Prestasi yang Sia-Sia

Rabu, 27 September 2023 20:01 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tubuhku bagai tersambar petir, badanku kaku seketika. Kurasakan jantungku pun seperti berhenti melakukan tugas sebagaimana mestinya. Mengapa aku ditolak ikut olimpiade hanya karena tidak punya kartu mahasiswa?

Jaya Indonesia. Tanah air beta yang membentang di antara dua samudera dan terletak di perbatasan tiga lempeng dunia. Di dalamnya kita dapat menjumpai banyak kekayaan alam yang membentang sejauh pandangan mata.

Jauh di pelosok negeri Indonesia tercinta inilah tempatku tinggal, tepatnya di Pulau Sumbawa. Saat ini aku adalah seorang mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan S1 di Universitas Sukamaju, salah satu universitas ternama di daerah tempat tinggalku. Di sini, aku tinggal di rumah yang sangatlah sederhana yang jauh dari kata layak apalagi mewah. Meskipun demikian, aku tetap gigih dalam belajar demi menggapai cita-cita luhurku.

Di kampusku ini, bisa dikatakan aku adalah mahasiswa baru yang sudah basi. Iya, benar. Karena apa? Aku sudah kuliah disini sebagai mahasiswa semester 2, tetapi aku belum merasakan atmosfer kampus dan dunia perkuliahan yang sebenarnya. Bahkan, aku pun belum hafal dengan pasti nama-nama gedung yang ada di kampus tercintaku. Ya, kurasa tak ada bedanya aku kuliah juga. Selama setahun ini aku hanya mengikuti saja alur kehidupan yang ada di kampus tercintaku ini.

Memang pada masa-masa ini negaraku sedang menghadapi serangan badai yang amat dahsyat lagi mematikan. Apalagi jika bukan makhluk tak kasat mata yang bisa membunuh siapa saja yang menjadi incarannya. Ia tak segan-segan untuk membunuh siapa saja tanpa memandang status sosialnya. Dan karena serangan makhluk inilah aku tidak bisa menjalani perkuliahan dengan normal, alias hampir setahun terakhir aku kuliah dengan abnormal. Ya, karena selama ini aku hanya menjalani kuliah secara tatap maya. Bahkan sesekali aku bertanya-tanya, apa yang membedakanku sebagai mahasiswa dengan mereka yang bukan? Karena di samping tidak menjalani pembelajaran langsung dari dosen, aku pun tak punya identitas yang jelas sebagai mahasiswa. Saat aku sekolah dulu ada tanda pengenal semacam KTP yang khusus dimiliki oleh siswa yang sekolah di tempatku. Tetapi di kampus? Entahlah, mungkin dunia kampus lain daripada dunia sekolahku dulu.

#     #     #

“Hey, Fariq. Ayo, sini!”

Kudengar suara wanita memanggil namaku. Kutoleh kanan kiri dan ternyata itu suara Denies, teman satu kelasku yang paling heboh seantero fakultas.

“Ada apa, Denies?” tanyaku.

“Ini lihat pengumuman ini, Riq. Btw, selamat, ya,” ucap Denies seraya memberikanku selamat dengan menjabat tanganku.

“Terima kasih, Denies. Alhamdulillah Ya Allah,” ucapku dan langsung sujud syukur seketika.

Kulihat namaku tertulis di urutan teratas dalam pengumuman juara Olimpiade Ekonomi yang digelar di kampusku. Aku tak menyangka bisa juara. Bahagia, sudah pasti itu yang kurasakan. Bapak dan ibu pasti bangga melihat prestasiku ini. Akan kupersembahkan trofi dan piagam, serta sertifikatku kepada bapak dan ibu. Di samping itu, uang hasil lomba itu bisa kugunakan untuk membayar uang kuliahku semester ini. Ya, ini demi meringankan beban kedua orang tuaku.

#     #     #

Siang itu, aku sedang duduk di gazebo samping fakultas sambil memakan bekal yang kubawa dari rumah tadi pagi buatan ibuku tercinta. Aku sengaja membawa bekal makan siang dari rumah demi menghemat uang jajanku.

“Permisi, ini kamu Fariq, ya?” tanya seseorang yang tiba-tiba mendekatiku entah dari mana.

“Iya, saya sendiri. Ada perlu apa, Mas?” tanyaku balik padanya sambil kuamati orang itu yang ternyata adalah Mas Samsul, sang Presiden Mahasiswa di kampusku ini.

Hadeuh, saya sudah muter-muter nyari kamu, ternyata kamu di sini. Ada hal penting yang mau saya sampaikan pada kamu, Riq,” kata Mas Samsul.

“Hal penting apa, ya, Mas?” tanyaku yang masih bingung.

“Begini, ini kan ada Olimpiade Ekonomi se-Provinsi Nusa Tenggara Barat. Nah, kamu kan yang kemarin juara itu? Bagaimana kalau kamu yang mewakili kampus kita? Kamu mau, kan?” kata Mas Samsul.

“Iya, Mas, saya mau daftar,” ujarku dengan penuh semangat. Ini kesempatan emas bagiku. Tentu saja tak mungkin kusia-siakan.

“Ok, deal, ya? Saya daftarkan kalau begitu.”

“Iya, Mas. Terima kasih, ya,” ucapku.

“Iya sama-sama.”

#     #     #

Dengan semangat yang berkobar di dada, kumantapkan tekad dan kulangkahkan kakiku dengan yakin untuk mengikuti olimpiade itu. Setelah meminta do’a restu dari kedua orang tua dan dosenku, aku berangkat menuju tempat perlombaan yang dituju. Perjalanan panjang kutempuh, dua jam tepatnya. Maklumlah, jalanan di kota tercintaku ini sangatlah jauh berbeda dengan jalanan di kota-kota besar di Nusantara.

Setelah sekian lama kutempuh perjalanan darat yang melelahkan itu, akhirnya aku pun sampai di tempat pelaksanaan olimpade, yaitu di gedung Universitas Permata Nusa. Sebelum memasuki tempat perlombaan, terlebih dahulu para peserta lomba harus melaksanakan registrasi kepada panitia.

Kini saatku untuk melakukan registrasi, setelah sekian lama aku mengantre cukup panjang.

“Silakan berkas-berkasnya, Mas,” ucap panitia yang ada di depanku. Kuserahkan semua berkas yang kubawa.

“Kartu mahasiswanya mana, Mas?” tanya panitia bersongkok hitam itu.

“Tidak ada, Pak,” jawabku sedikit bergetar. Hal ini sama sekali tak kusangka sebelumnya.

“Lho, kok tidak ada?”

“Memang di kampus saya kartu mahasiswanya belum ada, Pak,” jawabku dengan jujur.

“Lho kok bisa belum ada? Kenapa? Kartu mahasiswa itu kan sebagai tanda bahwa kamu itu mahasiswa di tempat kamu kuliah. Lha ini malah nggak ada. Lalu gimana ini mau kamu? Kartu mahasiswa itu kan sebagai identitas. Kalau nggak ada, ya mohon maaf, kamu nggak bisa ikut lomba. Karena salah satu syaratnya harus punya KTM,” kata panitia itu.

Tubuhku bagai tersambar petir, badanku kaku seketika. Kurasakan jantungku pun seperti berhenti melakukan tugas sebagaimana mestinya. Mengapa aku ditolak ikut olimpiade hanya karena tidak punya kartu mahasiswa? Jika boleh menyalahkan, siapa yang patut disalahkan?

Jika memang itu adalah hak untukku sebagai mahasiswa, kenapa tidak segera dibuatkan? Kalau memang itu kewajiban pihak kampus mengapa tidak diselesaikan? Memang kusadari ini adalah dampak dari serangan makhluk jahat yang tak kasat mata yang hendak membunuh manusia di muka bumi ini. Tetapi jika ini adalah hal yang penting dan sangat urgen, mengapa hal ini tidak segera ditangani?

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Miftakhu Alfi Sa'idin

Seorang introvert yang bertekad menjadi penulis intelektual.

0 Pengikut

img-content

Enaknya Kuliah

Senin, 2 Oktober 2023 08:38 WIB
img-content

Prestasi yang Sia-Sia

Rabu, 27 September 2023 20:01 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler











Terpopuler di Fiksi

img-content
img-content
img-content
Lihat semua