Siapkan Kampanye Dukung Kotak Kosong Lawan Pengerdilan Demokrasi ala KIM Plus
Rabu, 7 Agustus 2024 15:20 WIBDalam situasi partai-partai mengalami insecuritas dan defisit keberanian moral-politik menjaga demokrasi yang sesungguhnya, membantu mengampanyekan Kotak Kosong adalah bentuk partisipasi politik yang bermakna (meaningful participation).\xd
Oleh Agus Sutisna *)
Ridwan Kamil otw Jakarta. Dan nampaknya tinggal soal waktu menunggu pengumuman peresmiannya. Sinyal bahwa RK bakal bertarung di Pilkada Jakarta ini menguat setelah Golkar dan Gerindra berhasil melakukan kompromi dan “bertukar” medan laga elektoral untuk kader-kader populernya. Dedi Mulyadi, kader Gerindra maju di Jawa Barat dan didukung penuh oleh Golkar. Sebaliknya, Ridwan Kamil kader Golkar maju di Jakarta dan disokong penuh oleh Gerindra.
Kompromi serta saling tukar endorsement dan rekomendasi ini kemudian digaungkan dengan menggunakan simpul kerjasama politik elektoral Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus. Yakni gabungan partai politik yang mengantarkan Prabowo-Gibran memenangi Pilpres, ditambah dengan partai-partai lain di luar KIM untuk Pilpres 2024 silam.
Ridwan Kamil OTW Jakarta. Dan sebagaimana dapat dibaca dari pernyataan sejumlah elit KIM, RK bakal diback up sebagai Cagub Jakarta oleh seluruh kekuatan parpol yang tergabung dalam KIM ditambah partai-partai lain termasuk (kemungkinan) dari simpul kerjasama politik elektoral lawan KIM di Pilpres. Yakni PKB, PKS, dan Nasdem.
Jika ambisi mewujudkan koalisi gigantis, kapal induk (bukan lagi perahu) politik untuk Pilgub Jakarta itu berhasil, maka dua fenomena bakal teradi. Pertama, Anies Baswedan dengan sendirinya gagal maju karena tidak ada satu pun parpol yang bakal mengusungnya. Kedua, Pligub Jakarta bakal menghadirkan Kotak Kosong sebagai peserta melawan Ridwan Kamil.
Keberadaan PDIP sebagai partai pemilik suara dan kursi kedua di DPRD DKI hasil Pemilu 2024 silam praktis tidak berarti. PDIP tidak akan bisa membuat konstelasi politik elektoral menjadi genap maupun ganjil. Karena dengan raihan yang hanya berjumlah 15 kursi, secara normatif PDIP tidak mungkin mengajukan pasangan Cagub-Cawagub. Kurang 7 kursi untuk bisa melaju dengan pasangan Cagub-Cawagub sendiri.
Skenario Calon Tunggal
Itulah nampaknya skenario yang dikehendaki para elit partai yang saat ini sedang berada di atas angin setelah berhasil memenangi Pilpres 2024. Dan skenario ini nampaknya juga sedang diikhtiarkan di sejumlah provinsi besar lainnya.
Di Banten misalnya, beberapa hari lalu Koalisi Banten Maju (KBM) yang mengusung pasangan Cagub-Cawagub Andra (Gerindra) dan Dimyati (PKS) dideklarasikan. KBM beranggotakan semua partai peraih suara di DPRD Banten hasil Pileg 2024 plus beberapa parpol papan bawah, minus Golkar dan PDIP.
Jika dalam hitungan pekan ke depan, Golkar (karena paling rawan tentu saja) akhirnya juga berubah pikiran dan merapat ke KBM, game over. Warga Banten bakal disuguhi kontestasi lawak: Andra-Dimyati melawan kotak kosong. Karena sama persis nasibnya dengan di Jakarta, PDIP sendirian tidak bisa mengajukan pasangan cagub-cawagub lantaran raihan kursinya tidak menembus ambang batas syarat pencalonan. Kurang 4 kursi untuk bisa melaju dengan pasangan cagub-cawagub sendiri.
Di Jawa Timur potensi muculnya calon tunggal juga cukup terbuka. Selain karena figur Khofifah yang elektabilitasnya masih paling moncer dan telah mendapatkan rekomendasi partai-partai besar anggota KIM seperti Gerindra, Golkar dan Demokrat, PDIP tidak bisa mengajukan sendiri pasangan cagub-cawagub. Jika komunikasi prakandidasi dengan PKB dan Nasdem gagal, lagi-lagi game over. Warga Jatim bakal disuguhi kontestasi lawak: Khofifah-Emil Dardak melawan kotak kosong.
Berbeda konstelasi statistik politiknya, berdasarkan raihan kursi di DPRD hasil Pileg 2024 PDIP memang bisa mengajukan pasangan sendiri di Sumatera Utara dan Jateng. Tetapi di kedua provinsi ini ada pengaruh besar Jokowi yang masih sukar dilawan. Di Sumut, Bobby (menantu Jokowi) sudah mengantongi rekomendasi semua partai besar KIM, bahkan juga dari PKS. Di Jateng ada Kaesang (anak Jokowi) yang disiapkan untuk maju oleh KIM.
Di dua provinsi terakhir ini, nyali politik sekaligus komitmen demokrasi PDIP benar-benar diuji. Apakah PDIP berani melawan arus dan menunaikan kewajiban moralnya sebagai partai politik pemasok calon-calon pemimpin sekaligus penjaga garda depan nafas hidup demokrasi? Atau, sebelas-duabelas saja dengan partai-partai lain, insecure lalu memilih bergabung dalam proses pengerdilan demokrasi?
Pengerdilan Demokrasi
Pilkada dengan pasangan calon tunggal, terutama karena disebabkan oleh insecuritas partai-partai dalam mengartikulasikan aspirasi rakyat di daerahnya menghadapi hegemoni dan tekanan partai-partai berkuasa tentu tidak sehat dalam tradisi demokrasi. Fenomena calon tunggal merupakan pengerdilan hakikat demokras, penyempitan ruang partisipasi sebagai esensi demokrasi setidaknya karena beberapa alasan berikut ini.
Pertama, masyarakat tidak diberikan pilihan kecuali figur pasangan calon hasil kesepakatan elit yang sangat mungkin berlangsung dalam proses yang sarat dengan transaksi-transaksi gelap politik.
Kedua, calon tunggal tidak memungkinkan munculnya kontestasi gagasan yang berlangsung secara diskursif, kompetitif dan bisa diuji oleh publik. Kompetisi gagasan jadi berlangsung monolitik, tidak ada pembanding visi misi dan program yang ditawarkan kepada masyarakat.
Ketiga, calon tunggal dalam perhelatan bernama Pilkada cenderung menjadi pseudo-elektoral. Pemilihan yang semu. Karena paket pasangan calon yang ditawarkan kepada masyarakat hanya satu. Contradictio in terminis. Memilih itu artinya mengambil satu diantara minimal dua pasangan calon yang tersedia.
Keempat calon tunggal Pilkada mengisyaratkan bahwa partai-partai politik gagal menjalankan fungsinya sebagai sarana rekruitmen politik kepemimpinan sekaligus sarana artikulasi kepentingan kelompok-kelompok di dalam masyarakat yang dapat dipastikan tidak mungkin bersifat homogen.
Kelima, dominasi kelompok apalagi yang berbasis keluarga atau kekerabatan yang terlampau kuat dan dibiarkan berlangsung tanpa perlawanan potensial berdampak pada menyempitnya ruang publik untuk melahirkan pemimpin-pemimpin otentik di daerah, pemimpin yang memiliki integritas dan kapasitas unggul.
PDIP dan Harapan yang Tersisa
Oleh karena itu fenomena calon tunggal ini harus dicegah. Ada empat strategi yang bisa dilakukan oleh masyarakat. Pertama menyadarkan partai-partai politik perihal tanggungjawab moral dan kewajiban politiknya menyediakan kandidat-kandidat pemimpin lokal sesuai aspirasi yang berkembang, sekecil apapun gaung aspirasi itu.
Kedua, mendesak partai-partai politik yang saat ini berada diatas angin untuk menghentikan nafsu purbanya memenangi kontestasi dengan menyiasati proses kandidasi hingga melahirkan calon tunggal.
Ketiga, dalam konteks Pilgub di beberapa provinsi besar yang tadi sebutkan, mendorong PDIP dan beberapa partai yang masih bisa diharapkan dan belum terikat “kontrak” dengan KIM Plus seperti PKS dan Nasdem di Jakarta; Golkar di Banten, serta PKB dan Nasdem di Jatim misalnya, untuk berani mengambil langkah dan kebijakan yang mandiri dengan memajukan pasangan alternatif dari pasangan cagub-cawagub yang sekarang sudah disiapkan oleh KIM Plus.
Keempat, jika ketiga strategi itu potensial gagal dan kemudian terbukti gagal pada akhirnya, masyarakat sipil, tokoh masyarakat independen, dan kalangan intelektual publik saya kira harus turun gunung lebih masif memberikan penyadaran kritis kepada masyarakat dengan mengampanyekan Kotak Kosong dan berduyung-duyun menggunakan hak pilihnya untuk pemenangan Kotak Kosong.
Dalam situasi partai-partai mengalami insecuritas dan defisit keberanian moral-politik menjaga demokrasi yang sesungguhnya, membantu mengampanyekan kotak kosong adalah bentuk partisipasi politik yang bermakna (meaningful participation). Tidak perlu menang. Tetapi jika kotak kosong menang tentu akan lebih baik karena ini bisa menjadi warning yang sangat penting bagi elit-elit partai politik.
Keberhasilan, apalagi kemenangan kotak kosong akan menjadi pesan penting bagi para elit partai dan kekuasaan bahwa rakyat sebagai pemilik sejati kedaulatan sesungguhnya ingin didengar suaranya, muak dengan sikap monolitik mereka, dan bahkan bisa mengambil keputusan yang berbeda dengan kesepakatan para elit.
*) Penulis Dosen FISIP Universitas Setia Budhi Rangkasbitung
Penulis Indonesiana | Dosen | Pegiat Sosial
5 Pengikut
Kampanye Pilkada di Kampus
4 hari laluBaca Juga
Artikel Terpopuler