Pilkada Banten: Koalisi Gigantis dan Potensi Calon Tunggal
Selasa, 30 Juli 2024 12:04 WIBDelapan partai politik parlemen di Banten kini sudah berada dalam satu kubu dengan dimotori Partai Gerindra. Akumulasi jumlah kursi mereka di DPRD mencapai 72\x25. Pilkada Banten terancam hanya akan muncul satu pasang kandidat. Masih adakah jalan politik agar calon tunggal tidak terjadi pada Pilgub Banten nanti? Beranaikah Golkar-PDIP mengambil jalan berbeda?
Mengkhawatirkan mencermati dinamika prakandidasi Pilkada Banten belakangan ini. Dari berbagai sumber dan gejala yang tampak di ruang publik, Banten potensial akan menjadi arena kontestasi kotak kosong melawan koalisi gigantis. Koalisi bongsor ini dimotori oleh Partai Gerindra dengan sokongan penuh Koalisi Indonesia Maju (KIM) di pusat kekuasaan nasional.
Di tingkat Provinsi, replikasi KIM di Banten dan kabarnya bakal menggunakan nama Koalisi Banten Maju (KBM) mendekati tuntas dengan memajukan pasangan Andra-Dimyati. Semua anggota koalisi pendukung Prabowo-Gibran, minus Golkar sudah bergabung di perahu besar ini. Terakhir adalah Partai Demokrat yang memberikan rekomendasi pencalonan terhadap pasangan kader Gerindra-PKS itu (Kompas.com, 19 Juli 2024).
Delapan partai politik parlemen di Banten kini sudah berada dalam satu kubu. Yakni Gerindra, PKS, PKB, Nasdem, PAN, PPP, PSI, dan Demokrat. Akumulasi jumlah kursi di DPRD Banten dari kedelapan partai ini adalah 72 (72%). Dua partai sisa yakni Golkar dan PDIP, yang masing-masing memiliki 14 kursi di DPRD Banten belum secara tegas akan menentukan pilihan sikap elektoralnya.
Dengan demikian kehadiran kotak kosong sebagai “peserta” Pilgub Banten tinggal satu langkah lagi. Yakni jika Golkar akhirnya juga memutuskan bergabung dengan KBM (?). Karena PDIP tidak mungkin mengusung pasangan calon sendiri mengingat jumlah kursinya yang tidak memenuhi syarat normatif ambang batas pencalonan Gubernur-Wakil Gubernur.
Spekulasi yang beredar menyebutkan bahwa langkah pamungkas ini sekarang sedang dipersiapkan di Jakarta. Yakni melalui “barter kekuasaan”: Airin Rachmi Diany (bakal kandidat Gubernur Golkar yang sudah lama menyosialisasikan diri ke antero Banten) masuk Kabinet KIM dan Golkar memberikan dukungan kepada Andra-Dimyati.
Jika itu terjadi maka tuntas sudah. Pilgub Banten bakal diikuti oleh hanya dua peserta. Yakni Paslon Anrda-Dimyati dan Kotak Kosong! PDIP ditinggal sendiran, pilihannya kemudian ikut bergabung sebagai partai terakhir dengan perahu besar bernama KBM (?). Atau menjadi “single fighter”, memimpin rakyat membantu kotak kosong memenangi Pilkada.
Latar Belakang Kotak Kosong
Lantas mengapa kehadiran kotak kosong pantas dikhawarirkan ? Penting dikemukakan lebih dulu, kehadiran kotak kosong ini merupakan implikasi politik dari proses kandidasi dimana partai-partai politik bersepakat mengajukan hanya satu pasangan calon Kepala dan Wakil Kepala Daerah. Atau dengan istilah yang lebih popular adalah calon tunggal.
Dari sisi hulu atau latar belakang, kehadiran kotak kosong mengisyaratkan ada gejala yang tidak sehat dalam sistem kepartaian kita, khususnya terkait proses demokrasi elektoral di tingkak lokal (Pilkada).
Dalam konteks ini partai-partai gagal menjalankan salah satu fungsi dasarnya sebagai sarana rekruitmen kepemimpinan politik yang demokratis di semua tingkatan pemerintahan demokrasi. Pilkada sebagai arena kontestasi demokrasi sejatinya menyajikan kepada publik pilihan-pilihan yang lebih dari satu. Karena hanya dengan cara inilah makna kontestasi sekaligus hakikat demokrasi ditunjukan.
Calon tunggal itu contradictio in terminis. Kontradiksi sejak dalam pikiran dan terma, melawan natur kontestasi, sekaligus menjadi paradoks demokrasi.
Bahwa rakyat disilahkan untuk memilih kotak kosong sebagai lawan tandingnya jika tidak setuju dengan figur paslon tunggal itu, ruang pilihan demikian yang diberikan regulasi inipun tetap saja tidak bisa menghilangkan fakta bahwa pemilih sesungguhnya “dipaksa” untuk setuju dengan figur yang disediakan partai-partai. Mengapa? Sebab ketika kotak kosong yang memenangi kontestasi, Pilkada harus diulang, bukan mempersilahkan kotak kosong menjadi Kepala dan Wakil Kepala Daerah.
Tentu saja, concern masalahnya bukan pada soal kotak kosong mustahil menjadi Gubernur, Bupati atau Walikota meski memenangi kontestasi. Melainkan pada soal nalar politik yang melawan natur demokrasi. Sekali lagi, pemilihan itu mengasumsikan ada subyek yang setara lebih dari satu opsi untuk dipilih, bukan tunggal atau diadu dengan subyek yang tidak setara. Apalagi ini memilih pasangan calon pemimpin.
Rendah Partisipasi dan Absennya Kompetisi
Keberadaan calon tunggal yang berdampak pada hadirnya kotak kosong sebagai “peserta” Pilkada juga potensial berdampak buruk bagi pelaksanaan demokrasi elektoral di daerah. Salah satu nilai utama demokrasi adalah partisipasi publik, keterlibatan rakyat dalam mengambil keputusan-keputusan strategis seperti memilih pemimpin.
Pilkada dengan calon tunggal potensial bisa memicu apatisme publik lantaran absennya alternatif pilihan kecuali kotak kosong tadi. Di tengah literasi politik elektoral warga yang semakin membaik, Pilkada dengan calon tunggal ini akan semakin membuat para pemilih malas datang ke TPS karena mereka tahu proses kandidasi hingga melahirkan calon tunggal lazimnya berlangsung tidak sungguh-sungguh demokratis.
Ada partai potitik yang memiliki surplus kekuasaan lalu menggunakan kekuasaannya itu untuk menekan dan “menyandera” partai lain agar mengikuti kemauannya. Di sisi lain juga ada partai politik yang memang tidak memiliki komitmen pada suara-suara rakyat, bahkan kadernya sendiri di daerah. Mereka lebih memilih “jalan aman” bagi partai dan elitnya sendiri, yang “tersandera,” mungkin oleh kasus tertentu atau gurihnya menduduki jabatan penting di pemerintahan.
Sisi buruk lainnya adalah tidak akan ada kompetisi yang sehat dan produktif. Pilkada dengan calon tunggal tidak memungkinkan lahirnya kontestasi gagasan dan visi misi programatik. Publik hanya akan ditawari visi-misi yang juga bersifat tunggal, tidak akan ada pilihan gagasan dan cara melihat masa depan daerahnya. Padahal setiap daerah pastilah memiliki ragam persoalan dan pekerjaan-pekerjaan rumah yang membutuhkan pilihan-pilihan solusi.
Menunggu Keberanian Golkar-PDIP
Masih adakah jalan politik agar calon tunggal tidak terjadi pada Pilgub Banten nanti? Ada tetapi tidak mudah. Yakni terbangunnya koalisi Golkar-PDIP. Jumlah kursi kedua partai ini, 28 kursi, cukup untuk bisa mengajukan paslon Gubernur-Wakil Gubernur. Kuncinya tergantung pada Golkar, apakah partai gigantis di era orde baru ini memiliki keberanian untuk tampil beda dari para koleganya di Koalisi Indonesia Maju.
Nampaknya memang tidak mudah jika dasar kalkuasi politiknya adalah posisi Golkar di barisan KIM dan kedekatan hubungan Arilangga-Prabowo. Tetapi jika kepentingan publik dan komtimen menjaga agar demokrasi tetap hidup di Banten ditambah dengan kalkulasi elektoral sebagai dasar pijakan mestinya Golkar berani mengambil pilihan sikap yang berbeda.
Biar jelas, yang dimaksud kepentingan publik tidak lain adalah kepentingan warga Banten untuk mendapatkan pilihan-pilihan calon pemimpin yang memadai, bukan “dipaksa” memilih satu paslon atau kotak kosong. Dan komitmen menjaga demokrasi agar tetap hidup maksudnya adalah bahwa Pilgub Banten berlangsung dalam suasana kompetitif. Kompetitif dalam sisi kepesertaan, kompetitif dalam aspek gagasan, dan kompetitif pada saat pelaksanaan. Dan ini jelas hanya bisa diwujudkan jika Pilgub diikuti oleh sekurang-kurangnya dua pasangan calon.
Bersama PDIP, saya kira publik yang waras politik pasti berharap Golkar mau tampil di garda depan menjaga kewarasan berdemokrasi elektoral di Banten. Secara politik, harapan ini wajar, karena kedua partai ini faktanya menjadi “pemenang bersama” dalam Pemilu 2024 silam bersama Gerindra. Jadi pantas jika mereka memajukan kader-kader terbaiknya untuk memimpin Banten lima tahun kedepan.
Golkar dan PDIP juga merupakan partai senior dengan infrastruktur kelembagaan yang relatif sudah mapan hingga tingkat terbawah, selain memilki basis massa yang relatif juga solid hingga di Desa/Kelurahan.
Last but not least, Golkar dan PDIP memiliki kader-kader otentik yang pantas dimajukan, dan bahkan juga sudah berikhtiar menyosialisasikan diri kepada warga Banten. Airin bahkan sudah lebih-kurang dua tahun bergerak wira-wiri ke antero Banten. Hasil beberapa lembaga survei juga membuktikan Airin mengungguli figur-figur bakal kandidat lainnya, termasuk Andra dan Dimyati.
Kemudian bakal tandemnya, Ade Sumardi (Ketua DPD PDIP Banten) adalah mantan orang kedua di Kabupaten Lebak, yang basis massa dan popularitasnya di Selatan bisa diandalkan untuk melawan dominasi Dimyati. Satu poin menguntungkan dan boleh jadi merupakan berkah politik bagi warga se Banten, jika koalisi Golkar-PDIP terbangun untuk Pilgub Banten, maka formasi bangunan ini juga diharapkan bisa turun ke Pilkada Kabupaten dan Kota.
Dengan demikian, ambisi partai-partai yang memiliki surplus kekuasaan dan dominasi pengaruh karena konstelasi politik nasional untuk menjadikan Banten (Provinsi dan Kabupaten/Kota) sebagai arena pertarungan Calon Tunggal vs Kotak Kosong bisa dicegah. Dan api demokrasi Banten akan tetap menyala.
Penulis Indonesiana | Dosen | Pegiat Sosial
5 Pengikut
Kampanye Deliberatif di Pilkada 2024
3 hari laluBaca Juga
Artikel Terpopuler