x

Ilustrasi sosok pejabat. Sumber foto: antaranews.com

Iklan

sucahyo adi swasono

Pegiat Komunitas Penegak Tatanan Seimbang (PTS); Call Center: 0856 172 7474
Bergabung Sejak: 26 Maret 2022

Jumat, 29 September 2023 07:19 WIB

Kegagalan Semua Presiden Membangun Pondasi Ekonomi Negeri Ini

Sebagai negara agraris, begitulah Indonesia dikenal oleh dunia, ternyata masih belum berkemampuan dalam berswasembada pangan secara konsisten, utamanya terhadap beras, beras, dan beras sebagai makanan pokok penduduk Indonesia Nusantara.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Mengulik tentang pondasi ekonomi sebagai basic tumpuan kehidupan manusia, bangsa dan negara dalam menjaga dan melangsungkan eksistensinya, maka ada baiknya dimulai dari pemahaman dan pengertian terhadap apa itu ekonomi.

Menurut kalangan ahli dan pakar ekonomi yang telah dan senantiasa begelut dengan seluk beluk ekonomi beserta segala aspek yang bertalian dengannya, maka dapat ditarik suatu pengertian dan pemahaman terhadap ekonomi sebagai suatu ilmu.

Ilmu ekonomi adalah ilmu yang berkaitan dengan kegiatan manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyebutkan, ilmu ekonomi merupakan cabang ilmu yang tertuju pada asas-asas produksi, distribusi, konsumsi atau pemakaian barang dan kekayaan. Sedangkan kekayaan yang dimaksud adalah termasuk uang, perdagangan atau segala perindustrian. Pun demikian hal-hal yang bertalian dengan pemanfaatan uang, tenaga, waktu, dan sebagainya.

Selain itu, dan masih menurut KBBI, bahwa ilmu ekonomi juga berkaitan dengan perekonomian negara. Maksudnya adalah, bahwa perekonomian merupakan segala aturan  atau tata cara dalam berekonomi (perindustrian dan perdagangan), yang dapat diartikan pula sebagai segala aturan atau manajemen dalam rumah tangga. Ilmu ekonomi juga berurusan dengan keuangan rumah tangga yang berarti organisasi atau negara.

Dalam hal kebutuhan hidup manusia, maka kebutuhan hidup yang paling mendasar adalah pangan (selain air dan udara). "Pondasi ekonomi" adalah bagaimana suatu bangsa mampu memenuhi kebutuhan pangannya secara mandiri. Dengan prinsip dasar filosofi, yakni apabila pondasi ekonomi kuat, otomatis ketahanan pangan akan jadi kuat.

Pondasi Ekonomi  berbanding lurus dengan Ketahanan Pangan

Sebagai negara agraris, begitulah Indonesia dikenal oleh dunia, ternyata masih belum berkemampuan dalam berswasembada pangan, utamanya terhadap beras, beras, dan beras sebagai makanan pokok penduduk Indonesia Nusantara.

Mari dirunut soal swasembada, impor beras, dan komoditi pangan lainnya dari masa ke masa, dari perguliran pemerintahan yang terlahir oleh siklus lima tahunan (pemilu) sebagaimana yang tercatat dalam sejarah.

Era Pemerintahan Soekarno (Orde Lama, 1945-1966)

Soekarno menegaskan bahwa pangan itu hidup matinya sebuah bangsa, dan petani adalah tulang punggung utama pangan Indonesia sehingga sebenarnya petani itu soko guru bangsa Indonesia. Demikian kata Soekarno pada suaatu pidato yang sangat terkenal di IPB (27 April 1952).

Saat itu, Pemerintah lebih melihat pada pembangunan sistem pertanian daripada merubah sistem agraria yang ada. Hal ini dimulai sejak tahun 1945 lewat program peningkatan produksi padi, yang dilanjutkan lagi pada tahun 1947, dan baru terlaksana pada tahun 1950 setelah situasinya stabil lewat pendirian Badan Pendidikan Masyarakat Desa (BPMD) sebagai badan penyuluhan pertanian.

Dikarenakan keterbatasan dana, menyebabkan program ini tidak berjalan. Inilah yang mengakibatkan kecilnya kenaikan produksi padi. Kemudian di akhir tahun 1950-an, harga beras meroket karena produksi beras mengalami penurunan.

Dengan terpaksa pemerintah melakukan impor beras, dari 334.000 ton di tahun 1950 menjadi 800 ribu ton di tahun 1959.

Saat itu krisis pangan mulai menghantui stabilitas politik. Awal mula krisis pangan disebabkan produksi beras menurun hingga akhirnya negara bergantung kepada impor. Food crisis terjadi di Indonesia sampai tahun 1964. Bahkan krisis pangan tersebut memicu terjadinya social unrest (kekacauan sipil) di pelbagai tempat di negeri ini.

Era Pemerintahan Soeharto (Orde Baru, 1967-1998)

Naiknya Soeharto menjadi Presiden RI menggantikan Soekarno, merubah arah kebijakan pertanian yang sangat bertolak belakang dengan apa yang dilakukan di saat pemerintahan Soekarno.

Sehubungan dengan hal itu, di era ini pertanian mengarah ke mekanisme pasar bebas, yang secara grand design disebut Revolusi Hijau. Revolusi Hijau merupakan gerakan pembangunan yang meluas seluruh dunia yang mengikuti asumsi pertumbuhan ekonomi (economic growth).

Kebijakan revolusi hijau tidak terlepas dari kelangkaan beras di pasaran kota-kota besar sepanjang pemerintahan Soekarno. Sejak masa kemerdekaan, impor beras (yang terutama ditujukan untuk kepentingan kota-kota besar) telah meningkat dari sekitar 0,3 hingga 1 juta ton (sekitar 10% konsumsi domestik) di awal 1960-an.

Selanjutnya Indonesia sempat melakukan impor beras pada era Orde Baru sekitar tahun 1969. Pada 1980 Indonesia tercatat mengimpor sebesar 2,02 juta ton beras dari luar negeri.

Pemerintahan Soeharto menyadari betul pentingnya ketersediaan bahan pangan, khususnya beras. Sampai akhirnya sejak 1985 hingga 1986, Indonesia sama sekali tidak mengimpor beras. Pemerintahan Soeharto justru melakukan ekspor sebanyak 106 ribu ton pada 1985 dan 231 ribu ton pada 1986.

Namun, kegemilangan tersebut tak terus konsisten berlangsung, keberhasilan Soeharto menekan impor beras pada masa kepemimpinannya berlangsung tidak sampai satu dekade. Puncaknya, impor beras Indonesia melonjak tajam sebesar 1,3 juta ton pada 1995 dan 2 juta ton pada 1996.

Era BJ Habibie (Awal Orde Reformasi, 1998-1999)

Setelah Soeharto lengser, Baharudin Jusuf (BJ) Habibie langsung menempati posisi presiden Indonesia pada Oktober 1999. Tak banyak yang bisa dilakukan oleh Habibie mengingat kondisi perekonomian kala itu masih dalam tahap pemulihan akibat krisis ekonomi hebat pada 1998. Impor beras pada waktu itu masih tetap dilakukan pemerintah Indonesia.

Beras sebanyak 3 juta ton diimpor Indonesia dari pelbagai negara dan itu merupakan rekor yang bertahan hingga sekarang. Namun, angka tersebut berhasil diturunkan pada 2000 yang hanya mengimpor 1,35 juta ton beras.

Era Gus Dur (1999-2001)

Pada masa kepemimpinanan Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, pemerintah Indonesia belum bisa juga terlepas dari impor beras. Selama masa kepemimpinannya sejak 1999-2001, Gus Dur tercatat melakukan impor beras sebanyak empat kali.

Total selama kurang lebih dua tahun memimpin Indonesia, Gus Dur melakukan kebijakan impor sebanyak 4,115 juta ton. Rinciannya, 644,7 ribu ton pada 2001, kemudian melonjak tajam menjadi 1,805 juta ton pada 2002.

Beberapa kali mengalami pergantian pemimpin, kenyataan pahit yang harus diterima bahwa Indonesia masih bergantung pada impor. Meskipun, dalam catatannya capaian impor beras yang tergolong sedikit tersebut terlaksana di masa peralihan kekuasaan dari Presiden ke-4 KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ke Megawati.

Setahun berselang, di 2002 Megawati mengimpor beras sebanyak dua kali lipat lebih, tepatnya sejumlah 1.805.379 ton atau seharga US$ 342,5 juta. Di tahun 2003, data impor beras Indonesia sedikit menurun menjadi 1.428.505 ton selama setahun, atau senilai US$ 291,4 juta.

Di ujung masa jabatannya, dan memasuki awal kepemimpinan SBY, angka impor beras Indonesia kembali turun drastis menjadi hanya 236.866 ton atau setara denganUS$ 61,7 juta. Ini terjadi pada tahun 2004, lagi-lagi merupakan masa kampanye Pemilu.

Era SBY (2004-2014)

Di masa kepemimpinannya, pada 2005 Presiden SBY sempat menorehkan data impor beras dengan jumlah paling sedikit, yakni 189.616 ton atau setara US$ 51,4 juta.

Setahun berselang, pemerintahan SBY mengimpor beras 438.108 ton sepanjang tahun 2006 atau setara US$ 132,6 juta. Namun lonjakan impor beras secara drastis terjadi di tahun berikutnya, sebesar 1.406.847 ton di 2007 atau setara US$ 467,7 juta.

Jelang memasuki masa kampanye, dua tahun berturut-turut grafik impor beras Indonesia kembali menurun. Di 2008, Indonesia hanya impor beras 289.689 ton atau setara US$ 124,1 juta, dan di tahun 2009 kembali menurun menjadi 250.473 ton atau senilai US$ 108,1 juta.

Pada masa Pemilu kali ini, SBY kembali terpilih menjadi Presiden. Di awal periode keduanya, pada tahun 2010 pemerintahan SBY mengimpor beras 687.581 ton atau senilai US$ 360,7 juta. Angka tersebut naik berlipat-lipat dari tahun sebelumnya.

Di 2011, angka impor beras Indonesia kembali melonjak menjadi 2.750.476 ton atau setara dengan US$ 1,5 miliar. Capaian ini menjadi yang terbanyak sekaligus termahal selama periode 2000-2019 menurut BPS.

Kemudian, Di 2012, angka impor beras Indonesia turun menjadi 1.810.372 ton atau US$ 945,6 juta. Selanjutnya, di 2013 impor beras Indonesia turun ke angka 472.664 ton atau senilai US$ 246 juta.

Selanjutnya, pada masa akhir kepemimpinan Presiden SBY dan memasuki awal periode Presiden Jokowi, di tahun 2014 impor beras Indonesia mencapai angka 844.163 ton atau senilai US$ 388,1 juta.

Era Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi), 2014-2023

Di awal masa jabatannya, tahun 2015 pemerintahan Jokowi mengimpor beras 861.601 ton atau senilai US$ 351,6 juta. Kemudian, di tahun 2016, impor beras pemerintah melonjak menjadi 1.283.178 ton atau seharga US$ 531,8 juta.

Setahun kemudian, di 2017, angka impor beras sempat menurun menjadi 305.274 ton atau setara US$ 143,6 juta. Namun penurunan tersebut tak terulang di tahun berikutnya, ketika Indonesia mengimpor beras 2.253.824 ton di tahun 2018. Jumlah tersebut setara dengan US$ 1,037 juta.

Usai naik drastis, jumlah beras yang diimpor pemerintah kembali menurun di tahun 2019, lagi-lagi memasuki masa Pemilu. Sepanjang 2019, Indonesia mengimpor beras sebanyak 444.508 ton atau setara dengan US$ 184,2 juta.

Kini, masa kepemimpinan Jokowi masih berlangsung. Menarik dinanti bagaimana realisasi impor beras era Jokowi di sisa masa jabatannya hingga tahun 2024. Dan hingga hari ini nyatanya impor terus berlanjut.

Berdasarkan data BPS dari 2000 hingga 2022 tercatat bahwa Indonesia selalu impor beras. BPS mencatat RI mengimpor beras hingga 1,81 juta ton di tahun 2012, dan sebelumnya bahkan 2,75 juta ton di tahun 2011. Di tahun 2013, RI mengimpor 427,66 ribu ton beras. 

Perlu diketahui, dalam rentang waktu tersebut pemerintah paling banyak mengimpor beras pada tahun 2018 yakni hingga mencapai 2.253.824,5 ton atau setara US$ 1,03 miliar.

Kemudian, pada tahun 2022, impor beras menyeruak karena stok beras Bulog yang digadang-gadang terus menipis. Rencananya impor beras umum untuk mengisi Cadangan Beras Pemerintah (CBP) yang akan dilakukan Perum Bulog hingga 200 ribu ton terus menuai polemik dan ironi.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia mengimpor beras sebanyak 301,7 ribu ton pada periode Januari-Oktober 2022. Jumlah tersebut susut 20,4 juta ton (6,34%) dibanding Januari-Oktober 2021.

Kemudian nilai impor beras nasional periode Januari-Oktober 2022 mencapai US$137,42 juta,turun 5% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.

Dan, kita kembali dibuat riuh berhiruk pikuk dengan datangnya 5.000 ton beras impor asal Vietnam. Beras tersebut merupakan bagian dari 200 ribu ton rencana impor yang akan dirampungkan Bulog hingga akhir tahun 2022.

Stok beras di Bulog tercatat hanya 295.337 ton atau hanya 59,76% beras cadangan pemerintah (CBP/ medium) dan sebanyak 198.865 atau dengan persentase 40,24% beras komersial. Jauh dari target pemerintah 1,2 juta ton di akhir tahun 2022.

Impor dibutuhkan guna menambah stok beras untuk cadangan pemerintah, di sisi lain perlu juga melakukan intervensi harga terutama di saat harga melonjak maupun kondisi darurat seperti bencana alam.

Mendag mengatakan jumlah beras yang akan diimpor adalah sebanyak 500.000 ton. Rencananya akan masuk bertahap sampai dengan Februari 2023 atau sebelum panen raya.

Sebagai negara agraris, pantaskah Indonesia harus impor beras serta kebutuhan pangan lainnya? Lantas, dimanakah konsekuensi logis dari suatu negara agraris yang bermutiarakan kata, yakni subur kang sarwa tinandur, gemah ripah loh jinawi, tata tentrem rukun raharja, yang berlanjut dengan ungkapan tongkat kayu dan batu jadi tanaman? Nyatanya, tak seindah yang dimitoskan. Mengapa?

Beberapa faktor penyebab mengapa Indonesia sebagai negara agraris akan tetapi tak mampu berswasembada pangan, khususnya beras adalah sebagai berikut:

Pemerintah kurang peduli pada kesejahteraan petani shinggga petani padi banyak beralih profesi dan menjual lahan sawah menjadi pabrik atau perumahan.
Dulu, masyarakat Sumatra, Kalimantan mayoritas adalah petani padi. Kalau tak tanam padi mereka tak akan makan nasi, karena betapa sulitnya akses harga sampai ke pedesaan yang pastinya akan menjadi mahal, sehingga tidak akan terbeli . Akan tetapi, ketika masyarakat Sumatra, Kalimantan dikenalkan komoditi perkebunan, dimana harga karet dan sawit lebih menjanjikan dengan budidaya yang lebih ringan, maka berbondong bondong mereka beralih ke tanaman karet dan sawit. Indonesia menjadi salah satu pengekspor karet sawit terbesar dunia, namun Indonesia juga menjadi salah satu negara pengimpor beras dan gandum terbesar dunia.

Tentunya, masyarakat tidak bisa disalahkan apabila harus meninggalkan padi, karena pemerintah tidak bisa melindungi (memproteksi/meng-cover) terhadap kesejahteraan petaninya.

Kita kalah dengan Negara tetangga kita, seperti Vietnam, Thailand, Myanmar, Philipina, juga dengan RRC yang berpenduduk terbesar dunia, India dengan penduduk urutan kedua terbesar dunia, Pakistan, dan lai-lain yang bukan sebagai negara agraris. Namun fakta realitanya mampu menjadi pengekspor beras. Dan, Indonesia adalah salah satu pelanggan impor dari mereka.

Ke depan, bencana akan semakin semarak, apalagi akibat Elnino yang mulai terasa dan kian menggejala. Dimana setiap bencana akan selalu berimplikasi pada krisis pangan, sehingga akan semakin memperparah potensi  bencana kelaparan di negeri ini. Miris sekali, apabila di negara agraris yang dikenal dengan: subur kang sarwa tinandur, gemah ripah loh jinawi, justru kita dilanda kekurangan pangan, laksana tikus mati di lumbung padi.

Pembangunan Pondasi Ekonomi yang Gagal dari Masa ke Masa Sejak Indonesia Merdeka

Sebagai negara agraris, perekonomian Indonesia Nusantara sudah seharusnya bertumpu pada basis pertanian, utamanya sebagai penyedia pangan produktif yang akan memperkokoh terhadap ketahanan pangan. Sehingga program pembangunan di negeri ini, seharusnya lebih dititikberatkan pula pada sektor pertanian, khususnya tanaman pangan sesuai dengan kondisi alam Indonesia dengan SDA yang sangat mumpuni, bahkan boleh dibilang luar biasa melimpah ruah.

Namun kenyataan telah berbicara lain, arah kebijakan pembangunan di negeri ini dari masa ke masa, justru telah mengabaikan sektor pertanian, lebih-lebih tanaman pangan yang indikatornya nampak sebagai pengimpor pangan, khususnya pengimpor beras terbesar dunia, dan secara prinsip belum mampu berswasembada pangan yang konsisten, apalagi sebagai pengimpor beras dengan swasembadanya sebagai negara agraris.

Apa gunanya tehnologi kita maju, infrastruktur kita bagus, industri kita besar, tapi masyarakat kita jadi kelaparan? Itukah yang dinamakan kesuksesan pembangunan pondasi ekonomi di negeri ini sejak merdeka?

Sebagai negara agraris, maka pemerintahan Indonesia dan siapapun presidennya yang telah silih berganti dari masa ke masa hingga saat ini, maka dalam hal pembangunan pondasi ekonomi atas negeri ini, harus berani dinyatakan selalu berujung pada kegagalan.

Mengutip apa yang disampaikan oleh sejarawan gastronomi, Fadly Rahman, dalam Dialog Sejarah Keberagaman Pangan di Nusantara: Menggali Akar Silam Citarasa Indonesia, Jumat, 26 Maret 2021 di kanal  Youtube, demikian: 

"Kewibawaan seorang raja, seorang penguasa, itu ditentukan dari keberhasilannya dalam memakmurkan kebutuhan pangan rakyat yang notabene itu adalah beras."

Sekian dan terima kasih. Salam Seimbang Universal Indonesia_Nusantara.

*****

Kota Malang, September di hari kedua puluh sembilan, Dua Ribu Dua Puluh Tiga.  

 

 

Ikuti tulisan menarik sucahyo adi swasono lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Spektrum

Oleh: Jerpis M.

Kamis, 23 November 2023 20:55 WIB

Binar Utopis

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Jumat, 24 November 2023 14:44 WIB

Terpopuler

Spektrum

Oleh: Jerpis M.

Kamis, 23 November 2023 20:55 WIB

Binar Utopis

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Jumat, 24 November 2023 14:44 WIB