Omon-omon Rahasia Usai Pencoblosan, Suara Rakyat Hanya Diperkuda
Rabu, 21 Februari 2024 20:26 WIBMungkinkah pertemuan Jokowi dan Surya Paloh merupakan langkah menuju rekonsiliasi yang sama-sama menguntungkan elite politik? Apakah sejarah yang terjadi antara Prabowo dan Jokowi akan berulang? Akankah suara rakyat hanya dijadikan kuda tunggangan?
Penghitungan suara hasil pemilu belum selesai, namun percakapan diam-diam, tertutup, dan diselimuti rahasia tampaknya mulai berlangsung di antara para elite politik dan kekuasaan. Presiden Joko Widodo dan Ketua Nasdem Surya Paloh bertemu di Istana, katanya sambil makan malam. Hingga kini belum ada keterangan yang jujur dan jelas mengenai apa yang mereka bicarakan, sehingga yang muncul di media massa adalah dugaan-dugaan.
Pertemuan kedua politisi tersebut sebenarnya mungkin saja terjadi pasca pemilu, tapi barangkali tidak banyak yang menduga akan secepat ini karena penghitungan suara belum selesai. Bila tidak ada yang mendesak untuk dibicarakan, mengapa pertemuan dilakukan secepat ini. Saling bantah antara pejabat Istana dan Nasdem mengenai siapa yang menginginkan pertemuan ini sebenarnya menggambarkan siapa sebenarnya yang mengambil inisiatif pertemuan. Siapa pengambil inisiatif dapat menggambarkan secara tersirat apa kira-kira tujuan pertemuan tersebut.
Dalam kapasitas apa Jokowi berbicara dengan Surya Paloh. Bila sebagai presiden, untuk keperluan apa ia memanggil atau mengundang Surya Paloh, Ketua Umum Partai Nasdem yang sekaligus promotor pencapresan Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar. Di sisi lain, ia adalah juga ayah Gibran Rakabuming, cawapres Prabowo Subianto, kompetitor pasangan Anies-Muhaimin. Adanya aroma konflik kepentingan sukar dibantah.
Tidak ada pertemuan tanpa pesan yang ingin disampaikan. Boleh jadi Surya memperoleh pesan untuk dirinya sendiri maupun menjadi pembawa pesan bagi gerbong yang dibawanya, baik Anies dan Muhaimin secara pribadi maupun bagi Nasdem, PKB, PKS, maupun Partai Ummat. Dari sisi Jokowi, mungkin ia tidak ingin protes terhadap penghitungan suara hasil pemilu terus meluas dan meningkat. Dengan mengajak Surya Paloh berbicara, ia berharap suasana ketidakpuasan di kelompok Surya akan dapat diredam sejak dini. Setelah melihat respon gerbong Surya nanti, bukan tidak mungkin Muhaimin Iskandar PKB akan diajak makan malam, tapi entah dengan Ahmad Syaikhu PKS dan Anies Baswedan yang tidak berpartai.
Mengajak Surya berbicara mungkin dianggap lebih mungkin dibandingkan dengan mengajak berbicara Megawati dan PDI-P. Memang santer berita bahwa Jokowi ingin dimediasi untuk bertemu dengan Megawati, namun hingga kini belum terlihat jelas perkembangannya. Jadi, pertemuan ini juga mengirimkan pesan kepada Megawati dan PDI-P bahwa pilihan untuk menjadi oposisi bagi pemerintahan Prabowo-Gibran nanti merupakan hal yang tidak mudah. Bila Surya dan gerbongnya dapat dibujuk, maka PDI-P akan menjadi oposisi minoritas layaknya yang terjadi semasa periode kedua Jokowi dengan PDI-P saat itu masih menjadi sponsor terbesar pemerintahan Jokowi sebelum hubungan Jokowi-Megawati retak.
Ketika Prabowo dan Gerindra dirangkul dan diberi kursi menteri pertahanan, tinggallah Demokrat, PKS, dan PAN. Zulkifli Hasan dan PAN akhirnya tidak tahan berdiri di pinggir lapangan permainan karena kritik dan protes mereka tidak mampu memengaruhi keputusan pemerintah. Dalam hal ini, PDI-P tahu persis bagaimana duduk di pemerintahan dengan mayoritas kursi dan bagaimana perlakuan terhadap minoritas partai di parlemen. Jokowi juga tahu persis tentang hal ini, dan ia sangat mungkin menginginkan agar pemerintahan Prabowo dan anaknya berlangsung tanpa gangguan dari parlemen seperti terjadi pada periode pertama pemerintahannya.
Mungkinkah ini langkah menuju apa yang dapat diistilahkan sebagai ‘rekonsiliasi yang sama-sama menguntungkan elite politik’? Apakah sejarah rekonsiliasi serupa yang terjadi antara Prabowo dan Jokowi akan berulang? Mungkinkah skenario itu terjadi? Dalam politik, apapun bisa terjadi, apalagi ketika etika tidak lagi memperoleh tempat di kalangan elite politik serta dikemas dan dibalut dalam baju ‘rekonsiliasi demi kebaikan anak bangsa’—jargon yang semakin diulang menjadi semakin kehilangan makna, karena dalam praktiknya mengabaikan rakyat banyak.
Jika skenario itu benar-benar terjadi, maka rakyat kembali dikhianati oleh elite politik. Partai yang semula didukung rakyat dengan tulus agar mampu meraih kursi presiden dan wakilnya serta melakukan perubahan, kemudian berbalik tidak lagi mengindahkan rakyat dan membiarkan rakyat kembali berjuang sendirian. Kebutuhan akan kekuatan pengoreksi dan penyeimbang dalam parlemen maupun dalam praktik kehidupan kebangsaan sehari-hari akan sulit dipenuhi, karena pragmatisme dan permisivisme semakin mencengkeram para elite politik dan kekuasaan. Inilah ironi pemilu kita. >>
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Pemimpin Ghosting, Jadi Teringat Lagunya Dewa
Rabu, 4 September 2024 11:28 WIBAda Konflik Kepentingan di Klab Para Presiden
Kamis, 9 Mei 2024 12:38 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler