Istinggar Brown Lipstick
Rabu, 7 Agustus 2024 18:45 WIBPanorama cerpen, imaji mengurai sel-sel otak agar tetap sehat walafiat. Tak ada pembaca tak ada seni susastra. Jelajah imajinasi.
DONGENG LANGIT.
Sentir layar terkembang cahaya pembuka.
Musik: Metal Symphony, adegan berkisah.
Ini negeri kami. Kalian mau apa.
Air mata tak satupun menetes ke bumi
Lihatlah toga-toga edukatif beterbangan
di angkasa. Ham him hum
"You are the one and only." Senyum dingin.
"Yes, and you are too." Menatap tajam.
"Jleb!" Mati serentak dengan kepala bolong. Siapa? Entah.
"Die, you witch." Bayangan pekat berkelebat sekilat, the shadow on the wall, mungkin juga mimpi buruk dari neraka. Mungkin pula juragan misterius keluar dari frame layar cerita, semakin enggak jelas sangat mungkin aneh-aneh. Makin kacau semakin baik, kalibut, target dari isu gombal, semakin simpang siur semakin jenius. Untuk apa?
Satu peluru dua nyawa sekaligus minggat. Kejam? Mungkin itu salah satu cerita modernisme. Kekacauan hampir serupa hamberger beku di kulkas. Ekspansi mirip invasi menjadi candaan formal, hancur satu generasi dalam perang tanpa arti, ah ya siapa peduli ini demi isme abal-abal kepala ikan kakap.
Billion in black money masuk pesawat alien "Flash!" Sirna. Enggak perlu jas perlente, mobil mewah jabatan top news, bergaya sultan bodong money laundry. Bah! Pepesan kosong, the world global style, asal norak, oke, asli, tak ada duanya, terbaca jelas di bibir gelas anggur rembulan prosa roman bimsalabim mengangkasa.
Sunday morning, today news papers. Segelas kopi tubruk, menghisap lisong impor, padahal tembakau lokal dari negeri si aktor kopi tubruk. "Camera rolling!" Berakting, ya pas saja, karena ia sekadar kamuflase imaji di antara sejumlah realisme job desk. "Cut!" Sutradara menghampiri sejenak, lantas saling bersalaman xixixi ...
Lalu si aktor kopi tubruk berdiri di atas gedung pencakar langit, menerjunkan dirinya. Bunuh diri? Entah. Tak ada satupun media apapun memberitakan kematiannya. Miris? Enggak tuh, publik beraktivitas seperti lazimnya kehidupan kemodernan megapolitan, barangkali. You super sibuk of course me too.
Cerita peniruan realitas jadi, cerpen, novel, film, puisi, prosa, atau based on an original story, bergantung kebutuhan estetis. Mau dibawa kemana sebuah kisah, menuju target market benua atau lokal, tergantung seberapa besar, modal, animo perkiraan cuaca, payu opo ora (laku atau tidak) kelak. Yes or No, kembali pada pemirsa.
Kebudayaan manusia digelar di planet bumi, beragam aktivitas, kisah bergulir sebagaimana kehendak pilihan kehidupan benua di pijak, beragam corak cuaca. Musim memberi warna cinta, kasih sayang, patah hati pedih perih. Fatamorgana menguapkan utopia ekspresi dari impresi abstraksi realis.
Segenggam beras penuh arti. Anak-anak tanpa nama berlarian dalam hujan mengejar mimpi, berlomba kemenangan di bawah matahari, mengejar layangan putus menuju huma pesawahan, bukit-bukit hijau, menuruni subak berlompatan girang gemilang, menyelamatkan tetes air mata tak sudi jatuh ke bumi.
Tanah lahir tak boleh tahu apapun nasib, tekad anak-anak tanpa nama terus mengejar cita-cita sekalipun tersebut kisah warna-warni di banyak laman media daring, kami tak peduli. Karena kami bukan penjual warna-warni. Kami mencintai tanah lahir. Tanah nenek moyang beta, pelaut, para petani.
***
Jakarta Indonesiana, Agustus 07, 2024.
Salam NKRI Pancasila. Banyak kebaikan setiap hari.
Baca Juga
Artikel Terpopuler