Perlu Respon Radikal untuk Menghindari Bencana Ekologis

Kamis, 15 Agustus 2024 08:09 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Puluhan tahun kita menormalkan tujuan kapitalisme walaupun dampak buruknya kian besar.

Oleh: Purwanto Setiadi

Sambil berdiri, dalam satu pertemuan terbuka yang disiarkan televisi, Trevor Hill mengajukan pertanyaan sederhana kepada Nancy Pelosi, pemimpin partai oposisi di Dewan Perwakilan Rakyat Amerika Serikat. Kala itu, pada 2017, Hill baru dua tahun mengenyam masa kuliah, dan dia seperti milenial pada umumnya: punya rasa ingin tahu yang kuat tentang dunia ini dan bersemangat untuk membuatnya lebih baik.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Mengutip temuan studi Harvard University setahun sebelumnya yang menunjukkan 51 persen warga Amerika berusia antara 18-29 tahun tidak lagi mendukung kapitalisme, Hill ingin Pelosi menjawab apakah Partai Demokrat, partai Pelosi, dapat merespons realitas yang berubah cepat ini; apakah Partai Demokrat bisa mengajukan sebuah visi tentang ekonomi alternatif.

Pelosi tampak terenyak. Dia lalu berkata, “Terima kasih untuk pertanyaannya, tapi maaf kalau saya bilang kita memang kapitalis, dan begitulah adanya.”

Video dari momen itu pun viral. Selaku rekaman sebuah gugatan terhadap kemapanan lewat forum dialog publik, ia menjadi satu citra yang kuat karena mendramatisasi tabu bagi siapa pun untuk mempersoalkan kapitalisme, apalagi secara terbuka.

Jason Hickel menceritakan insiden tersebut dalam buku Less is More: How Degrowth Will Save The World (2020). Sebagai bagian dari landasan argumennya di buku ini, tentang perlunya mewujudkan perekonomian pascakapitalis demi mengelakkan bumi dari bencana ekologis, guru besar antropologi ekonomi di Autonomous University of Barcelona itu sengaja menunjukkan bahwa momentum untuk mengubah pandangan yang selama ini menganggap kapitalisme adalah jalan satu-satunya untuk mewujudkan kesejahteraan manusia sebenarnya telah ada. Yang dia maksud, tiada lain, adalah semakin tidak nyamannya kaum muda, generasi yang harus mewarisi masa depan yang terancam, terhadap sistem yang saat ini berlaku.

Sikap kaum muda yang dirujuk maupun yang ada pada Hill tidak sepenuhnya berlaku di kelompok usia muda di seluruh dunia, sebenarnya. Kita memang menyaksikan, misalnya di Inggris, mereka yang terlibat aktivisme dalam organisasi-organisasi masyarakat sipil bidang lingkungan yang gigih mengkritik ketidakpedulian para politikus terhadap situasi genting terkait dengan krisis iklim; mereka yang menjalankan aksi mendisrupsi tempat-tempat publik untuk menuntut pembatalan izin baru penambangan minyak bumi. Tapi, dalam kenyataannya, apa yang dicitrakan sebagai sukses dari kapitalisme di Amerika--menciptakan lapangan kerja, membebaskan orang dari kemiskinan, dan memberdayakan siapa pun untuk mewujudkan impiannya--luas dijadikan sumber ilham, hampir di seluruh dunia. Dan hal ini ditanamkan di benak siapa saja, termasuk generasi muda.

Tentang poin itu, temuan penelitian Pew Research Center’s Global Attitudes and Trends, umpamanya, memperlihatkan 66 persen responden percaya orang mendapatkan keadaan yang lebih baik dalam sistem kapitalisme. Pandangan seperti ini secara khusus berlaku di negara-negara yang perekonomiannya baru mulai atau sedang berkembang, seperti Kenya, Nigeria, Vietnam, Indonesia.

Satu hal yang juga mesti disadari, kapitalisme tidak selalu terang-terangan dideklarasikan sebagai sistem atau dipraktikkan untuk menjalankan perekonomian suatu negara--sebagian dari negara-negara yang ada menerapkannya tapi memberinya tabir. Di Indonesia, kapitalisme bukan sistem yang dipilih pendiri negara, hanya saja, dalam praktiknya kemudian, dan dalam batas tertentu, begitulah jiwanya. Dan hal ini kian telanjang pada dua periode pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Persepsi yang masih memandang positif sistem perekonomian yang saat ini berlaku di Indonesia itulah, barangkali, yang mendasari jawaban responden dalam survei Development Dialogue Asia bersama Communication for Change dan Kantar Indonesia pada 2021. Salah satu temuan yang membikin tercengung, kalaupun bukan nelangsa, adalah pendapat bahwa deforestasi, penggundulan hutan, tidak menjadi masalah asalkan menguntungkan secara ekonomi.

Temuan tersebut, bagaimanapun, merupakan pertanda tentang bagaimana kebijakan puluhan tahun sejak era Orde Baru telah menormalkan tujuan kapitalisme: pertumbuhan tanpa batas demi mengakumulasi modal. Tidak peduli bahwa pertumbuhan terus-menerus itu, seperti yang terjadi di Amerika, tidak benar-benar dapat merealisasikan janji jaminan lapangan kerja, pemerataan, keadilan sosial, dan apalagi kelestarian lingkungan.

Untuk aspek pemerataan saja data Global Wealth Report 2023 menunjukkan 1 persen orang terkaya Indonesia menguasai hampir 50 persen kekayaan negara senilai US$ 3,26 triliun. Ini belum menyangkut fakta terkait dengan penciptaan lapangan kerja yang, dalam sedasawarsa terakhir, tidak mengalami kenaikan signifikan dan Undang-Undang Cipta Kerja pun tidak dapat membantu; serta makin luasnya lingkungan yang bobrok.

Maka, sebagaimana di negara-negara lain, tanpa kesadaran dan pengakuan bahwa cara perekonomian kita beroperasi--demi mewujudkan kesejahteraan bagi semua--harus diubah, bisa dibilang kita masih beruntung kalau hanya dapat jalan di tempat. Tapi, dengan bergulirnya waktu, hal ini semakin lama bakal jadi mustahil. Menimbang situasinya, termasuk lambatnya kemajuan dari realisasi komitmen kita dalam Perjanjian Paris, pilihan yang tersedia hanya satu: selekasnya melakukan respons radikal jika kelangsungan hidup kita dan peluang untuk menjalaninya secara berkelanjutan jauh lebih berharga.

Semangat seperti yang ada pada Trevor Hill, dengan gairah untuk mengadopsi cara baru dalam menjalankan perekonomian, adalah keniscayaan.

Bagikan Artikel Ini
img-content
purwanto setiadi

...wartawan, penggemar musik, dan pengguna sepeda yang telah ke sana kemari tapi belum ke semua tempat.

3 Pengikut

img-content

Yang Langka: Keadilan di Jalan

Rabu, 4 September 2024 21:35 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler











Terkini di Catatan Dari Palmerah

img-content
img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Catatan Dari Palmerah

Lihat semua