Membaca Fatamorgana

Minggu, 18 Agustus 2024 19:56 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Panorama artikel, imaji mengurai sel-sel otak agar tetap sehat walafiat. Tak ada pembaca tak ada seni susastra. Jelajah imajinasi.\xd\xd\xd

Catatan sederhana seni, kebudayaan. Kebudayaan, seni, politik. Serem amat ya kalimat tebal di atas itu. Apa coba maksudnya. Abstraksi. Ya. Karena hidup niskala tujuan, kadang tak sesuai angan, ide tak serupa realitas, kadang-kadang.

Hujan ya hujan, bukan melulu penyebab banjir. Kalaupun banjir terjadi di sebuah kota metropolitan, karena salah sendiri, buang sampah tak pada tempatnya, barang-barang serupa plastik lunak atau perangkat keras mengapung di sungai hingga muara ke lautan. Salah siapa. Manusia. Kenapa.; Ceroboh. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Barang bekas kok di buang kesungai, secara politis maupun seni budaya ataupun politik kebudayaan jelas dong bikin susah lingkungan. Jangan ya. 

Kalau terjadi banjir, dengan mudah menyalahkan entah kewenangan siapa. Wow! Ya salah kewenangan manusia penghuninya. So why gituloh, buang sampah tanpa pertimbangan budi pekerti diri sendiri. 

Bapak pendidikan Indonesia Ki Hajar Dewantara, telah memberi keteledanan, itu sebabnya pula, berani berhadapan dengan kolonialisme, melalui pendidikan Taman Siswa, sila berselancar di dunia maya, dibaca ulang dengan saksama sejarah itu. Banyak manfaat iman sederhana kiprah kebangsaan, aktual hingga kini.

Sebuah pelajaran terpenting, negara wajib hadir di dunia pendidikan di garis terdepan. Tanpa pamrih, agar siswa pelajaran dasar, menengah hingga mahasiswa, apabila tak mampu mengikuti jenjang pendidikan lanjutan, akibat, pendidikan berbasis biaya mahal. Tak perlu menunggu lama. 

Negara, hadir saja, berikan bantuan pendidikan hingga kuota suwastanisasi edukasi bagi adik-adik pelajar, mahasiswa, dimanapun berada. Sebagaimana tertulis, maklumat undang-undang dasar negara. Keutamaan kesetaraan pendidikan bagi seluruh warga negara Indonesia, kurang lebih demikian singkatnya.

Keriuhan demokrasi modern, seyogianya, setara dengan budi pekerti, oleh banyak pihak kaum pintar disebut 'Pembangunan Nasional' keren kan. 

Itu sebabnya pula, edukasi pendidikan termasuk fasilitasnya, baik fisik maupun nonfisik, sebaiknya percepatan lebih cepat, sejalan dengan kecepatan teknologi tepat guna kini, serba canggih konon. Utamakan wilayah perbatasan, titik terjauh dari ranah keriuhan demokrasi modern, termasuk kelas pemerataan peringkat ekonominya.

Jangan melupakan pembanguanan politik pendidikan-pendidikan politik, dalam ranah keilmuan kebudayaan, demikian pula sebaliknya. Tak perlu tolok ukur atau survey hingga benua jauh berbasis biaya mahal pula, mengenai telaah pendidikan secara umum. 

Kembali saja pada kesederhanaan pemikiran sejarah dasar pendidikan negeri sendiri. Banyak sejarah pemikiran sahih para sastrawan, budayawan, cendikiawan, ilmuwan, agamawan Indonesia. 

Itupun kalau mau bermula dari kekuatan pemikiran anak negeri sendiri-Nasionalisme Sejati, sebagaimana telah tertuang hingga menjadi Indonesia Merdeka, atas kehendak Rakyat Indonesia, di plokamirkan Soekarno-Hatta, tokoh terkemuka milik NKRI, bukan milik golongan manapun.

Indonesia, ya  Nusantara, demikian pula sebaliknya. Hanya ada di wilayah kini, tidak ada di tempat lain dimanapun, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Hebat kan. Keren dong. Bangga dong, sebagai Putra Putri Indonesia. 

Itu sebabnya pula kewajiban negara, selaraskan pendidikan hingga seantero negeri, percepat lagi, secepat-cepatnya. Kewajiban negara terkandung di dalamnya. Wajib, bukan sunnah.

Lantas ketika kata, seni-tersebut. Maka konotasi hanya seputar wilayah seni sempit. Tidak demikian loh. 

Seni, bukan kata kerja atau kata sambung, ia tak bisa ditepis semena-mena. Wilayahnya luas tak terbatas pada keindahan saja, terkandung didalamnya, kreativitas, pemikiran luas saling berhubungan dengan tolok ukur kebudayaan hingga politik, inheren filsafat, sains, agama, teknologi, di dalamnya.

Demikian pula halnya dengan ilmu kebudayaan, ilmu politik, berkesinambungan dengan seni kesantunan komunikasi politik, sebut saja seni politik, nyambung lagi ke seni budaya personal hingga publik, dalam lingkar kebudayaan sebuah negara dimanapun. Karena itu pula, santunlah bersama dalam ranah komunikasi kebudayaan.

Santun di rumah maupun di ruang publik manapun, saling menyapa dengan 'Iman Keilahian' bersilaturahmi, saling berjabat tangan, mudah mamafkan. 

Kecuali, pada kaum manipulator hak rakyat, tak ada maaf bagi mereka. Ketegasan terbuka, ranah hukum formal negara, senantiasa dinanti publik dengan setia.

Setelah kebaikan saling memaafkan. Maka bertemulah budaya insan kamil lingkar Ilahi-tak menghendaki pertikaian di antara kebaikan mereka. 

Namun, jika masih ada makhluk amoral senantiasa hobi melakukan kekacauan baik di ranah komunikasi verbal maupun nonverbal, itu tandanya bukan makhluk budiman. Negarapun wajib hadir meningkatkan edukasi, komunikasi, tegas berbudi, di antara mereka, lagi, sebagaimana tersebut di dalam undang-undang dasar negara.

Wah! Kok negara hadir terus. Lah iyalah. Kalau mau melihat unsur dasar hidup ketatanegaraan. Rakyat adalah Negara. Negara adalah Rakyat. Salam kasih sayang Indonesia.

***

Jakarta Indonesiana, Agustus 18, 2024.
Salam NKRI Pancasila. Banyak kebaikan setiap hari.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Taufan S. Chandranegara

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Kolaborasi

2 hari lalu

Baca Juga











Artikel Terpopuler