Herodes, Orang Majus, dan Raja Baru Itu

Kamis, 28 Desember 2023 18:50 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Di Betlehem dan di sekitarnya, anak-anak tak berdosa, berumur di bawah dua tahun, semuanya meregang nyawa oleh pedang maut penuh kebuasan. Iya, itulah komando tragis Herodes, seturut kisah Penginjil Matius.

Herodes, Orang Majus, dan Raja Baru Itu
(sekadar debu tipis pada kaca libido kekuasaan)

Membaca Injil Matius 2:1-18

Saya mengatakan kepada murid-murid bahwa kita mampu mendesak tanpa melakukan kekerasan, dan kita bisa berjalan ke arah demokrasi tanpa kekerasan. Dengan cara itu, Tuhan akan merestui kita...”

(Abdurrahman Wahid, Presiden Indonesia ke 4, 1940 – 2009).

Sadis. Benar-benar sadis teramat gila. Iblis manakah sebenarnya yang merasuki hati Herodes, penguasa Yerusalem di kala itu? Sampai-sampai bahwa ia mesti mengambil satu jalan maut? Di Betlehem dan di sekitarnya, anak-anak tak berdosa, berumur di bawah dua tahun, semuanya mesti meregang nyawa dengan pedang maut penuh kebuasan. Iya, itulah komando tragis Herodes, seturut kisah Penginjil Matius.


Bila kisah pilu itu diringkas, semula semuanya berawal dari datangnya Tiga Majus itu dari Timur ke Yerusalem. Bertiganya sepertinya ‘bikin heboh’ dengan “Bertanya-tanya: Di mana kah Dia, Raja orang Yahudi yang baru dilahirkan itu?”(Matius 2:2). Satu pertanyaan yang menyentak. Bikin panik di hati Herodes dan bahkan seisi Yerusalem.


Iya, Herodes benar-benar gelisah. Dramatisasikan saja dengan bahasa pasar untuk seorang Herodes, “Aku masih asyik-asyik berkuasa dan bertakhta, kamu tiga ini datang jauh-jauh hanya dengan berita dan tanya yang sungguh tak sedap di hati dan bikin pusing kepala saja.”


Herodes tak hilang akal pula. Sepertinya ia tampak berpura-pura kalem. Bertarung hati untuk kelihatan sejuk di hadapan Tiga Majus itu, “Pergilah dan carilah Anak itu (bukan Raja Baru) dengan teliti dan segera sesudah kamu menemukan Dia, kabarkan kepadaku supaya akupun datang menyembah Dia” (Matius 2:8). Seolah-olah ia tak minat lagi pada kekuasaan, dan berserah hati pada Raja Baru. “Wah, yang benar saja ini....” Pura-pura berkesan tak ingin berkuasa, padahal ada berselera mati punya untuk berkuasa.


Sungguh kah Herodes bakal datang untuk menyembah Dia, si Raja Baru itu? Mimpi penuh alarm ingatkan Tiga Majus untuk pulang melalui jalan lain. Iya, setelah temukan Sang Raja Baru, Tiga Majus tak pernah kembali ke Herodes. Dan dari situlah, karena merasa diperdayai, Herodes segera maklumkan perintah maut itu. Pembantaian anak-anak mungil di Betlehem dan di sekitarnya jadi tak terhindarkan. Libido dan cemas akan kekuasaan tak bisa disembunyikan Raja Herodes.


Di situlah lukisan maut Nabi Yeremia kembali teringat melalui Penginjil Matius, “Terdengarlah suara di Rama, tangis dan ratap yang amat sedih; Rahel menangisi anak-anaknya dan ia tidak mau dihibur, sebab mereka tidak ada lagi” (Yeremia 31:15; Matius 2:18).


Ratap tangis Betlehem di kala itu, di hari-hari ini sepertinya mesti terulang, saat Benjamin Netanyahu dan Ismail Haniyeh cs, belum merendah untuk satu kata sepakat nan sejuk. Demi kuasa, kepentingan, pamor negara serta perjuangan kelompok, korban sekian banyak anak dan warga sipil tak berdosa mesti menjadi taruhan sia-sia.


Dalam Herodes, kuasa dan rasa diri mesti terus berkuasa mesti dipertahankan. Karenanya, cara apapun mesti didayakan. Sedang asyik-asyik dalam mabuk kekuasaan, iya itu tadi, si Tiga Majus itu mesti datang dan sungguh mengusik. “Kuasa ini harus langgeng di tangan dan di jalanku,” sekiranya demikianlah Herodes bilang pada dirinya sendiri. Lalu strategi lain?


Maka, demi ambisi kekuasaan itu, Koalisi hebat dan Tim Sukses elit mesti diracik Herodes. Karenanya, Herodes ingin minta petunjuk, keterangan dari para saksi ahli, maka, “Dikumpulkannya semua Imam Kepala, dan semua Ahli Taurat bangsa Yahudi” (Matius 2:4).

 
Suara para Ahli Kitab tentu tak meleset. “Di Betlehem, di tanah Yudea…” (Matius 2:5). Kolaborasi penuh akal-akalan demi memperdayai Tiga Majus pun dirancang. Tapi semuanya bukanlah tanda pasrah demi kekuasaan berikutnya. Tapi semata-mata hanya demi niat kelam memberangus Raja Orang Yahudi yang baru dilahirkan! Dan di atas segalanya demi langgengkan kekuasaannya sendiri.


Tragedi darah dan air mata di Betlehem serta di sekitarnya adalah episode nafsu kekuasaan yang sungguh menjijikan. Tak hanya bekerja sama dengan petingg-petinggi agama, Herodes, iya itu tadi, bahkan sudah berupaya mengakali Tiga Majus itu.


Nafsu akan kuasa bahkan telah masuk dalam operasi lapangan. Ini terbaca saat ‘militer kerajaan’ (baca pasukan Keamanan Herodes) dikerahkan untuk teror keji dan maut di lapangan. Iya, semuanya ini demi meraih atau ingin tetap menggenggam kekuasaan.


Tetapi, sebenarnya hanya ada pertanyaan sederhana namun berat dalam hati kecil saja: Apakah nafsu akan kekuasaan pada Herodes, kala itu, sampai harus dengan memakai cara-cara licik dan tragis di lapangan, memangnya diketahui atau bahkan mungkin saja direstui oleh pusat Istana Imperium Romanum, Kaiser Augustus di Roma?


Yang jelas, kekuasaan di Yerusalem, yang ada di genggaman Herodes adalah kepanikan yang berujung maut dan penuh goncangan! Dan, mari kita bersikap penuh serius: Mungkin kah itulah yang juga telah terlihat gejala-gejalanya pada hari-hari belakangan ini?
 
Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bagikan Artikel Ini
img-content
Rikhardus Roden

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler