Good Bye Partai Ideologi
Senin, 12 Agustus 2024 08:56 WIBJika kelak kualitas dan kepercayaan ke partai politik semakin merosot dan diragukan oleh pemiliknya. Hal ini sebagai bagian hukuman moral terhadap ketidaknyamanannya masyarakat memiliki partai idaman. Ketika partai ideologi sudah terdegradasi oleh kepentingan pragmatisme, bersikaplah untuk kehilangan pemilih setianya.
Politik pecah belah bukan lagi barang baru dalam dunia stategi militer atau politik. Bangsa ini telah bertekuk lutut hampir 350 tahun lamanya akibat kepiawaian Belanda menerapkan politik pecah belah. Kesuksesan strategis kompeni tersebut ternyata diadopsi oleh para elite politik tanah air. Artinya strateginya penjajah diadopsi oleh politik Pribumi. Jadilah mereka dikatakan sebagai bagian neokolonialisme baru dalam politik kekinian Indonesia.
Mengapa akhirnya elite politik berkelakuan seperti halnya kaum penjajahan di jaman kolonial?
Neokolonialisme Politik
Bertanya-tanya pada diri sendiri dan rumput yang bergoyang-goyang di depan Istana Presiden. Kembali penjajahan model baru di bumi Pertiwi ini justru diinisiasi oleh orang Pribumi, kumpulan atau komplotan elite partai yang bersekongkol dan tentunya mendapatkan restu serta dukungannya dari para tangan setan yang tak terlihat.Bukan lagi sebuah hantu tetapi keterlibatan serta pengaruhnya para invisible hands ini sudah bagian kenyataan sudah memasuki tataran dunia politik praktis.
Pada dasarnya pola politik Indonesia sudah sangat kronis dan kritis. Budaya pragmatisme dengan dibarengi oleh feodalisme semakin menunjukkan kualitas demokrasi semakin tenggelam dan menyisakan banyak kepalsuan. Demokrasi tidak bisa disejajarkan dengan perilaku feodalisme dan pragmatisme. Kedaulatan demokrasi sesungguhnya ada di tangan rakyat bukan hamba nya atau kumpulan oligarki.
Mengapa justru sikap anti demokrasi melekat parah di berbagi kelompok atau elite partai? Bukannya instrumental penting dalam demokrasi itu ada dalam sebuah eksistensi dan perwujudannya banyaknya partai politik berdiri dan berkembang?
Anti Demokrasi Di Pilkada
Gejolak politik tanah air dipastikan akan semakin panas dan bergejolak. Kontestasi Pilkada dipastikan menjadi areal sengit persilangan sekaligus perselisihan tajam baik melibatkan masyarakat dan juga partai politik. Masyarakat secara umum geram dan apriori atas pelaksanaan Pilkada yang bakal di gelar di Bulan November 2024. Mereka telah banyak belajar banyak kejadian fenomenal paska Pilpres 2024. Hembusan ketidakpercayaan masyarakat ini menjadi ancaman berbahaya bagi konsolidasi atau persengkokolan politik. Konglomerasi politik bakal dilawan oleh masyarakat.
Gelaran Pilkada menjadi isu sentral perebutan kekuasaan dan hegemoni politik di tingkat lokal. Segala bentuk manuver dan juga operasi politik khusus sudah mulai terjadi. Persengkokolan dan juga penghianatan menjadi bagian komoditi murahan. Bermunculan fenomena gerakan dan juga resistensi politik. Sebagai contoh, sudah muncul seruan aksi dari kelompok pendukung bakal calon Gubernur Jakarta, Anies Baswedan yang mengatasnamakan Warga Jakarta, untuk datang ke Kantor DPP PKS di Jakarta pada Minggu, 11 Agustus 2024. Mereka meminta PKS agar kembali mengusulkan Anies Baswedan menjadi bahkan dari Calon Gubernur DKJ Periode 2024-2029.
Dikutip dari berbagai sumber, Koordinator lapangan, Musa mengatakan bahwa kelompoknya melihat adanya gelagat rezim politik dinasti yang mencoba merayu PKS untuk tidak lagi mendukung Anies Baswedan di Pilkada Jakarta.
Padahal sebelumnya melalui juru bicara PKS Muhammad Kholid mengatakan dukungan partainya untuk pasangan Anies Baswedan-Sohibul Imam dalam Pemilihan Gubernur atau Pilgub Jakarta sudah kedaluwarsa. Sebagai gantinya, dia menyebut PKS tengah memulai opsi kedua untuk merapat dengan Koalisi Indonesia Maju atau KIM Plus.
Ditabrak Hitungan Hari
Menjadi tamparan kerasa bagi partai yang konon menyandang parpol paling idiologis seperti PDI-P dan PKS. Dalam kenyataan, keberadaan idiologi tersebut dimusnahkan oleh perilakunya parpol sendiri. Apa yang dilakukan oleh PKS dalam opsi dan pandang politik- nya di Pilkada DKI. PKS dianggap partai munafik dan oportunis karena hanya dalam waktu sekejab mengubah pilihan politik kandidat yang diusungnya.
Bentuk anomali ketidakkonsistenan-nya akhirnya terjadi. "Sekarang kami mendalami komunikasi di opsi yang kedua--lebih mendalami opsi kedua ini dengan pimpinan KIM," kata Kholid saat menggelar konferensi pers di kantor DPP PKS, Jakarta Selatan pada Sabtu, 10 Agustus 2024.
Bahkan juru bicara PKS Muhammad Kholid berterus terang mengatakan dukungan partainya untuk pasangan Anies Baswedan-Sohibul Imam dalam Pemilihan Gubernur atau Pilgub Jakarta sudah kedaluwarsa. Sebagai gantinya, dia menyebut PKS tengah memulai opsi kedua untuk merapat dengan Koalisi Indonesia Maju atau KIM Plus.
"Sekarang kami mendalami komunikasi di opsi yang kedua--lebih mendalami opsi kedua ini dengan pimpinan KIM," kata Kholid saat menggelar konferensi pers di kantor DPP PKS, Jakarta Selatan pada Sabtu, 10 Agustus 2024.
Kesimpulan
Apa yang menimpa PKS dalam perubahan dukungan politik di berbagai Pilkada menunjukkan masifnya berbagai kepentingannya sedang berkeliaran. Beralih nya keputusan politik di mana PKS berlabuh bersama KIM adalah perwujudan kemenangan politik pecah belah. PKS sudah lumpuh dari independen politik, dulu sebagai rival pemerintah dan pada saatnya harus bertekuk lutut. Kekuatan penyeimbang demokrasi sudah dikudeta. Pertanyaan, siapa sesungguhnya yang menjadi pemecahbelah demokrasi di Indonesia?
Penulis, Pengamat Politik dan Sosial
0 Pengikut
Aneh Tapi Nyata, Prabowo Kejam Reformasi Namun Ikut Menikmati Hasilnya
Minggu, 25 Agustus 2024 18:58 WIBPAN Bukan Lagi Partai Reformis Bisa Jadi Ketum Partainya Seumur Hidup
Minggu, 25 Agustus 2024 08:27 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler