Awas, BUMN Bisa Dijadikan Sapi Perah Politik dalam Pemilu 2024

Senin, 20 November 2023 06:20 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Jumlah besaran dividen dan laba ditahan di masing-masing BUMN belum diatur secara jelas. Besaran dividen hanya diukur melalui kesepakatan pemerintah. Selain itu tak ada pedoman bagi BUMN dalam menyetorkan dividen kepada negara. Hal ini juga terjadi pada laba ditahan. Kondisi tersebut rentan membuat perusahaan BUMN menjadi sapi perah politik dalam Pemilu 2024.

Pidato Soekarno pada 17 Agustus 1956 menyangkut pembatalan perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) secara uniteral. Dengan sendirinya terpaut di dalamnya adalah pembatalan pembayaran  utang-hutang republik seperti yang termaktub dalam perjanjian.

Selain itu, pidato tersebut mengisyaratkan pengambilalihan perusahaan-perusahaan milik Belanda, yang mulai dilaksanakan pada Desember 1957. Perangkat Undang-Undang yang dipersiapkan untuk tindakan nasionalisasi itu adalah UU No. 86 Tahun 1958, dan sebagai pelaksanaannya adalah Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 1959. Pengambilalihan ini diberi kompensasi kompensasi yang diatur melalui suatu kepanitiaan yang dibentuk oleh pemerintah.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Berbagai dinamika dan persiapan Indonesia menasionalisasi ratusan perusahaan milik Belanda mulai dilakukan, yang kemudian menjadi cikal bakal terbentuknya BUMN. Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno tahun 1957, kondisi perekonomian di Indonesia dapat dikatakan belum stabil. Oleh sebab itu, Perdana Menteri Djuanda Kartawidjaja meminta bantuan kepada Kolonel Soeprayogi untuk membantunya mengatasi problematika carut-marutnya ekonomi.

Dalam waktu yang singkat Presiden Soekarno memanggil Soeprayogi untuk menghadap dan ia diangkat sebagai menteri urusan stabilisasi ekonomi. Menurut Soeprayogi, guna mengatasi masalah ekonomi Indonesia, perlu dibentuk kementerian urusan stabilisasi ekonomi untuk menangani perusahaan-perusahaan Belanda yang dinasionalisasi.

Konsep nasionalisasi ini muncul berkat buah pemikiran Djuanda beserta Penguasa Perang Pusat (Peperpu) sebagai jawaban atas kondisi ekonomi Indonesia yang masih belum teratasi. Setelah perusahaan-perusahaan Belanda diserahkan kepada pemerintah, Djuanda segera membentuk Dewan Nasional yang mengusulkan agar pemerintah (Dewan Menteri) membuat aturan yang menjadi dasar pengambilalihan dan pengelolaan perusahaan-perusahaan itu.

Soeprayogi kemudian membentuk panitia ad hoc perumus kebijakan nasionalisasi perusahaan Belanda yang terdiri atas wakil-wakil dari kementerian perdagangan, pertanian, perindustrian, perburuhan, kehakiman, keuangan, veteran, urusan kerja sama sipil dan militer, dan Peperpu. Dari kebijakan yang dibuat, Soeprayogi fokus pada dua hal utama, yaitu nasionalisasi terhadap perusahaan vital dan perusahaan biasa. Pada penerapannya, ada sekitar 700 perusahaan Belanda yang dinasionalisasi atau menjadi milik negara Indonesia. Pemerintah akhirnya memutuskan perusahaan-perusahaan itu ditempatkan secara permanen di bawah pemerintah UU No. 86/1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan-perusahaan Belanda yang disahkan pada 27 Desember. Setelah itu, dibentuklah Badan Nasionalisasi Perusahaan-perusahaan Belanda (Banas) pada 23 Februari 1959.

Banas bertugas untuk mengawasi badan penampung perusahaan Belanda yang dinasionalisasi, di antaranya Badan Urusan Dagang (BUD) dan Badan Penyelenggara Perusahaan Industri dan Tambang (BAPPIT). Akan tetapi, sejak September 1961, tugas Banas diambil alih oleh Menteri Pertama dan dibantu Badan Pembantu Menteri Pertama Urusan Koordinasi Perusahaan Negara. Banas kemudian secara resmi dibubarkan pada Mei 1963 dan tugasnya digantikan oleh Menteri Pertama dengan dibantu Biro II (Ekonomi dan Keuangan) Sekretariat Negara. Seiring berjalannya waktu, perusahaan-perusahaan Belanda yang dinasionalisasi ini kemudian bertransformasi menjadi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sampai sekarang. BUMN terhitung sudah ada sejak tahun 1973.

Dalam perjalanan perkembangan BUMN tidaklah mudah dan sering mengalami dinamika dan cenderung mencoreng nama BUMN. Pertama terjadi sekitar tahun 1998 dimana pada saat itu perekonomian Indonesia sedang membangun kembali setelah mengalami krisis ekonomi dunia satu tahun sebelumnya. Kemudian untuk membangun kembali perekonomian negara. Pemerintah Indonesia mulai menghimpun perusahaan- perusahaan milik negara dan mulai menata kembali di bawah kendali kementerian BUMN yang sekaligus sebagai hari lahirnya Kementerian tersebut.

Repetisi Core Values AKHLAK BUMN

Pada masa reformasi, BUMN mulai menunjukkan perbaikan kinerja. BUMN telah mampu meningkatkan efisiensi dan produktivitasnya. BUMN juga telah mampu bersaing dengan perusahaan swasta. Tahun 2023, BUMN memiliki peran yang penting dalam perekonomian Indonesia. BUMN menyumbang sekitar 60% dari total pendapatan negara. BUMN juga berperan dalam penyediaan layanan publik dan pembangunan infrastruktur.

Berdasarkan data dari situs resmi Kementerian Badan Usaha Milik negara terdapat seratus lima belas perusahaan milik pemerintah Indonesia. Jumlah yang sangat banyak, bukan hanya jumlah kuantitasnya, namun peran perusahaan tersebut di berbagai bidang yang sangat strategis dan mempengaruhi perekonomian Indonesia secara makro. Beberapa diantaranya yang sangat sentral misalnya Perusahaan Listrik Negara (PLN), Pertamina, Angkasa Pura, Bank Rakyat Indonesia dan lain sebagainya. Ke semuanya memiliki peran yang strategis dan sepenuhnya didukung dan dilindungi oleh amanat Undang-Undang Negara No. 19 Tahun 2003.

Prestasi BUMN dalam sumbangsih devisa negara non pajak selain dari pada melewati perjalanan panjang sejak era Orde lama, Orde Baru, hingga saat ini reformasi tentu tidak bisa lepas dari etos kerja para pegawai BUMN dan semangat merah putih para pejabat Kementerian BUMN hingga jajaran Komisaris dan Direksi Perusahaan BUMN.

Upaya meningkatkan kualitas BUMN saat ini tidak lepas dari rumusan nilai budaya organisasi Core Values AKHLAK BUMN yang ditetapkan oleh Menteri BUMN Erick Thohir adalah panduan perilaku yang harus diimplementasikan dalam perilaku keseharian dan dalam membentuk budata kerja oleh Sumber Daya Manusia (SDM) BUMN. Menurut Surat Edaran Menteri BUMN RI No. SE-7/MBU/07/2020 tentang Nilai-Nilai Utama (Core Values) Sumber Daya Manusia Badan Usaha Milik Negara dalam rangka mewujudkan peran BUMN sebagai mesin pertumbuhan ekonomi, akselerator kesejahteraan sosial (social welfare), penyedia lapangan kerja, dan penyedia talenta, dibutuhkan transformasi Sumber Daya Manusia Badan Usaha Milik Negara, dimana salah satunya melalui penetapan Nilai-Nilai Utama (Core Values) Sumber Daya Manusia Badan Usaha Milik Negara sebagai identitas dan perekat budaya kerja yang mendukung peningkatan kinerja secara berkelanjutan. Nilai-nilai utama (core values) AKHLAK.

Tentu core values atau nilai budaya di BUMN per hari ini sedang mengalami repetisi secara komitmen nilai AKHLAK dan reputasi mempertahankan kualitas kinerja BUMN. Karena diketahui bersama jajaran komisaris sangat erat akan irisan kepentingan politik. Diketahui bersama yang ramai diberitakan beberapa waktu lalu oleh berbagai media, beberapa komisaris diangkat dari orang-orang yang memiliki relasi pemenangan pada pemilu 2019. Dalam hal ini penulis menilai bukanlah hal yang salah, tetapi apakah ada jaminan dalam proses politik pada pemilu 2024 seperti yang penulis sampaikan yaitu irisan kepentingan politik.

BUMN Tidak Boleh Menjadi Sapi Perah Politik

Langkah-langkah untuk membangun reputasi BUMN bukanlah pekerjaan instan, ini merupakan kampanye di level industri untuk mengharumkan citra BUMN, setelah itu masing-masing perusahaan BUMN, lalu fokus ke produk/jasa yang dita-warkan BUMN, bersamaan dengan pembenahan personal (personal branding).

Penulis melihat data dari databooks Nilai Setoran Dividen BUMN untuk Negara lima tahun terakhir mengalami naik turun yang luar biasa. Dapat dilihat pada  tahun 2018 Rp. 44.000.000.000.000, tahun 2019 Rp. 50.000.000.000.000, tahun 2020 Rp. 43.900.000.000.000, tahun 2021 Rp. 29.500.000.000.000, tahun 2022 Rp. 80.200.000.000.000. Sehingga, upaya yang dilakukan oleh Kementrian BUMN selama ini dan menjunjung core values AKHLAK  tidak boleh dicoreng dengan upaya-upaya para oknum yang menjadikan BUMN sebagai sapi perah kepentingan politik Pemilu 2024.

Sedangkan, dalam laman Tempo.co tanggal 18 November 2023, ada bebrapa data yang dilakukan pengecekan terhadap laba ditahan di dalam laporan keuangan setiap perusahaan. Menurut Laporan Keuangan Konsolidasian Interim BRI per 30 September 2023, laba perseroan yang belum ditentukan penggunaannya adalah Rp 2017,24 triliun.

Berdasarkan Laporan Keuangan Konsolidasian Bank Mandiri per 30 September 2023 (Unaudited), laba ditahan adalah Rp 175,92 triliun. Sedangkan menurut Laporan Keuangan Konsolidasian per BNI 30 September 2023, laba yang tidak ditentukan penggunaannya adalah Rp 99,1 triliun. 

Sementara berdasarkan Laporan Keuangan Konsolidasian Telkom Indonesia per 30 September 2023 (Unaudited), laba yang belum ditentukan penggunaannya adalah Rp 98,02 triliun. Adapun berdasarkan Laporan Keuangan Konsolidasian Interim ANTAM per 30 September 2023, laba perseroan ini yang belum ditentukan penggunaannya adalah Rp 13,58 triliun. 

Menurut Laporan Keuangan Konsolidasian Interim PGN per 20 September 2023 (Unaudited), laba PGN yang dicadangkan adalah US$ 2,59 atau sekitar Rp 39,98 triliun (asumsi kurs US$ 1 = Rp 15.437). Sementara berdasarkan Laporan Keuangan Konsolidasian Pertamina per 31 Desember 2022, laba yang belum ditentukan penggunaannya adalah US$ 3,8 miliar atau sekitar Rp 58,61 triliun.  Dan Menurut Laporan Keuangan Konsolidasian PLN per 30 Juni 2023, laba yang tidak ditentukan penggunaannya adalah Rp 110,99 triliun. Sementara berdasarkan Laporan Keuangan Konsolidasian Pupuk Indonesia per 31 Desember 2021, laba ditahan adalah Rp 2,06 triliun.

Apabila melihat aturan hukum penyetoran laba BUMN ke negara diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN). Pasal 49 UU BUMN menyatakan bahwa BUMN wajib menyetorkan laba kepada negara. Laba BUMN yang disetorkan kepada negara disebut dengan dividen. Besarnya dividen yang harus disetorkan oleh BUMN kepada negara ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

Sedangkan apabila dalam pengelolaan laba BUMN dalam hal ini kebijakan laba ditahan yang mengarah untuk pendanaan politik pada PEMILU 2024 dapat dikenakan sanksi pidana yang diatur dalam Pasal 2 Ayat (1) juncto Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah menjadi UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

Walaupun penerapan jumlah besaran dividen dan laba ditahan di masing-masing BUMN belum diatur secara jelas. Besaran dividen hanya diukur melalui kesepakatan pemerintah. Tidak ada besaran pasti yang menjadi pedoman setiap perusahaan dilingkungan Kementerian BUMN untuk menyetorkan dividen kepada negara.

Hal ini juga terjadi pada laba ditahan. Tentu, Kondisi tersebut dapat digunakan untuk membuat perusahaan BUMN menjadi sapi perah dan mungkin bisa terjadi transaksional dalam penentuan besaran dividen untuk menyelundupkan dana pada Pemilu 2024. Maka, perlu bagi seluruh elemen masyarakat, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) untuk gotong royong mengawasi penggunaan deviden dan laba diatahan BUMN pada momentum Pemilu 2024 yang akan masuk pada tahapan kampanye.

 

Penulis  : Rifqi Nuril Huda, Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Wakil Sekertatis Jendral Dewan Energi Mahasiswa Indonesia (DEM Indonesia), Ketua Umum Akar Desa Indonesia, Wakil Bendahara Umum Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (DPP GMNI)

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Rifqi Nuril Huda

Penulis Indonesia, Pegiat Desa, Pengamat Energi

0 Pengikut

img-content

Terabaikannya HGU IKN

Rabu, 4 September 2024 11:26 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler