Ancaman Armada Gelap (Dark Fleet) terhadap Keselamatan dan Keamanan Maritim: Apa yang Dapat Dilakukan Negara Pesisir?
Minggu, 28 Juli 2024 00:49 WIBArtikel ini akan mengkaji ancaman yang ditimbulkan oleh kapal-kapal gelap, tantangan dalam mengatur mereka, dan apa yang dapat dilakukan negara-negara pesisir untuk mengurangi risiko ini.
Ancaman Armada Gelap (Dark Fleet) terhadap Keselamatan dan Keamanan Maritim: Apa yang Dapat Dilakukan Negara Pesisir?
Industri maritim menghadapi kekhawatiran yang semakin besar dengan munculnya dark fleet "armada gelap," istilah yang digunakan untuk menggambarkan kapal-kapal yang terlibat dalam aktivitas ilegal, termasuk menghindari sanksi, melanggar regulasi keselamatan dan lingkungan, serta menghindari biaya asuransi. Kapal-kapal ini, seringkali merupakan tanker vintage yang berusia lebih dari 15 tahun, menimbulkan ancaman signifikan terhadap keselamatan dan keamanan maritim, serta lingkungan laut. Artikel ini akan mengkaji ancaman yang ditimbulkan oleh kapal-kapal gelap, tantangan dalam mengatur mereka, dan apa yang dapat dilakukan negara-negara pesisir untuk mengurangi risiko ini.
Ancaman (dark ships) Kapal Gelap terhadap Keselamatan dan Lingkungan Laut
Kapal gelap ( Dark Ships ) adalah bencana yang menunggu untuk terjadi. Mereka tidak diperiksa oleh Organisasi Pengakuan (RO) yang bereputasi untuk memastikan kepatuhan terhadap standar keselamatan, dan seringkali tidak diasuransikan oleh Perlindungan dan Ganti Rugi (Protection and indemnity insurance, (P&I) yang bereputasi. Ini berarti bahwa jika terjadi tumpahan minyak atau tabrakan, negara-negara pesisir mungkin tidak dapat mengklaim kompensasi atas kerugian. Selain itu, pemilik kapal gelap seringkali tidak dapat dilacak, sehingga sulit untuk memegang siapa pun bertanggung jawab atas tindakan mereka.
Risiko yang terkait dengan kapal gelap bukan hanya teoretis. Ada beberapa contoh kapal gelap yang meledak atau bertabrakan, mengakibatkan kerusakan lingkungan yang signifikan dan kehilangan nyawa. Misalnya, PABLO dan CERES I, dua kapal gelap yang meledak di laut, ditemukan berusia lebih dari 20 tahun, mengibarkan bendera kenyamanan, dan memiliki sejarah perdagangan minyak yang disanksi.
Mengapa Sulit untuk Mengatur Kapal Gelap?
Mengatur kapal gelap adalah tugas yang kompleks karena tantangan baik secara teoretis maupun praktis. Dari perspektif teoretis, yurisdiksi negara-negara pesisir atas kapal asing terbatas di luar laut teritorial mereka (12 mil laut). Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) mengandalkan negara bendera untuk menegakkan aturan mereka terhadap kapal-kapal mereka di laut lepas, yang bisa menjadi masalah jika negara bendera tidak mau atau tidak mampu melakukannya.
Selain itu, Konvensi Organisasi Maritim Internasional (IMO), seperti Keselamatan Jiwa di Laut (SOLAS) dan Konvensi Internasional untuk Pencegahan Pencemaran dari Kapal (MARPOL), menekankan peran negara pelabuhan dalam menegakkan regulasi. Namun, kapal gelap sering menghindari pelabuhan dan malah melakukan transfer kapal-ke-kapal ((Ship to Ship Transfer (STS) di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) negara-negara pesisir, sehingga lebih sulit untuk mendeteksi dan mengatur aktivitas mereka.
Dari perspektif praktis, kapal gelap sering mengibarkan bendera registri terbuka, seperti Gabon, Mongolia, atau Eswatini, yang mungkin tidak memiliki kapasitas atau minat untuk mengatur aktivitas mereka. Selain itu, kapal gelap sering mematikan atau memalsukan sinyal Sistem Identifikasi Otomatis (AIS) mereka, sehingga lebih sulit untuk melacak pergerakan mereka.
Apa yang Dapat Dilakukan Negara Pesisir?
Meskipun tantangannya, negara-negara pesisir dapat mengambil langkah-langkah untuk mengurangi risiko yang terkait dengan kapal gelap. Salah satu pendekatan adalah mengembangkan daftar kapal gelap yang dicurigai dan secara aktif melacak mereka melalui layanan pelacakan kapal atau Skema Pemisahan Lalu Lintas (TSS). Negara-negara pesisir juga dapat menetapkan "zona (Ship to Ship Transfer (STS) yang diizinkan" di ZEE mereka, di mana kapal-kapal diharuskan memberi tahu otoritas sebelum melakukan transfer STS.
Pendekatan lain adalah meminta layanan bunker dan chandlers untuk melaporkan aktivitas mencurigakan oleh kapal gelap. Negara-negara pesisir juga dapat mengesahkan undang-undang dan regulasi untuk mengatur transfer STS kapal gelap di ZEE mereka. Misalnya, Malaysia dan Indonesia dapat mendekati kapal gelap yang dicurigai melakukan transfer STS tanpa pemberitahuan dan meminta negara bendera dan kapten untuk menyediakan Rencana Operasi STS dan Sertifikat Asuransi CLC.
Jika negara bendera dan kapten kapal menolak, negara-negara pesisir dapat mengawal kapal tersebut ke pelabuhan terdekat, di mana kapal tersebut dapat ditahan untuk penyelidikan atau diizinkan melakukan transfer STS yang aman. Contoh MT Arman 114, kapal berbendera Iran yang ditahan oleh otoritas Indonesia dengan bantuan Badan Penegakan Maritim Malaysia (MMEA), menunjukkan efektivitas kerja sama antara negara-negara pesisir dalam mengatur kapal gelap.
Kesimpulan
Armada gelap menimbulkan ancaman signifikan terhadap keselamatan dan keamanan maritim, serta lingkungan laut. Meskipun mengatur kapal gelap adalah tugas yang kompleks, negara-negara pesisir dapat mengambil langkah-langkah untuk mengurangi risiko ini. Dengan mengembangkan daftar kapal gelap yang dicurigai, menetapkan zona STS yang diizinkan, meminta layanan bunker dan chandlers untuk melaporkan aktivitas mencurigakan, dan mengesahkan undang-undang dan regulasi untuk mengatur transfer STS, negara-negara pesisir dapat mengurangi risiko yang terkait dengan kapal gelap.
Penting juga bagi negara-negara pesisir untuk bekerja sama satu sama lain dan dengan organisasi internasional, seperti IMO, untuk berbagi intelijen dan praktik terbaik dalam mengatur kapal gelap. Dengan bekerja sama, kita dapat mengurangi ancaman yang ditimbulkan oleh armada gelap dan memastikan industri maritim yang lebih aman dan lebih terjamin.
Referensi
- United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS).
- International Maritime Organization (IMO) Conventions - SOLAS dan MARPOL.
- Contoh kasus PABLO dan CERES I.
- Contoh kasus MT Arman 114 dan kolaborasi antara Indonesia dan Malaysia.
- Laporan-laporan tentang aktivitas kapal gelap dan implikasinya terhadap lingkungan dan keselamatan maritim.
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Keberhasilan Operasi Intelijen dalam Mempengaruhi Hasil Konflik: Studi Kasus Pembunuhan Pemimpin Hamas Ismail Haniyeh
Kamis, 1 Agustus 2024 13:19 WIBKasus Ronald Tannur: Perspektif Sosial atas Keadilan dan Ketidakadilan
Rabu, 31 Juli 2024 13:51 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler