Mendorong Guru untuk Belajar dan Tumbuh Bersama

Jumat, 9 Agustus 2024 19:05 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Terlaksananya program sekolah, hidupnya suasana belajar, harmonisnya interaksi antar warga sekolah, dan tumbuhnya semangat gotong royong, adalah wajah baru yang diharapkan dari guru yang tekun belajar dan mengembangkan diri.

Adanya program guru penggerak dan platform merdeka mengajar, merupakan dua di antara kebijakan pemerintah dalam mendorong terciptanya budaya baru dalam dunia pendidikan kita, yaitu guru yang mau dan dengan sadar diri ingin belajar.

Di samping itu, guru juga diharapkan dapat belajar melalui rekan kerja di komunitas belajar, mengikuti berbagai pelatihan di luar sekolah, atau sekedar berbagi praktik baik di meja kerja (brainstorming).

Mengapa kebiasaan ini perlu dibangun? Sebab, seperti yang kita pahami, tidak semua orang ingin belajar. Keletihan dalam bekerja, kesibukan rumah tangga, dan berbagai tuntutan hidup lainnya menjadi salah satu aspek penghambat belajar.

Guru, dengan berbagai kesibukan dan tuntutan profesi juga mengalami hal demikian. Sehingga, secara tidak sadar perlahan membunuh gairah untuk belajar dan tumbuh.

Faktor penghambat belajar lainnya, ialah kurangnya kesadaran untuk mengupgrade keterampilan baru. Tidak sadar bahwa perlu menguasai hal-hal yang, tidak hanya baru, juga standar keguruan itu sendiri. Ia terjebak pada pola lama dan merasa puas dengan kualitas diri dan mutu pembelajaran yang dilakukan. Sementara zaman terus berkembang, dan generasi hari ini terus tumbuh. Berbeda dengan generasi-generasi sebelumnya.

Faktor selanjutnya, lingkungan kerja yang kurang mendukung pertumbuhan guru. Tidak adanya inisiator gerakan belajar, dan kurangnya panutan yang bisa dijadikan mentor. Sehingga menciptakan kemalasan kolektif di lingkungan kerja.

Upaya yang perlu dilakukan

Kepala Sekolah adalah pemimpin pembelajaran bagi guru. Bukan sekadar administrator organisasi. Ia memiliki segalanya untuk menciptakan ekosistem belajar di lingkungan sekolah. Namun, hal ini perlu ditopang oleh visi dan prakarsa perubahan yang jelas dan terukur. Ditopang dengan kemampuan memimpin yang mumpuni (leadership).

Beberapa ide yang perlu dilakukan kepala sekolah agar dapat menciptakan ekosistem belajar guru. Pertama, mendorong pemahaman visi sekolah, dan visi diri seorang guru. Sebab, visi adalah idealisme. Ia bahan bakar bagi seorang guru untuk melakukan suatu tindakan. Termasuk tindakan untuk belajar.

Luangkan satu sesi di mana guru menggali kembali visi diri dan merefleksikannya dalam proses belajar yang ia lakukan selama ini. Termasuk menyadari pencapaian, tujuan, dan keterampilan apa yang perlu dikembangkan.

Kedua, membuat program pembinaan berkala. Terjadwal dan terukur tujuan pencapaiannya. Misalnya di bulan pertama guru perlu mempelajari apa, di bulan kedua perlu melakukan apa. Sehingga dalam satu tahun ajaran, guru dapat melihat langsung apa saja yang sudah ia pelajari atau apa saja yang perlu ia kembangkan.

Program yang dibuat tidak perlu yang berat-berat. Biarkan guru bersama rekan kerjanya memetakan sendiri apa saja yang ingin dia kembangkan. Biarkan ia merenungkan kembali ihwal pencapaian baru apa yang telah ia raih. Tanpa perlu dibebani hal-hal lain yang memberatkan.

Meskipun program pengembangan ini sudah ada di pengelolaan kinerja PMM, nampaknya perlu dievaluasi kembali dalam satu rumusan pertanyaan: Apakah guru sudah benar-benar belajar? apakah benar mereka mengikuti proses itu secara sistematis? biarkan kita bercermin masing-masing.

Ada banyak program pengembangan diri yang luput dari pandangan kita. Misalnya, public speaking. Seni mengkomunikasikan ide dan gagasan secara rapi dan sistematis adalah senjata utama guru. Ada juga, keterampilan scouting. Ini berkaitan dengan bagaimana seorang guru dalam menilai, mengukur, menetapkan standar, memandu bakat murid dan mengerti apa yang perlu dikembangkan baik secara akademis maupun praktis seorang murid. Atau, psikologi, journaling, literasi, ice breaking, dan sebagainya.

Ketiga, kepemimpinan yang memberdayakan. Tidak banyak pemimpin yang dapat memberdayakan guru. Misalnya, dengan mendorong guru agar dapat berfikir dan bertindak merdeka dalam melaksanakan tugas dan membuat keputusan. Guru yang takut salah cenderung melimpahkan suatu tugas/peran kepada guru lain.

Bahkan tidak jarang kepala sekolahnya langsung yang harus turun tangan. Tanpa melakukan pembinaan dan pendelegasian tugas. Ia handle sendiri seperti Spiderman. Pola ini harus diubah. Jangan biarkan guru tidak mendapat kesempatan belajar dari peran yang diberikan kepadanya.

Keempat, pendelegasian tugas yang proposional, rasional, dan relevan. Adanya fenomena guru "burn out" atau letih bekerja, disebabkan karena pembagian tugas yang tidak adil. Misalnya, ada seorang guru menguasai banyak keterampilan, seluruh beban organisasi dilimpahkan kepadanya. Sementara guru lain, bersembunyi di balik kata "tidak bisa", "kurang mampu", dan "tidak mengerti".

Bila ini terjadi, jangankan belajar bersama, justru yang ada kebekuan demi kebekuan. Ketika ada pihak-pihak yang menutup diri dari belajar, saat itulah kemunduran akan terjadi.

Pembagian peran harus memperhatikan asas keadilan dan kesempatan belajar. Berikan kesempatan yang sama setiap individu untuk berkembang sesuai dengan tugas pokoknya. Jangan biarkan ia menumpuk ke satu pundak.

Budaya tumbuh bersama

Tentu saja menciptakan budaya tumbuh bersama ini adalah tanggung jawab bersama. Bukan kepala sekolah saja. Bahkan ia harus muncul dari dalam diri guru itu sendiri. Ing Madyo Mangun Karso.

Tidak semuanya bisa dipelajari guru. Tapi setidaknya ada hal-hal dasar yang perlu ia kembangkan. Sesuai kebutuhan dan orientasi belajar yang ia rencanakan.

Kalaupun kita belum bisa melakukan lompatan perubahan yang besar, setidaknya kita mampu mendorong diri dan rekan kita untuk belajar bersama. Ini salah satu prinsip dasar yang saya pelajari saat menjalani pendidikan guru penggerak 2021 silam.

Mengembangkan diri dan rekan kerja adalah satu agenda penting seorang guru. Di samping mengembangkan murid-muridnya. Sebab, semakin guru berkembang dan tumbuh dengan keterampilan dan kapasitas yang lebih baik, semakin baik pula kualitas pembelajaran di kelas.

Oleh karena itu, budaya tumbuh bersama harus mendapat tempat yang istimewa di dalam sistem pergaulan dan interaksi guru. Bukan saling lempar tanggung jawab, contek-mencontek, upah-mengupah, dan saling berpangku tangan.

Dari sini, kita dapat melatih daya lenting seorang guru dalam beradaptasi dengan situasi dan kondisi yang ia hadapi. Saling membantu dalam konteks positif. Bukan saling membantu yang justru membuat satu pihak terbebani dan pihak lainnya berhenti belajar. Atau hanya untuk keuntungan sesaat. Semakin tumbuh kesadaran guru untuk belajar, semakin pesat kemajuan pembelajaran di sekolah. Bahkan berdampak besar pada kinerja organisasi.

Terlaksananya program sekolah, hidupnya suasana belajar, harmonisnya interaksi antar warga sekolah, dan tumbuhnya semangat gotong royong, adalah wajah baru yang diharapkan dari guru yang tekun belajar dan mengembangkan diri.

Budaya ini diharapkan semakin mempercepat transformasi pendidikan Indonesia ke arah yang lebih baik. Melalui berbagai kegiatan pengembangan diri yang dilakukan guru, semoga dapat meningkatkan kualitas pembelajaran ke level yang lebih tinggi. []

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bagikan Artikel Ini
img-content
Ahmad Risani

Pegiat Pendidikan, Penulis buku Netizenokrasi:Sketsa Politik Generasi Milenial

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler