi, bukan hanya manajemen waktu agar kehidupan akademik dengan organisasi seimbang, namun juga manajemen emosi dan daya, ini penting kita latih sebagai mahasiswa, dan organisasi menyediakan wadah untuk melatih bagaimana seni mengatur emosi dan energi.

Pengabdian sosial ke daerah tertinggal, terpencil, dan terpinggirkan mengajarkan kita arti bersyukur. Kita dipaksa semesta untuk melihat dunia dengan kacamata yang luas, bahwa masih banyak sekali permasalahan sosial terutama kemiskinan yang perlu penanganan khusus, harus ada integrasi beberapa kekuatan untuk menyelesaikannya. Menjadi mahasiswa yang aktif volunteer pengabdian sosial, melatih kita untuk punya kepekaan dan rasa solidaritas yang tinggi terhadap kebhinekaan di Indonesia, terutama perbedaan kelas sosial.

Menjadi mahasiswa akademik, paradigma yang ada dalam benak mahasiswa semacam ini sangat berbanding terbalik dengan budaya mahasiswa sebelumnya, menuhankan angka dan nilai dalam kelas adalah prioritas mahasiswa akademik, mereka skeptis dengan kehidupan organisasi, juga tak mau terlibat jauh dalam kerja-kerja aktivisme sosial. Tidak ada yang salah, memilih menjadi mahasiswa akademik akan mengajarkan kita banyak hal tentang suka duka pendidikan, riset, inovasi, dan kerja-kerja kepenulisan.

Kuliah pulang kuliah pulang juga jadi pilihan beberapa mahasiswa, mereka menikmati masa produktif untuk hal-hal yang lebih sederhana. Berangkat ke kampus, mendengarkan dosen, pulang mengerjakan tugas, nonton netflix, dan sesekali berlibur. Banyak sekali kawan dekat saya yang memilih jalan hidup seperti ini, hidupnya nampak santai saja di kampus, tak banyak bicara, tak merisaukan isu sosial kekinian, tak begitu risau dengan berita utama media sosial yang pekan ini riuh dengan isu lingkungan dan penengakan hukum. 

Lalu muncul sebuah pertanyaan, mana yang jauh lebih baik untuk dipilih. Tentu jawabannya sangat normatif, baik buruk hanyalah perkara bagaimana mahasiswa memandang dan melakoni, tiap pilihan musti menyertakan resiko dan manfaatnya masing-masing. Tapi kalau masih memaksa saya untuk menjawab mana yang lebih ideal, maka saya akan menjawab, lebih baik menjadi mahasiswa yang semenjana, mahasiswa yang mampu mengharmonisasi segala pilihan. Bahasa mudahnya moderat, seimbang, tengah-tengah.

Seni Menjadi Mahasiswa Semenjana

Rentetan pengalaman menjalani semua skena mahasiswa, membuat saya memutuskan diri untuk jadi mahasiswa semenjana, biasa-biasa saja. Pilihan ini bertumpu pada konsep menjalani apa yang menyenangkan dan meninggalkan apa saja yang menyebalkan, kehidupan kampus nampak makin dinamis jika kita memutuskan jadi mahasiswa semenjana. Sampai sekarang, saya belum menemukan penyesalan dengan laku akademik satu ini.

Mahasiswa semenjana adalah mereka yang bersafari dari satu skena ke skena lain. Kadang mendiskusikan isu kebangsaan dan aktif dalam giat aktivisme. Sesekali melakoni hidup mahasiswa akademik yang kuliah pulang, makan nugas senang-senang. Lalu terlibat dalam proyek pengabdian sosial untuk menjalankan tridharma perguruan tinggi. Kadangkala juga menulis artikel ilmiah untuk pengkayaan dan pengalaman hidup sebagai bagian dunia akademik.

Semuanya dilakukan dengan alasan mendasar yaitu kebahagiaan, dimana ada sumber kebahagiaan, disitulah mahasiswa semenjana terlibat. Langkah selanjutnya adalah tahu batas, jika dalam suatu diskusi kamu sudah merasa muak dan tak cocok dengan alur pembahasan, maka tinggalkan saja, mahasiswa semenjana tak terikat dengan kontrak sosial seperti yang dialami mahasiswa organisasi, kalau golongannya sedang diskusi, mahasiswa organisasi punya keharusan untuk terlibat hingga selesai.

Mahasiswa semenjana juga aktif dalam kelas, mengerjakan tugas dengan senang, presentasi materi dengan santai, dan menjalankan praktik perkuliahan dengan seimbang. Jalan ini bertumpu dengan sikap moderat, dimana tidak ada hierarki, tidak ada pengkotak-kotakan. Mahasiswa semenjana menjalankan apa saja dengan secukupnya, tak berlebihan, dan jika telah memetik kebahagiaan dalam suatu tempat, mahasiswa semenjana akan menetap.

Keahlian semenjana bukanlah hal yang mudah, naluri anak muda terutama mahasiswa punya kecenderungan untuk jadi superior, center of word, dan selalu ingin terlihat keren di mata orang lain. Menjadi biasa-biasa saja dalam perkuliahan adalah tugas rumit, perlu menegasikan ego sektoral, rasa superior, dan kesombongan dalam diri. Berefleksi ke dalam untuk melihat diri sendiri memang tak mudah, perlu perenungan panjang yang melelahkan. Bahkan semenjana saja tak semenjana pada praktiknya.

Menjadi semenjana itu luar biasa, mampu bersikap biasa saja atas pujian,  tak risau dengan makian, dan berpikir santai menghadapi apa saja yang sedang terjadi. Sikap semenjana mengajak kita untuk jauh lebih tenang, berpikir kritis saat ada permasalahan, mengerti batas mana hal yang bisa dikendalikan dan apa-apa saja yang diluar kendali diri. Perjalanan menuju pola pikir semenjana memerlukan perenungan rutin. Sebab sekencang apapun kita untuk mempertahankan ego sektoral, muara dari ini semua adalah sifat semenjana dalam melihat problema.




Bagikan Artikel Ini
img-content
Geza Bayu Santoso

Philosophy Student, Faculty of Ushuluddin and Islamic Thought, State Islamic University Sunan Kalijaga Yogyakarta

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler