Calon Independen dalam Sejarah Pilkada

Selasa, 20 Agustus 2024 09:09 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ikhtiar untuk memperluas ruang kontestasi Pilkada yang memungkinkan lahirnya pemimpin-pemimpin lokal genuine dari jalur non-partai bisa dibilang gagal karena demikian minusnya jumlah kepesertaan mereka. Namun demikian, fenomena itu tidaklah masalah. Yang kemudian menjadi masalah adalah muncul gejala pemanfaatan calon independen oleh kelompok-kelompok politik dominan di satu daerah untuk disetting sebagai calon boneka.\xd\xd\xd

Oleh Agus Sutisna

Tidak menarik di awal fase prakandidasi, kini isu calon independen menyita perhatian banyak pihak dan riuh diperbincangkan setelah Dharma Pongrekun - Kun Wardana, bakal pasangan calon perseorangan pada Pilgub Jakarta dinyatakan memenuhi syarat dukungan oleh KPU DKI Jakarta untuk mendaftar sebagai peserta Pilkada akhir Agustus nanti.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Keriuhan itu memang bukan karena faktor Dharma-Kun. Kedua figur ini bukanlah (setidaknya belum menjadi) tokoh popular di orbit politik elektoral. Keriuhan ini muncul terutama berkaitan dengan situasi terkini prakandidasi Pilgub Jakarta yang mengarah pada munculnya calon tunggal setelah KIM pengusung Prabowo-Gibran pada Pilpres 2024 mendekati tuntas “menyapu bersih” hampir semua partai (minus PDIP) bergabung di kubu pengusung Ridwan Kamil (dan Suswono kabarnya sebagai bakal Cawagubnya).

Kecurigaan Publik

Banyak pihak menduga bahwa Dharma dan Kun adalah paket calon independen yang disiapkan oleh pihak yang berkepentingan agar tidak terjadi calon tunggal di Pilgub Jakarta setelah Anies sebagai figur bakal Cagub paling populer hampir pasti (?) gagal maju karena hingga saat tidak mendapatkan dukungan partai politik.

PDIP yang masih memiliki peluang memberikan dukungan ke Anies juga akan percuma jika gagal mengajak partai lain untuk berkoalisi guna menggenapi syarat ambang batas pencalonan.

Faktor lain yang memicu perhatian publik, khususnya warga Jakarta, adalah karena banyak penduduk yang merasa dicatut nama dan dukungannya dalam daftar pendukung Dharma-Kun, termasuk bahkan NIK putra Anies sendiri.

Kecurigaan publik makin kuat bobotnya setelah mengetahui besaran jumlah daftar pendukung yang berhasil dikumpulkan oleh tim Dharma-Kun dalam waktu yang relatif singkat. Seperti diketahui Dharma-Kun sempat dinyatakan tidak memenuhi syarat dukungan di awal penyerahan dukungan kepada KPU DKI Mei lalu. Mereka kemudian mengajuka sengketa proses ke Bawaslu DKI, dan hasilnya Dharma-Kun diberikan kesempatan melengkapi kekurangan dukungan itu.

Kemudian seperti dijelaskan secara oleh KPU DKI, proses terus berlanjut. Ada fase verifikasi administrasi perbaikan kedua, verifikasi faktual kedua, dan rekapitulasi akhir hasil verifikasi. Pada fase rekapitulasi akhir Dharma-Kun berhasil memenuhi syarat dengan total dukungan sebanyak  677.468 dinyatakan Memenuhi Syarat (MS) dari minimal dukungan sebanyak 618.968 orang.

Lantas bagaimana akhir dari duduk perkara yang menyita perhatian banyak pihak ini? Publik tentu harus menunggu tindaklanjut pelaporan dari Bawaslu DKI dan penetapan oleh KPU DKI setelah Bawaslu memberikan putusan rekomendasinya. Nah, sambil menunggu putusan Bawaslu dan KPU DKI, mari kita review sedikit soal calon independen dalam lanskap sejarah Pilkada di tanah air.

 

Memperluas Ruang Partisipasi

Kehadiran calon perseorangan atau lebih populer disebut calon independen merupakan tindaklanjut dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor : 5/PUUV/2007 tanggal 23 Juli 2007  yang menilai bahwa Pasal 56 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah bertentangan dengan pasal 28D Ayat (3) UUD 1945 yang  menyatakan bahwa “Setiap orang mempunyai kesempatan yang sama dalam pemerintahan”.

Sebagaimana diketahui sebelumnya berdasarkan UU 32 Tahun 2004 pintu masuk pencalonan Kepala dan Kepala Daerah hanya melalui satu pintu partai politik atau gabungan partai politik. Pengaturan ini dianggap bertentangan dengan amanat konstitusi perihal persamaan kedudukan warga negara di dalam pemerintahan, termasuk didalam proses politik.

Mekanisme pencalonan Kepala dan Wakil Kepala Daerah yang hanya dapat dilakukan melalui pintu masuk partai atau gabungan partai politik telah mempersempit ruang partisipasi sekaligus peluang bagi warga negara yang memiliki kapasitas dan minat untuk maju ke arena kontestasi Pilkada. 

Dengan putusan MK tersebut ruang partisipasi dan peluang menjadi terbuka bagi siapa saja warga negara untuk mencalonkan diri sebagai Kepala atau Wakil Kepala Daerah tanpa harus melalui partai atau gabungan partai politik.

Ketika putusan MK tersebut keluar, sempat muncul respon negatif dari kalangan partai politik, yang menilai putusan ini kontraproduktif terhadap keberadaan dan fungsi partai politik sebagai institusi yang berwenang mempersiapkan dan mengajukan calon-calon pemimpin politik di daerah.

Namun karena putusan MK bersifat final and binding maka putusan ini tidak bisa dihindari. Maka terhitung sejak Pilkada 2007, calon independen mulai muncul di beberapa daerah. Tidak banyak memang, tetapi cukup memberi warna terhadap perhelatan Pilkada.

Dalam jejak digital yang bisa dilacak, sejak digelar pada Pilkada 2007 beberapa paslon independen tercatat berhasil memenangi kontestasi. Mereka antara lain pasangan Cagub-Cawagub Irwandi Yusuf-Muhammad Nazar di Provinsi Aceh, Christian  Dillak-Zacharias Manafe di Kabupaten Rote Ndou (NTT), Arya Zulkarnain - Gong Martua Siregar di Kabupaten Batubara (Sumut), Aceng Fikri-Dicky Chandra di Kabupaten Garut, dan Neni Moerniaeni dan Basri Rase di Kota Bontang (Kaltim).

Sayangnya kemudian, karena regulasi yang cukup berat terutama menyangkut pemenuhan persyaratan dukungan penduduk, disamping harus melawan kekuatan partai politik yang jelas memiliki modalitas infrastruktur dan sumberdaya yang kuat, calon-calon independen tidak banyak bermunculan pada Pilkada-pilkada di kemudian hari.

 

Disiapkan Untuk Kalah

Ikhtiar untuk memperluas ruang elektoral dalam konteks Pilkada yang memungkinkan lahirnya pemimpin-pemimpin lokal genuine dari jalur non-partai bisa dibilang gagal karena demikian minusnya jumlah kepesertaan mereka. Atau kegagalan memenangi kontestasi melawan paslon dari partai politik.  

Namun demikian, fenomena itu tidaklah masalah. Toh yang paling penting ruang sudah dibuka oleh ketentuan perundangan. Prinsip persamaan kesempatan telah coba diimplementasikan melalui putusan MK tadi. Yang kemudian menjadi masalah adalah muncul gejala “pemanfaatan” keberadaan calon independen oleh kelompok-kelompok politik dominan di satu daerah untuk disetting sebagai calon boneka.

Gejala itu bersitemali dengan fenomena krusial Pilkada lainnya. Yakni munculnya calon tunggal di beberapa daerah yang dipicu oleh ketidakberanian partai-partai politik mengajukan paslon lantaran adanya dominasi dari kelompok politik tertentu yang disokong para local strongmen, local boss atau dinasti politik yang terlanjur menjadi sangat kuat secara elektoral di daerahnya.

Dengan nalar sehat dan nurani jernih yang masih tersisa, kelompok kuat lokal ini menilai Pilkada dengan calon tunggal adalah memalukan. Dan pastinya akan lebih memalukan lagi jika si paslon tunggal itu kemudian dipecundangi kotak kosong yang menjadi lawan tandingnya. Mala supaya Pilkada tetap layak disebut Pilkada, mereka kemudian menyiapkan paslon independen sebagai lawan kontestasi. Tentu saja, paslon independen ini disiapkan hanya untuk kalah.

Itulah pula kecurigaan publik yang saat ini berkembang di Jakarta, dan mungkin juga mulai menular ke daerah lain. Setelah Anies dipastikan (?) gagal maju, demikian pula PDIP yang ditinggal sendirian karena semua partai memilih bergerombol di satu kubu bernama KIM Plus itu, Ridwan Kamil dan Suswono (?) potensial menjadi calon tunggal.

Nah, supaya Pilgub Jakarta tetap layak disebut Pilgub (ohya sampai disini saya teringat statemen Kang Emil di media yang tidak mau melawan kotak kosong), maka paslon independen harus disiapkan. Disiapkan untuk menjadi lawan tanding dan kalah dengan mudah.

Apakah Dharma-Kun adalah paslon yang dimaksudkan itu? Tentu saja kita tidak boleh bersangka buruk, su’udzon. Tetapi kecurigaan publik juga bukan tanpa alasan. Karena itu para pihak yang berkepentingan perlu bekerja keras dan serius untuk membuktikan bahwa alasan dibalik kecurigaan ini sama sekali tidak benar !   

 

 

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Agus Sutisna

Penulis Indonesiana | Dosen | Pegiat Sosial

5 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler