BPIP Inginkan Seragam Tunggal Ika; Kontroversi Paskibraka Lepas Hijab

Kamis, 15 Agustus 2024 11:34 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Di mana letak kemerdekaan ketika seorang muslimah harus memilih antara menunaikan kewajiban agamanya dan memenuhi tuntutan peraturan? Ironi Bhineka Tunggal Ika ketika muncul penyeragaman yang mengekang kebebasan beragama dan identitas.

Kemerdekaan selalu dirayakan dengan gegap gempita setiap tahun. Merah putih berkibar di langit biru, dan kita diingatkan kembali pada pengorbanan para pahlawan yang telah gugur demi memerdekakan bangsa ini. Namun, di balik semua itu, ada ironi yang sulit diabaikan. Kita mengklaim telah bebas dari penjajahan, namun apakah kita benar-benar merdeka dalam setiap aspek kehidupan? Atau apakah "merdeka" hanya menjadi topeng untuk menutupi ketidakadilan dan diskriminasi yang masih bersembunyi di balik gemerlapnya perayaan?

Kita selalu membanggakan semboyan Bhineka Tunggal Ika—berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Kalimat ini sering kali diucapkan dengan penuh keyakinan, seolah menjadi mantra sakti yang mampu menyatukan keberagaman nusantara. Tapi, tunggu dulu. Apakah semboyan ini benar-benar dimaknai dengan tulus, atau hanya menjadi jargon kosong yang menyenangkan telinga?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ironi ini semakin terasa ketika kita melihat perlakuan diskriminatif terhadap pemeluk agama tertentu, khususnya dalam hal berbusana. Contoh paling mencolok adalah pemaksaan pelepasan hijab bagi anggota Pasukan Pengibar Bendera (Paskibra). Dalam situasi ini, pemerintah dan institusi yang seharusnya menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan justru terjebak dalam praktik-praktik yang memaksakan kehendak dan mengekang hak individu. Di mana letak kemerdekaan itu ketika seorang muslimah harus memilih antara menunaikan kewajiban agamanya dan memenuhi tuntutan peraturan yang kaku?

Dengan segala hormat pada upaya penyeragaman ini, apakah kita benar-benar menginginkan Bhineka Tunggal Ika berubah menjadi “Seragam Tunggal Ika”? Konsep yang dulu berakar pada penerimaan dan penghargaan terhadap perbedaan kini mulai kabur dalam kabut birokrasi. Pemerintah yang seharusnya menjadi penjamin keragaman malah mempromosikan keseragaman, dengan dalih demi persatuan, padahal justru menyingkirkan makna kebhinekaan itu sendiri.

Ketika seorang muslimah dipaksa untuk melepas hijabnya demi "keseragaman," apa yang sebenarnya kita rayakan dalam kemerdekaan ini? Apakah kemerdekaan yang diraih dengan darah dan air mata pahlawan kita hanya berakhir pada penindasan baru, yang kali ini dilakukan atas nama negara yang katanya sudah merdeka?

Sepertinya, kita lupa bahwa kebebasan sejati bukanlah kemampuan untuk menyeragamkan, melainkan untuk menghormati dan menerima perbedaan. Bukankah seharusnya kita bangga ketika seorang anggota Paskibra bisa mengenakan hijabnya sambil mengibarkan bendera, sebagai simbol bahwa bangsa ini benar-benar menghargai kebhinekaan? Atau mungkin, konsep kebhinekaan kita telah digerogoti oleh ketakutan tak berdasar terhadap perbedaan?

Jika pemerintah terus-terusan memaksakan keseragaman, maka Bhineka Tunggal Ika hanya akan menjadi kenangan indah dalam buku sejarah. Yang tersisa hanyalah barisan rapi orang-orang yang kehilangan identitasnya, menjadi robot yang tunduk pada kehendak segelintir pihak. Lalu, untuk apa kita merayakan kemerdekaan jika yang kita rayakan hanyalah ketaatan buta dan keseragaman yang mematikan kebebasan?

Makna sejati dari kemerdekaan adalah kebebasan untuk menjadi diri sendiri tanpa takut ditekan oleh aturan yang mengekang atau norma sosial yang mendikte. Dalam konteks keberagaman, kemerdekaan berarti memberikan ruang bagi setiap individu untuk mengekspresikan identitasnya, termasuk identitas keagamaan. Kita tidak bisa mengklaim bahwa kita telah merdeka jika dalam praktiknya masih ada yang merasa terpenjara oleh aturan-aturan yang diskriminatif.

Kemerdekaan sejati harus diwarnai oleh rasa hormat terhadap perbedaan, bukan upaya untuk menyeragamkan segala hal. Indonesia adalah bangsa yang kaya akan keberagaman, dengan berbagai suku, agama, dan budaya yang hidup berdampingan. Oleh karena itu, setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah haruslah mencerminkan semangat Bhineka Tunggal Ika, bukan malah mereduksi kebebasan individu demi sebuah keseragaman yang dipaksakan.

Pada akhirnya, kita harus bertanya kepada diri kita sendiri: apakah kita benar-benar merdeka, atau kita hanya hidup dalam bayang-bayang kemerdekaan? Jika kebebasan beragama dan berekspresi masih harus diperjuangkan di tengah negara yang telah 79 tahun merdeka, maka kita belum benar-benar merdeka. Kita hanya menukar satu bentuk penindasan dengan bentuk penindasan lainnya, yang mungkin lebih halus, tapi sama menyakitkan.

Merdeka, dalam arti sebenarnya, adalah ketika setiap orang bisa hidup sesuai dengan keyakinannya tanpa takut ditekan atau dipaksa untuk mengikuti arus. Ini adalah bentuk kemerdekaan yang harus kita perjuangkan, kemerdekaan yang benar-benar mencerminkan semangat Bhineka Tunggal Ika. Sampai saat itu tercapai, perayaan kemerdekaan kita tidak lebih dari sekadar ritual tahunan yang hampa makna.

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler