Kesendirian dan Pelanggaran Norma Sosial

Jumat, 5 Juli 2024 07:53 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sebuah penelitian terbaru menawarkan gagasan baru tentang penyebab kesepian.

Sebuah studi baru-baru ini menawarkan potensi prediksi kesepian baru.

Wawasan Utama

  • Kesepian adalah kondisi pikiran yang berdampak dan menyusahkan.
  • Kesepian telah dikaitkan dengan berbagai kesulitan emosional dan fisiologis.
  • Prediktor kesepian yang diketahui meliputi kepribadian, status perkawinan, dan dukungan sosial.
Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kesepian didefinisikan sebagai “perasaan tertekan yang menyertai persepsi bahwa kebutuhan sosial seseorang tidak terpenuhi oleh kuantitas atau terutama kualitas hubungan sosialnya.” Kesepian merupakan faktor risiko yang diketahui untuk masalah kesehatan mental dan fisik.

Penelitian telah menghubungkan kesepian dengan beberapa variabel individu dan relasional, antara lain temperamen, kepribadian, status perkawinan, tingkat pendidikan, kesehatan fisik, dan dukungan sosial. Kurangnya perhatian diberikan pada potensi peran penyimpangan norma sosial (yaitu, pelanggaran aturan budaya tidak tertulis tentang apa yang biasanya dilakukan atau seharusnya dilakukan dalam suatu kelompok). Hal ini mengejutkan karena penyimpangan dari norma-norma sosial dalam literatur telah dikaitkan dengan berbagai dampak negatif, termasuk gangguan kesehatan mental dan kesejahteraan, serta rendahnya prestasi akademik.

Sebuah makalah baru yang ditulis oleh ilmuwan perilaku Universitas Utrecht, Luzia Heu dan rekannya (2023) berupaya mengisi kesenjangan ini, dengan menguraikan kerangka kerja yang berguna untuk memahami hubungan antara kesepian dan penyimpangan norma sosial. Para penulis berpendapat bahwa kesepian “dapat muncul jika karakteristik pribadi atau relasional tidak sesuai dengan lingkungan sosial.” Penyimpangan dari norma-norma sosial meningkatkan risiko perasaan kesepian melalui jalur pengaruh intrapersonal (misalnya perasaan terasing) dan interpersonal (misalnya penolakan sosial).

Kerangka kerja ini selaras dengan perspektif evolusioner mengenai kesepian, yang melihat perasaan subjektif sebagai sinyal yang berkembang, sebuah tanda peringatan bagi individu untuk menjaga kontak sosialnya, yang pada gilirannya, penting untuk kelangsungan hidup.

Kerangka kerja ini berguna karena berfokus pada proses penyimpangan norma dibandingkan pada isi norma sosial tertentu atau karakteristik individu. Kesepian adalah fenomena universal yang terjadi pada manusia. Pada saat yang sama, menurut model ini, karakteristik individu yang mempengaruhi seseorang menjadi kesepian akan berbeda antar budaya.

Karena norma-norma budaya berbeda-beda, maka kelompok yang berisiko melanggarnya juga akan berbeda-beda. “Oleh karena itu, norma-norma sosial dapat bertindak sebagai moderator budaya dalam hubungan antara berbagai karakteristik tingkat individu dan kesepian.” Dengan cara ini, model ini menyoroti perbedaan individu dalam hal kesepian dalam budaya tertentu serta variasi lintas budaya dalam faktor risiko kesepian. Menjadi lajang, misalnya, akan memprediksi kesepian dengan lebih baik dalam budaya yang menganggap berpasangan adalah hal yang normatif.

Para penulis mengutip berbagai penelitian untuk mendukung pandangan mereka, yang menunjukkan bahwa perasaan kesepian cenderung meningkat ketika individu menyimpang dari ekspektasi budaya yang sesuai dengan usia. Selain itu, model tersebut memperkirakan bahwa kontak keluarga yang tidak memadai akan menyebabkan kesepian yang lebih kuat dalam budaya kolektivis (yang menekankan ikatan kekeluargaan) dibandingkan dengan budaya individualistis, sedangkan hal sebaliknya diperkirakan akan terjadi pada hubungan romantis, yang lebih dihargai dalam budaya individualistis. Memang benar, penelitian telah mendukung kedua prediksi tersebut. Demikian pula, penelitian menemukan bahwa sifat pemalu lebih baik dalam memprediksi kesepian pada anak-anak Brasil dan Italia dibandingkan anak-anak Tiongkok, seperti yang diharapkan mengingat sifat pemalu bukanlah suatu penyimpangan norma di Tiongkok.

Model tersebut memperkirakan bahwa seiring dengan perubahan budaya, korelasi kesepian akan sejalan dengan perubahan tersebut. Dengan kata lain, jika suatu norma budaya tertentu bergeser, maka makna penyimpangannya pun ikut berubah. Prediksi ini juga mendapat dukungan dalam literatur. Misalnya, ketika hidup sendiri menjadi lebih umum di kalangan lansia di Inggris, hubungannya dengan kesepian pun menurun.

Menurut model tersebut, penyimpangan dari norma dapat menimbulkan kesepian hanya jika norma yang dilanggar mempunyai arti dan mempunyai konsekuensi bagi individu. Penyimpangan tersebut mungkin bersifat jangka pendek (misalnya merasa tersisih di sebuah pesta) atau kronis (misalnya merasa terisolasi di tempat kerja). Para penulis memberikan bukti mengenai beberapa mekanisme dimana penyimpangan dari norma dapat menyebabkan kesepian.

Mekanisme Intrapribadi

  • Keterasingan: Perasaan ini cenderung muncul ketika seseorang tidak merasa dipahami, dihargai, atau diakui oleh orang lain. Meningkatnya kesepian yang dirasakan oleh anggota kelompok marginal mungkin sebagian disebabkan oleh perasaan terasing.
  • Ketidakaslian: Hal ini dialami ketika sikap atau kecenderungan perilaku seseorang tidak sesuai dengan norma kelompoknya. Ketidaksesuaian ini menciptakan tekanan pada individu untuk memalsukan, menyembunyikan, atau menekan perasaan dan pendapat aslinya, karena mereka tidak mampu menyelaraskan presentasi diri dengan persepsi pribadinya. Ketika diri-sejati Anda tersembunyi, ia tidak dapat menemukan koneksi yang bermanfaat, dan kesepian pun muncul.
  • Harga diri yang lebih rendah: Individu yang menyimpang dari norma-norma sosial mungkin sering mengalami stres dan devaluasi diri sebagian karena kecenderungan manusia untuk menyimpulkan nilai diri kita melalui perbandingan dengan orang lain.

Mekanisme Interpersonal

  • Penolakan sosial: Orang yang menyimpang dari norma sosial berisiko dikucilkan, dikucilkan, diabaikan, atau dikonfrontasi mengenai penyimpangan mereka baik secara langsung maupun halus. Anggota kelompok minoritas seksual, misalnya, mungkin menghadapi permusuhan yang terang-terangan (dilecehkan di jalan) serta bentuk ketidaksetujuan yang lebih halus (tidak diundang ke pesta).
  • Ketidakpuasan dalam hubungan: Menurut definisinya, kesepian muncul ketika kebutuhan sosial seseorang tidak terpenuhi. Peluang pemenuhan kebutuhan sosial dipengaruhi oleh norma-norma sosial. Ketika hubungan gagal memenuhi norma-norma sosial, ketidakpuasan dapat terjadi, sehingga meningkatkan risiko kesepian.
  • Kebutuhan relasional yang tidak terpenuhi: Berbeda dengan ketidakpuasan dalam hubungan, yang muncul dalam pikiran seseorang, kebutuhan relasional yang tidak terpenuhi “akibat dari kekurangan nyata dalam hubungan antar manusia.” Kita semua mempunyai kebutuhan relasional yang berbeda-beda (untuk dibantu, dikagumi, dicintai, diyakinkan, intim, dll.). Jika kita tidak dapat membangun hubungan untuk memenuhi beragam kebutuhan kita, kesepian mungkin akan datang.

Penyimpangan yang memicu mekanisme yang diusulkan harus relevan secara psikologis atau sosial (atau keduanya).

  • Relevansi sosial “menggambarkan bahwa kepatuhan terhadap suatu norma dianggap relevan oleh anggota kelompok yang berbeda dan, dengan demikian, penting untuk inklusi kelompok atau status dalam kelompok.” Relevansi sosial akan memprediksi aktivasi jalur interpersonal menuju kesepian, seperti penolakan sosial.
  • Relevansi psikologis akan muncul sehubungan dengan kelompok referensi yang penting bagi individu dan akan mengaktifkan jalur intrapersonal menuju kesepian, seperti keterasingan.

Model ini memiliki implikasi klinis yang menjanjikan. Pertama, faktor risiko kesepian harus dipertimbangkan dalam konteksnya, karena faktor tersebut mungkin berbeda antar budaya. Dengan model ini, pertanyaan bagi dokter dan klien yang menangani kesepian adalah pertanyaan yang tepat: Dalam bidang kehidupan manakah perilaku klien tidak sesuai dengan norma-norma sosial yang relevan? Pertanyaan kedua adalah Apa yang harus dilakukan? Di sini, ada dua kemungkinan intervensi yang tersedia. Pertama, kita mungkin berupaya mengubah perilaku klien agar lebih sesuai dengan norma (misalnya, berhenti merokok dalam budaya tidak merokok). Kedua, kita dapat berupaya mengubah norma menjadi lebih inklusif sehingga perilaku yang sebelumnya tidak pantas menjadi normatif (misalnya, laki-laki mengungkapkan perasaan).

Kerangka kerja yang diusulkan ini selaras dengan laporan masyarakat bahwa penyimpangan dari norma-norma sosial telah menyebabkan kesepian, serta teori-teori sebelumnya dan temuan-temuan empiris yang menyatu. Namun penelitian mengenai prediktor kesepian sebagian besar bersifat cross-sectional dan korelasional. Oleh karena itu, kita tidak dapat secara pasti menyimpulkan hubungan kausalitas antara pelanggaran norma dan kesepian. “Meskipun penyimpangan norma dapat menyebabkan kesepian,” para penulis mencatat, “merasa kesepian dapat membuat orang kehilangan minat untuk menyesuaikan diri dengan norma-norma sosial.” Oleh karena itu, upaya eksperimental dan longitudinal diperlukan untuk menegaskan asumsi kausalitas model tersebut.

***

Solo, Kamis, 4 Juli 2024. 2:26 pm

Suko Waspodo

Bagikan Artikel Ini
img-content
Suko Waspodo

... an ordinary man ...

1 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler