Historisitas Hakikat Kemerdekaan

Minggu, 18 Agustus 2024 10:42 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pada deretan wajah yang penuh wibawa, senyum yang menyiratkan kesejahteraan, dan ragam busana yang mengekspresikan paduan kebhinekaan dan kemajuan itu semua saya melihat angka pengangguran yang tinggi, disparitas sosial yang lebar, penegakan hukum yang serupa menegakan benang basah, hegemoni sumberdaya oleh sekelompok oligarkh, etika yang terhempas, praktik politik yang kehilangan moralitas dan ironi-ironi kebangsaan lainnya.

Terlepas dari masih adanya kontroversi seputar perayaan Hari Kemerdekaan di Ibu Kota Nusantara (IKN) yang kemarin digelar, dan tentu saja juga digelar di seluruh antero Nusantara, saya merasa beruntung. Beruntung karena bisa menjadi saksi sejarah dimana momentum peringatan Hari Kemerdekaan ini dilaksanakan di dua tempat yang berbeda secara bersamaan: Jakarta dan IKN.  

Melalui tayangan televisi, rasa bangga sebagai warga negara segera saja menyeruak ketika menyaksikan betapa hebat dan dahsyatnya lanskap dan performa IKN. Pantaslah jika biaya untuk membangunnya demikian mahal. Pun anggaran perayaan Kemerdekaannya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Namun pada saat yang sama, pada bilah kesadaran sukbyektif, saya juga merasakan deretan ironi kebangsaan ketika menyaksikan para pejabat, politisi, tokoh masyarakat, dan pengusaha berjejer-jejer di istana IKN bersama Presiden dalam ragam busana daerah yang berwibawa, anggun dan terkesan serba mewah.

Sekali lagi, ini memang ada pada bilah subyektif saya sebagai warga negara. Pada deretan wajah yang penuh wibawa, senyum yang menyiratkan kesejahteraan, dan ragam busana yang mengekspresikan paduan kebhinekaan dan kemajuan itu semua saya melihat angka pengangguran yang tinggi, disparitas sosial yang lebar, penegakan hukum yang serupa menegakan benang basah, hegemoni sumberdaya oleh sekelompok oligarkh, etika yang terhempas, praktik politik yang kehilangan moralitas dan ironi-ironi kebangsaan lainnya.

Lantas, sudahkah kita benar-benar merdeka? Merdeka dalam arti yang selaras dengan konteks historisitasnya? Mari kita periksa.

 

Kolonialisme, Muasal semua Petaka 

Kita mulai dengan memahami istilah “Merdeka.” Berdasarkan kamus kita, istilah “Merdeka” memiliki tiga varian makna. Yaitu: 1) bebas (dari perhambaan, penjajahan, dan sebagainya); berdiri sendiri, 2) tidak terkena atau lepas dari tuntutan, dan 3) tidak terikat, tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu.

Dalam konteks historisitas (kesejarahan) bangsa dan negara manapun (termasuk negara kita tentu saja), ketiga varian makna itu tidak ada perbedaan substantif. Bebas, berdiri sendiri, tentu yang dimaksud adalah bebas dari cengkeraman kekuasaan penjajah kolonial. Tidak terkena atau lepas dari tuntutan, artinya juga terlepas dari kewajiban atau tuntutan apapun (sosial, politik dan hukum) yang diciptakan oleh kekuasaan kolonial. Tidak terikat, tidak bergantung kepada pihak tertentu, pastinya juga idem ditto, tidak terikat lagi atau bergantung pada eksistensi kekuasaan kolonialis.

Bertolak dari konteks historisitas itu dapat disimpulkan bahwa kemerdekaan bangsa Indonesia yang hari ini kita rayakan momentum sejarahnya tidak lain adalah Merdeka dari kolonialisme. Bebas, terlepas, dan tidak terikat lagi pada tradisi, tata aturan dan hukum besi kolonialisme. Atau dalam diksi keseharian dikenal dengan istilah penjajahan. Indonesia Merdeka artinya Indonesia bebas dari penjajahan, lepas dari penjajahan, tidak terikat lagi pada penjajahan.

Lantas, mengapa demikian pentingnya sebuah bangsa harus bebas dari penjajahan, dari kolonialisme? Hingga di dalam alinea pertama Pembukaan UUD 1945 dinyatakan dengan tegas oleh para pendiri negeri ini: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan."

Secara etimologi, sebagian ahli merujuk istilah Kolonialisme terhadap kata “Colonus” (Latin) yang artinya menguasai. Dalam kamus kita, Kolonialisme dimaknai sebagai penguasaan oleh suatu negara atas daerah atau bangsa lain dengan maksud untuk memperluas negara itu. Dalam catatan sejarah peradaban dunia, Kolonialisme dipelopori oleh bangsa-bangsa Eropa pada abad 15 Masehi.

Kolonialisme oleh bangsa Eropa berkaitan erat dengan kesadaran para penguasanya kala itu perihal pentingnya negara memiliki ruang hidup  atau Lebensraum dalam bahasa Jerman yang luas bagi kepentingan rakyat dan negaranya. Dalam perspektif geopolitik Frederich Ratzel (1844–1904) kebutuhan akan Lebensraum ini merupakan implikasi alamiah bagi setiap negara sebagai organisme yang hidup.

Negara, ungkap Raztel, adalah identik dengan ruangan yang ditempati oleh sekelompok masyarakat atau bangsa, dan pertumbuhan negara juga mirip dengan pertumbuhan organisma yang memerlukan ruang hidup yang cukup agar dapat tumbuh dengan subur dan menyejahterakan.

Dalam konteks itulah kita memahami kedatangan Portugis yang kemudian disusul oleh Belanda dan Inggris ke Nusantara. Dengan bertamengkan hubungan dagang, mereka datang untuk memperluas ruang hidup bagi rakyatnya karena menyadari bahwa ruang hidup yang mereka miliki, dalam jangka waktu tertentu tidak akan memadai untuk memenuhi kebutuhan rakyat sekaligus kebesaran dan kemajuan negaranya. Sungguh merupakan tujuan visioner yang mulai bagi negara dan rakyatnya.

Tetapi sayangnya, tidaklah demikian bagi kawasan atau negara-negara di luar Eropa yang menjadi sasaran kolonialisasi. Kedatangan mereka termasuk ke Nusantara yang dibalut dengan kepentingan dagang (ekonomi) semata, lambat laun kemudian berubah menjadi tragedi dan petaka yang berlangsung sangat panjang.

Lebih dari sekedar kepentingan ekonomi, secara sistematik mereka akhirnya juga mengejewantahkan tujuan aslinya, yakni kolonialisasi atau penguasaan atas seluruh matra kehidupan masyarakat di setiap kawasan jajahannya dengan menancapkan dan mempraktikan seluruh watak purba kekuasaan. Dari sinilah, dari kolonialisme, tragedi dan petaka kemanusiaan itu dimulai.

 

Watak Purba Kolonialisme

Kembali ke pernyataan lugas yang dirumuskan the founding fathers kita dalam Pembukaan UUD 1945 tadi. Bahwa penjajahan alias kolonialisme harus dihapus karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Ketiadaan perikemanusiaan dan absennya perikedilan adalah watak purba paling mendasar dari kolonialisme.

Inilah dua kata kunci ini paling dasar yang menjadi perhatian para pendiri republik dan karenanya juga harus menjadi concern kita saat ini dan kedepan, yakni perikemanusiaan dan perikeadilan. Dua terminologi yang hilang esensinya di sepanjang era kolonialisme.

Dalam kamus kita istilah “Perikemanusiaan” dimaknai sebagai sifat-sifat yang layak bagi manusia, seperti tidak bengis, suka menolong, bertimbang rasa. Sementara merujuk pada artikel “Pentingnya Pengamalan Pancasila Sila ke-2 di Lingkungan Masyarakat” di laman Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) terkait penjelasan makna Sila Kedua Pancasila, bahwa Kemanusiaan yang Adil dan Beradab mengandung nilai suatu kesadaran sikap moral dan tingkah laku manusia yang didasarkan pada potensi hati nurani manusia dalam hubungan dengan norma-norma dan kebudayaan.  

Sementara itu, istilah “Perikeadilan” yang diturunkan dari nilai dasar “Adil” dan dirumuskan dalam Pancasila Sila Kelima memiliki makna bahwa bahwa seluruh rakyat Indonesia berhak mendapatkan keadilan baik dalam bidang hukum, ekonomi, politik dan kebudayaan hingga tercipta masyarakat yang adil dan makmur.

Sekali lagi, kedua esensi itu hilang. Direnggut oleh kolonialisme yang datang menghadirkan penguasaan, penindasan, penistaan harkat dan martabat kemanusiaan, diskriminasi sosial, keserakahan, eksploitasi segala jenis sumberdaya dan berbagai watak purba lainnya. Dan perjuangan mewujudkan kemerdekaan sejatinya adalah perjuangan mengembalikan lagi Perikemanuisaan dan Perikeadilan pada lanskap kehidupan bangsa ini.

Dengan demikian, merdeka dan kemerdekaan yang hari ini kita peringati momentum sejarahnya mestinya adalah upaya untuk melawan lupa dan menjaga nyala api pengejewantahan nilai-nilai kemanusiaan sekaligus merayakan komitmen dan kesungguhan mewujudkan keadilan multidimensi dalam lanskap sejarah kontemporer dan masa depan bangsa ini.

Dengan cara pikir yang demikian dan setara itulah, pesta memeringati dan merayakan momentum kemerdekaan akan memiliki arti dan kegunaan. Dirgahayu Republik !  

 

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Agus Sutisna

Penulis Indonesiana | Dosen | Pegiat Sosial

5 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler