Alfabetis
Selasa, 6 Agustus 2024 17:23 WIBPanorama cerpen, imaji mengurai sel-sel otak agar tetap sehat walafiat. Tak ada pembaca tak ada seni susastra. Jelajah imajinasi.
Kalau taksonomi mendadak absurd dari katagori alfabetis maka terduga keilmuan pun akan ngeles ke sisi berbeda. Loh kenapa bisa begitu. Bisa. Apabila kendali tertentu menghendaki demikian. Wow! Artinya kekuasaan kuasa usaha, boleh berkehendak sesuka hati tanpa peduli tematik tengah berlangsung di tengah publik. Nah, itu kalau balelo.
Wah! Kok jadi saling silang begitu sih. Cara pandang berpikir kan tak serupa lampu merah di perempatan jalan kadang stabil kadang mati tergantung waktu jatuh tempo bulanannya. Widih kejauhan kalau ke sana. Menyoal kebijakan tumpang tindih wayoo! Hal biasa serupa tapi tak sama. Sana pinter sini cerdas, tarik ulur mirip main layangan lah hai.
Hahaha. Ssst senyum saja jangan ngakak begitu bisa gawat seratus watt. Kesetrum makin gawat. Apa lagi kalau nyenggol adendum ketentuan gono gini ehem gubrak. Cekikikan aja yuk! Juga enggak boleh kuy. Hati-hati banyak mata di dunia maya. Hah! Mata siapa? Ya mata masing-masing pembuat artikel lah. Ooo! Halah! Kirain mataku matamu mata-mata.
Ssst! Sunyi saja. Sekalipun kebijakan sayur lodeh melenceng rasa sayur asem pedas manis. Makan saja ya. Nah itu lebih baik. Artinya hidup rame-rame mati pun rame-rame. Ogah. Sudahlah jalani saja hidup ini seperti pesan lagu pop. Lebih bijaksana begitu kan. Sekalipun harga pangan naik turun misalnya. Tapi bensin stabil kan. Semoga paham.
"Apaan sih maunya."
"Enggak mau apa-apa."
"Okeh. Serba salah kan."
"Enggak juga kok."
"Kalau menjawab pandang aku dong."
"Ogah, soalnya hmmh." Lantas pingsan.
"Tolong!" Meski dia tahu ini jam sibuk di kantor masing-masing. Lagi. "Tolong!" Tak satupun peduli kalau berteriak minta tolong di ruang eksklusif macam itu. "Tolong!"
Lantas entah mengapa, bagaimana, apakah itu perbuatan sang waktu atau syak wasangka ataupun kandidat dari ketersangkaan situasi ketika itu ataupun mendadak serupa rancangan rencana terinci. Suara di antara orang banyak muncul menghardik. "Berisik Bung!" Alamak bukan main terkesiapnya situasi. Minta tolong malah di anggap berisik. Lantas arena itupun telah merubah rupa tempat kejadian perkara di taman publik. O! Halah!
"Kalau teriak gunakan pengeras suara Bung!" Suara lain hadir nyelonong begitu saja.
"Kalau teriak-teriak gosok gigi dulu Bung!" Berbagai suara hadir silih berganti hingga polusi suara mengalahkan deru mesin perkotaan. Beragam suara-suara semakin tak ramah saling berebutan tempat terpopuler mencipta kultus baru di antara neokultus.
"Loh! Kok jadi berkisah rame-rame Bung."
"Ini akibat salah diagnosis di antara kepentingan para lini."
"Maksudnya?"
"Ya itu maksudnya."
"Absurd."
"Nah itu. Anda paham kan."
"Enggak juga sih."
"Loh!"
Komunikasi simpang siur laiknya daur ulang peristiwa rekayasa versus kemungkinan dugaan-dugaan. Lantas kasus sas sis sus berubah rupa menjadi usus buntu. Penyebab salah satu sembelit itu pun baru salah satu cerminan dugaan-dugaan baik secara pasal ini junto pasal itu maka absurditas semakin tinggi ngawang di angkasa.
Ramailah berebutan tempat komunikasi tersahih agar gosip ini itu sampai kepada tujuan maklumatnya. Nah, tinggal menanti siapa akan maju jadi pahlawan kesiangan seolah-olah serupa namun tak sama. Widih, makin simpang siur makin seru. Maka kemenangan medali diraih oleh isu-isu terkini, terkeren, terpopuler, terpuncak, ter-viral-kan.
Seru menyeru sekalipun berakibat menjadi abu. Bodok amat. Terpenting terjadi peralihan komunikasi arus utama menjadi komersialisasi komunikasi antar media. Apapun itu sila mencerna lewat penalaran sebagaiman mestinya, dari ketinggian manapun sila pilih sesuka hati. Apabila etape kemenangan sudah di tangani isu-isu komunikasi di antaranya.
"Cuss! Banget!"
"Sudah mengangkasa."
"Meski belum meraih komunikasi tujuan."
"Persuasif perlu asal jangan curu cuap suap-suap."
"Woi! Masih?"
"Tampaknya begitu."
"Belum bersih semesta."
"Belumlah. Menunggu banjir bandang ter-viral-kan."
"Wah!"
"Nah."
"Sekalipun musiman."
"Itu wawasannya."
"Dari tujuan?"
"Tergantung money laundering."
"Hihihihi."
"Ssst! Jangan cekikikan. Terserap loh."
"Hah!"
"Ada satelit."
"Wow!"
"Ya bongkar."
"Okeh."
"Jangan cuma oke kuy."
"Lantas?"
"Brangus tuntas."
"Tak mungkin."
"Ohh!" Putus asa.
"Kaleidoskopis membawa kabar tentang lampau banget ke terkini. Namun perubahan perilaku antar konsonan versus alegori berkisah masih sembunyi di balik para alibi."
"Oh! Begitu ya."
"Kurang lebihnya begitu."
"Meski tak sebanding bruto ditimbang neto."
"Begitu peranan akal bulusnya."
"Kan sudah sejak zaman batu cuy!"
"Nah. Tahu sama tahu."
"Plus sambal terasi."
Obat pembasmi serangga anonim tergantung kecanggihan tolok ukur penalaran penelitiannya. Total laboratorium atau sekadar penilik saja di antara obral besar kabar berita. Ramailah situs semesta sekalipun di antara angin lesus mendung hitam halilintar toh badai pasti berlalu. Biarin aja deh nanti juga mati sendiri kalau bahan bakarnya habis.
Hiks! Kritik tampaknya lebih baik menjadi adonan tempe goreng atau tahu capur telur masuk kulkas digoreng dalam keadaan beku maka lintasan kolesterol akan menyasar sesuka pemilik selera. Belum tahu sekalipun telah tersedia stock perkalori masih harus diteliti kebenaran manfaatnya. Berguna ataupun tidak. Teliti saja dulu sebelum membeli.
Prosedur berdasarkan kebutuhan pesanan tubuh. Mau dibawa kemana sih oleh pemesannya nasi goreng seefood itu. Keperut sendiri atau ke perut demos kratos. Nah.
***
Jakarta Indonesiana, Agustus 06, 2024.
Salam NKRI Pancasila. Banyak kebaikan setiap hari.
Baca Juga
Artikel Terpopuler