Warga Negara Indonesia, Pembaca Buku, Penonton Film, Pendengar Musik, Pemain Games, Penikmat Kopi, Senang Tertawa, Suka Berimajinasi, Kadang Merenung, Mengolah Pikir, Kerap Hanyut Dalam Khayalan, Mengutamakan Logika, Kadang Emosi Juga, Mudah Menyesuaikan Diri Dengan Lingkungan, Kadang Bimbang, Kadang Ragu, Kadang Pikiran Sehat, Kadang Realistis, Kadang Ngawur, Kondisi Ekonomi Biasa-Biasa Saja, Senang Berkorban, Kadang Juga Sering Merepotkan, Sering Ngobrol Politik, Senang Dengan Gagasan-Gagasan, Mudah Bergaul Dengan Siapa Saja, Namun Juga Sering Curiga Dengan Siapa Saja, Ingin Selalu Bebas, Merdeka Dari Campur Tangan Orang Lain. Kontak : 08992611956

Sang Penjaga Gerbang Dimensi

Selasa, 20 Agustus 2024 09:20 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sang Penjaga Gerbang Dimensi

Sejak kecil, Aksa sering mendengar cerita tentang Gerbang Dimensi dari kakeknya, Satra. Setiap malam sebelum tidur, Satra akan duduk di dekat perapian, dengan api yang berkeretakan lembut, dan menceritakan kisah-kisah petualangan dari masa mudanya. Kisah favorit Aksa selalu tentang Gerbang Dimensi pintu ke dunia lain yang tersembunyi di puncak gunung tertinggi di daerah mereka.

Di desa kecil bernama Karsa, terletak di lembah subur yang diapit oleh pegunungan berkabut. Desa itu seolah terputus dari dunia luar, dengan hanya jalan setapak sempit yang menghubungkannya ke kota terdekat. Di desa ini, waktu seakan berhenti, dan kehidupan berjalan lambat, penuh dengan ritual dan tradisi yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“Gerbang itu bukanlah dongeng belaka, Aksa,” kata kakeknya suatu malam, dengan suara berat namun penuh dengan rasa kagum yang nyata. “Aku pernah melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Cahaya perak yang memancar dari gerbang itu, seperti aliran sungai yang berkilauan di bawah sinar bulan. Tapi yang paling menggetarkan adalah sosok yang berdiri di hadapan gerbang itu. Ia adalah Penjaga, makhluk abadi yang tak pernah meninggalkan posnya, melindungi gerbang dari mereka yang tidak pantas.”

Aksa selalu terpesona oleh cerita itu. Meskipun sebagian besar penduduk desa menganggap cerita Satra sebagai dongeng semata, Aksa merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar cerita anak-anak. Ada keyakinan dalam hati kecilnya bahwa Gerbang Dimensi itu nyata, dan suatu hari nanti, ia akan menemukannya.

Tahun-tahun berlalu, dan Aksa tumbuh menjadi pemuda yang kuat dan cerdas. Desa Karsa tetap seperti apa adanya, tenang dan jauh dari hingar-bingar dunia luar. Namun, dalam hati Aksa, keinginan untuk mencari Gerbang Dimensi semakin kuat. Setelah kematian kakeknya, Aksa merasa seolah ada warisan yang harus diteruskan, sebuah takdir yang menunggunya di tempat yang jauh.

Suatu pagi yang cerah, setelah memutuskan bahwa hari itu adalah waktu yang tepat, Aksa memutuskan untuk memulai perjalanannya. Dengan membawa pedang pusaka yang diwariskan dari kakeknya dan peta tua yang sudah usang, ia meninggalkan desa Karsa. Beberapa penduduk desa melihat kepergiannya dengan raut wajah bingung, sementara yang lain hanya menggelengkan kepala, menganggapnya sebagai pemuda yang terlalu banyak bermimpi.

Perjalanan Aksa membawanya melintasi berbagai medan, dari hutan-hutan yang lebat dengan pepohonan tinggi yang seakan-akan berbicara dalam bahasa mereka sendiri, hingga pegunungan terjal dengan jurang dalam yang menganga di setiap sudut. Selama berminggu-minggu, ia berjalan tanpa henti, hanya ditemani oleh hembusan angin dingin dan suara langkah kakinya sendiri.

Suatu malam, setelah mendirikan tenda kecil di kaki gunung terakhir yang harus ia daki, Aksa terbangun dari tidurnya karena mimpi aneh. Dalam mimpi itu, ia melihat Gerbang Dimensi berdiri megah di puncak gunung, diselimuti kabut tebal yang berputar. Di depannya, berdiri sosok tinggi dengan jubah hitam, wajahnya tersembunyi di balik bayangan. Sosok itu menatap Aksa dengan mata biru tajam yang seolah menembus jiwanya.

“Datanglah, Aksa. Kebenaran menunggumu,” suara dalam itu menggema dalam pikirannya.

Aksa terbangun dengan napas tersengal-sengal, keringat dingin mengalir di dahinya. Mimpi itu terasa begitu nyata, seolah sebuah panggilan dari sesuatu yang jauh lebih besar daripada dirinya. Ia memutuskan bahwa besok adalah hari ia akan mencapai puncak gunung itu dan menemukan Gerbang Dimensi yang selama ini hanya hidup dalam cerita.

Pagi berikutnya, Aksa memulai pendakiannya. Jalan yang ia tempuh semakin sulit, dengan batu-batu besar dan licin yang membuat setiap langkahnya menjadi tantangan. Namun, tekadnya tidak goyah. Ia tahu bahwa hanya beberapa jam lagi ia akan mencapai tujuan yang telah ia impikan sepanjang hidupnya.

Saat matahari mulai turun di ufuk barat, Aksa akhirnya tiba di puncak gunung. Di hadapannya, berdiri Gerbang Dimensi, persis seperti yang digambarkan kakeknya, sebuah gerbang besar yang melayang di udara, terbuat dari cahaya perak yang berdenyut dengan kehidupan. Kabut tebal menyelimuti gerbang itu, berputar dengan tenang namun penuh dengan misteri.

Namun, sebelum Aksa bisa melangkah lebih dekat, sosok yang ia lihat dalam mimpinya muncul dari balik kabut. Sang Penjaga berdiri dengan tenang, tubuhnya yang tinggi dan ramping diselimuti oleh jubah hitam. Wajahnya tersembunyi di balik topeng perak yang bersinar samar, hanya menyisakan sepasang mata biru tajam yang menatap langsung ke arah Aksa.

"Siapakah yang berani mendekati Gerbang Dimensi?" Suara Sang Penjaga menggelegar, penuh dengan kewibawaan.

"Aku adalah Aksa, cucu dari Satra, sang penjelajah. Aku datang untuk menemukan kebenaran di balik gerbang ini," jawab Aksa dengan suara yang bergetar, namun penuh dengan tekad.

Sang Penjaga terdiam sejenak, lalu melangkah maju. "Kebenaran yang kau cari bukanlah sesuatu yang bisa kau lihat dengan mata. Ia adalah sesuatu yang harus kau rasakan dalam jiwa. Gerbang ini tidak hanya membawa mereka yang ingin melihat dunia lain, tetapi juga mereka yang siap untuk melihat ke dalam diri mereka sendiri."

Aksa merasa ada sesuatu yang berat di dalam hatinya, seolah kata-kata Sang Penjaga menyentuh bagian terdalam dari jiwanya. Namun, ia tidak mundur. "Aku siap," katanya, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Sang Penjaga.

Sang Penjaga mengangkat tongkatnya, dan kabut di sekitar gerbang mulai berputar semakin cepat. Dalam pusaran kabut itu, Aksa melihat bayangan-bayangan yang tampak familiar, masa lalunya, kegagalan, penyesalan, dan semua hal yang pernah menghantui pikirannya. Mereka muncul dan menghilang, seperti hantu yang mencoba menakut-nakutinya.

Namun, Aksa tidak menyerah. Ia menatap bayangan-bayangan itu dengan keberanian yang tumbuh dalam hatinya. Ia tahu bahwa ini adalah ujian, dan ia harus melewatinya. Dengan tekad yang kuat, ia melangkah maju, menembus kabut yang berputar dan bayangan-bayangan yang mengancam untuk menelannya.

Ketika Aksa semakin dekat dengan gerbang, bayangan-bayangan itu memudar, digantikan oleh cahaya terang yang menyilaukan. Ia merasakan tubuhnya terangkat, seolah ditarik oleh kekuatan yang jauh lebih besar daripada dirinya. Cahaya itu semakin terang hingga akhirnya menelan segalanya.

Saat Aksa membuka matanya, ia mendapati dirinya berada di tempat yang berbeda. Langit di atasnya berwarna ungu dengan dua matahari yang bersinar terang. Di sekelilingnya, terbentang padang rumput yang luas dengan bunga-bunga berwarna emas yang berkilauan di bawah sinar matahari ganda. Angin sepoi-sepoi bertiup, membawa aroma manis yang belum pernah ia cium sebelumnya.

Aksa berdiri dengan takjub, merasakan bahwa dunia ini adalah sesuatu yang luar biasa, jauh berbeda dari dunia yang ia tinggalkan. Namun, sebelum ia bisa benar-benar memahami apa yang terjadi, ia mendengar suara yang familiar.

"Kau telah berhasil, Aksa."

Aksa berbalik dan melihat Sang Penjaga berdiri di sampingnya. Namun kali ini, jubah hitam dan topeng peraknya telah lenyap. Penjaga itu adalah pria tua dengan rambut putih panjang dan janggut yang menjuntai. Matanya masih tajam, namun penuh dengan kebijaksanaan yang mendalam.

"Dunia ini adalah salah satu dari banyak dimensi yang ada di balik gerbang," kata Sang Penjaga. "Ia adalah dunia yang penuh dengan kemungkinan, tempat di mana mimpi dan kenyataan dapat bercampur menjadi satu. Namun ingat, Aksa, kebenaran yang kau cari bukanlah sesuatu yang bisa kau temukan hanya dengan melintasi gerbang. Ia ada dalam perjalananmu, dalam setiap langkah yang kau ambil, dan dalam setiap keputusan yang kau buat."

Aksa mengangguk, merasakan beban di pundaknya semakin ringan. Dunia baru ini memancarkan energi yang berbeda, sebuah perasaan bahwa segalanya mungkin terjadi. Namun, ia juga menyadari bahwa dunia ini bukanlah tujuan akhirnya, melainkan awal dari petualangan yang lebih besar.

"Apa yang harus aku lakukan sekarang?" tanya Aksa, merasa bahwa ia berada di persimpangan jalan yang tak terlihat.

Sang Penjaga tersenyum lembut. "Ini adalah dunia yang baru, yang penuh dengan banyak rahasia dan misteri. Kau harus menjelajahinya, menemukan maknanya, dan pada akhirnya, menemukan dirimu sendiri. Setiap dimensi memiliki tantangan dan pelajaran yang berbeda. Dunia ini akan mengujimu dengan cara yang tidak kau duga."

Aksa memulai petualangannya di dunia baru dengan penuh rasa ingin tahu dan semangat. Setiap langkahnya membuka pemandangan baru yang menakjubkan. Bukit-bukit yang dilapisi dengan rumput emas, danau dengan air sejernih kristal, dan hutan dengan pepohonan yang bercahaya dalam kegelapan. Dunia ini terasa seperti mimpi, namun Aksa tahu bahwa di balik keindahannya, ada tantangan yang harus ia hadapi.

Di hari pertama penjelajahannya, Aksa bertemu dengan seorang penduduk asli dunia itu, seorang wanita bernama Lira. Lira memiliki kulit berwarna perunggu dan rambut panjang yang berkilauan seperti sinar matahari. Ia memperkenalkan dirinya sebagai penjaga hutan dan menawarkan bantuan kepada Aksa dalam menjelajahi dunia baru ini.

"Kau bukan orang pertama yang datang ke dunia ini melalui Gerbang Dimensi," kata Lira saat mereka berjalan melalui hutan yang dipenuhi dengan cahaya lembut dari pepohonan. "Banyak yang datang sebelum dirimu, mencari sesuatu yang mereka pikir hilang atau sesuatu yang mereka anggap akan memberikan jawaban atas pertanyaan mereka. Namun, tidak semua dari mereka berhasil."

"Apa yang terjadi pada mereka?" tanya Aksa dengan rasa ingin tahu.

Lira berhenti sejenak, menatap Aksa dengan tatapan penuh makna. "Dunia ini menguji mereka. Mereka yang tidak siap, yang tidak memiliki tekad yang kuat, akan tersesat. Mereka menjadi bagian dari dunia ini, terperangkap dalam mimpi yang tak pernah berakhir."

Aksa merasakan getaran dingin di punggungnya. Ia sadar bahwa perjalanan ini tidak akan mudah. Dunia ini indah, tetapi juga berbahaya, dan ia harus siap menghadapi apapun yang akan datang.

Lira kemudian membawa Aksa ke sebuah tempat suci yang tersembunyi di dalam hutan. Tempat itu adalah sebuah gua besar dengan dinding yang dipenuhi dengan lukisan kuno. Lukisan-lukisan itu menggambarkan sejarah dunia ini, pertempuran antara makhluk-makhluk mitos, dan perjuangan para penjelajah yang datang sebelum Aksa.

"Ini adalah sejarah dunia kami," kata Lira dengan suara rendah. "Setiap penjelajah meninggalkan jejak mereka di sini, dalam bentuk lukisan atau simbol. Mereka yang berhasil menemukan kebenaran meninggalkan tanda yang abadi, sementara mereka yang gagal, hilang tanpa jejak."

Aksa berjalan di sepanjang dinding gua, mengagumi lukisan-lukisan itu. Ia merasa seolah-olah setiap goresan kuas adalah pesan dari masa lalu, sebuah petunjuk untuknya. Namun, di tengah-tengah lukisan itu, ada satu gambar yang menarik perhatiannya, lukisan seorang pria tua dengan tongkat panjang, berdiri di depan Gerbang Dimensi yang berkilauan. Di bawahnya, tertulis dalam bahasa kuno yang tidak Aksa mengerti, namun ia merasa bahwa lukisan itu mengandung pesan penting.

"Siapa pria ini?" tanya Aksa, menunjuk lukisan itu.

Lira menatap lukisan itu dengan tatapan serius. "Itu adalah Sang Penjaga, atau setidaknya mungkin adalah representasi dari dirinya. Ia adalah sosok yang telah ada sejak awal waktu, menjaga Gerbang Dimensi dan memastikan bahwa hanya mereka yang layak yang bisa melaluinya. Lukisan ini adalah salah satu yang tertua di gua ini, sebuah peringatan bagi mereka yang mencari gerbang."

Aksa merasa ada sesuatu yang aneh dengan lukisan itu, seolah-olah ia mengenali pria tua itu. Namun, sebelum ia bisa memikirkan lebih jauh, Lira menyentuh lengannya.

"Aksa, kau harus berhati-hati. Dunia ini penuh dengan misteri, dan tidak semua yang kau temui akan menjadi sekutu. Selalu ingat tujuanmu, dan jangan pernah tergoda oleh ilusi yang mungkin muncul di hadapanmu."

Aksa mengangguk, memahami nasihat Lira. Dunia ini adalah tempat yang penuh dengan keajaiban, tetapi juga penuh dengan bahaya. Ia harus tetap fokus dan waspada.

Malam tiba dengan cepat di dunia baru itu. Langit yang tadinya cerah mulai berubah menjadi gelap, dengan bintang-bintang yang bersinar terang di atas kepala. Aksa dan Lira mendirikan kemah di tepi sungai kecil yang mengalir dengan air jernih. Suara gemericik air memberikan ketenangan, namun di balik ketenangan itu, Aksa merasakan sesuatu yang tidak biasa.

Saat Aksa bersiap untuk tidur, ia mendengar suara aneh dari dalam hutan. Suara itu seperti bisikan-bisikan yang pelan namun mendesak, seolah-olah memanggil namanya. Aksa bangkit dari tempat tidurnya dan menoleh ke arah suara itu. Ia merasa ada sesuatu yang menariknya, sebuah kekuatan yang tidak bisa ia abaikan.

"Jangan pergi ke sana," suara Lira terdengar dari belakangnya. Ia berdiri dengan cemas, menatap Aksa dengan mata yang penuh dengan peringatan. "Itu adalah ilusi, merupakan jebakan yang dibuat oleh dunia ini. Jika kau mengikuti suara itu, kau mungkin tidak akan pernah kembali."

Namun, suara itu semakin kuat, memanggil Aksa dengan penuh desakan. Ia merasa seolah-olah ada sesuatu yang penting di balik suara itu, sesuatu yang harus ia temukan. Tanpa mengindahkan peringatan Lira, Aksa melangkah ke dalam hutan, mengikuti bisikan itu.

Hutan itu semakin gelap dan misterius saat Aksa berjalan lebih dalam. Pepohonan yang tadinya bercahaya sekarang tampak seperti bayangan gelap yang mengancam. Suara bisikan itu semakin jelas, dan Aksa bisa mendengar kata-kata samar yang menyebutkan namanya dan mengajaknya untuk datang lebih dekat.

Setelah berjalan beberapa saat, Aksa tiba di sebuah tempat terbuka di tengah hutan. Di sana, berdiri sebuah cermin besar yang bersinar dengan cahaya biru aneh. Cermin itu tampak hidup, seolah-olah ia adalah jendela ke dimensi lain. Aksa merasa terpaku oleh pantulan dirinya di cermin itu, tetapi pantulan itu tidak menunjukkan dirinya yang sebenarnya.

Dalam cermin, Aksa melihat dirinya sebagai seorang pria tua, dengan rambut putih panjang dan mata yang dipenuhi kebijaksanaan. Ia mengenali wajah itu, itu adalah wajah Sang Penjaga. Aksa tertegun, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Apakah ini ilusi, atau cermin itu menunjukkan masa depan yang belum datang?

"Ini adalah masa depanmu, Aksa," suara bisikan itu menjadi lebih jelas, sekarang terdengar seperti suara yang lembut dan bijaksana. "Kau adalah penerus Sang Penjaga. Tugasmu adalah menjaga Gerbang Dimensi, memastikan bahwa hanya mereka yang layak yang dapat melaluinya."

Aksa merasa dunia di sekelilingnya mulai berputar. Apakah ini yang sebenarnya? Apakah ia ditakdirkan untuk menjadi Sang Penjaga berikutnya? Ia merasa terbagi antara dua pilihan, melanjutkan petualangannya atau menerima takdir baru ini.

Namun, sebelum Aksa bisa membuat keputusan, cermin itu tiba-tiba retak dan pecah menjadi ribuan keping, menghilang dalam sekejap. Hutan yang tadinya gelap sekarang dipenuhi dengan cahaya terang, dan di hadapannya, berdiri Lira dengan tatapan khawatir.

"Kau hampir tersesat," kata Lira dengan suara tegas. "Dunia ini mencoba untuk memanipulasimu, membuatmu percaya pada ilusi yang tidak nyata. Kau harus tetap fokus pada tujuanmu, Aksa. Jangan biarkan dunia ini menyesatkanmu."

Aksa merasa bingung dan lelah. Ia tidak tahu apa yang harus dipercayai lagi. Apakah itu benar-benar masa depannya, atau hanya tipuan dunia ini? Namun, ia tahu bahwa ia harus melanjutkan perjalanan ini, apapun yang terjadi.

"Aku harus menemukan kebenaran," kata Aksa dengan suara lemah namun tegas. "Apapun yang terjadi, aku tidak akan berhenti sampai aku menemukannya."

Lira mengangguk, menatap Aksa dengan mata yang penuh dengan pemahaman. "Kau memiliki kekuatan dalam dirimu, Aksa. Tetapi kau harus berhati-hati. Dunia ini tidak akan berhenti mencoba untuk mengujimu."

Perjalanan Aksa berlanjut, dan setiap langkah yang ia ambil membawa tantangan baru. Dunia di sekelilingnya terus berubah, kadang menunjukkan pemandangan yang indah dan mempesona, kadang memperlihatkan sisi gelap yang penuh dengan bahaya. Namun, Aksa tidak pernah goyah. Ia terus maju, selalu mengingat tujuan utamanya menemukan kebenaran di balik Gerbang Dimensi.

Suatu hari, setelah berminggu-minggu menjelajah, Aksa tiba di sebuah lembah yang tersembunyi di balik pegunungan tinggi. Di lembah itu, berdiri sebuah kuil kuno yang tampak sudah berusia ribuan tahun. Kuil itu dikelilingi oleh patung-patung besar yang menggambarkan makhluk-makhluk mitos dari dunia lain. Ada sesuatu yang sakral dan penuh misteri di tempat itu, seolah-olah kuil itu adalah jantung dari dunia ini.

Aksa melangkah masuk ke dalam kuil, di mana ia disambut oleh cahaya yang lembut dan suara gemericik air dari mata air suci di tengah ruangan. Di hadapannya, berdiri sebuah altar besar yang dipenuhi dengan simbol-simbol kuno yang bersinar dengan cahaya biru.

Di atas altar itu, terletak sebuah kitab besar yang tampaknya terbuat dari logam yang tidak dikenal. Kitab itu memancarkan aura yang kuat, seolah-olah ia adalah sumber dari semua kekuatan yang ada di dunia ini.

Aksa mendekati kitab itu dengan hati-hati, merasa bahwa ini adalah momen yang telah ia tunggu-tunggu sepanjang perjalanan. Dengan tangan yang bergetar, ia membuka kitab itu, dan halaman-halamannya yang bersinar memperlihatkan teks yang tertulis dalam bahasa kuno yang hanya bisa dimengerti oleh hati, bukan oleh pikiran.

Saat Aksa membaca halaman pertama, ia merasakan aliran energi yang kuat mengalir melalui tubuhnya. Kata-kata dalam kitab itu berbicara langsung ke dalam jiwanya, membuka pintu-pintu yang selama ini tersembunyi dalam dirinya. Ia melihat visi tentang asal-usul dunia ini, tentang Gerbang Dimensi, dan tentang dirinya sendiri.

"Kau adalah penjaga kebenaran, Aksa," suara dari kitab itu bergema dalam pikirannya. "Kebenaran itu sebenarnya bukanlah sesuatu yang bisa kamu temukan di luar dirimu, tetapi ada di dalam hatimu. Gerbang Dimensi adalah cerminan dari jiwa yang siap untuk melihat lebih dalam ke dalam dirinya sendiri. Mereka yang berani melangkah melaluinya adalah mereka yang siap untuk menemukan siapa mereka sebenarnya."

Aksa terdiam, merasakan kebijaksanaan yang mengalir melalui kata-kata itu. Ia menyadari bahwa seluruh perjalanan ini adalah sebuah pelajaran, sebuah proses untuk memahami dirinya sendiri dan peran yang harus ia jalani di dunia ini.

"Apakah aku ditakdirkan untuk menjadi Sang Penjaga?" tanya Aksa dalam hatinya.

"Setiap orang pada intinya adalah penjaga bagi dirinya sendiri," jawab kitab itu. "Tetapi hanya pada mereka yang memiliki keberanian untuk menghadapi kebenaran yang hanya bisa menjadi penjaga bagi yang lain."

Aksa menutup kitab itu, merasakan bahwa ia telah menemukan jawaban yang selama ini ia cari. Ia tidak perlu menjadi Sang Penjaga seperti yang ia lihat dalam ilusi, tetapi ia telah menjadi penjaga kebenaran bagi dirinya sendiri.

Setelah meninggalkan kuil kuno, Aksa merasakan bahwa perjalanan yang sebenarnya telah berakhir. Ia telah menemukan apa yang ia cari, dan sekarang saatnya untuk kembali ke dunia asalnya. Namun, sebelum ia melangkah menuju Gerbang Dimensi untuk kembali, Lira mendekatinya dengan senyuman lembut.

"Kau telah berhasil, Aksa," kata Lira dengan suara penuh penghargaan. "Dunia ini sesungguhnya tidak akan pernah melupakan jejak yang telah kau tinggalkan. Namun, ingatlah bahwa dunia asalmu juga membutuhkanmu. Mereka membutuhkan seseorang yang bisa membawa kebenaran dan kebijaksanaan yang telah kau temukan di sini."

Aksa mengangguk, merasa bahwa tugasnya belum selesai. Dunia di mana ia berasal mungkin tampak sederhana dibandingkan dengan dunia baru ini, tetapi ia tahu bahwa ada banyak hal yang bisa ia lakukan di sana. Dengan hati yang penuh dengan kebijaksanaan yang baru, ia melangkah menuju Gerbang Dimensi.

Saat Aksa melangkah melalui gerbang itu, ia merasa tubuhnya kembali ditarik oleh kekuatan yang kuat. Cahaya terang kembali menyelimutinya, dan ia merasakan peralihan dimensi yang cepat. Ketika ia membuka matanya lagi, ia sudah berada di puncak gunung yang ia tinggalkan sebelumnya.

Desa Karsa terhampar di bawahnya, dikelilingi oleh pegunungan yang sama, tetapi sekarang tampak berbeda di mata Aksa. Ia tidak lagi melihat desa itu sebagai tempat yang terisolasi, tetapi sebagai bagian dari dunia yang lebih besar dan penuh dengan kemungkinan.

Dengan langkah ringan, Aksa berjalan menuruni gunung, kembali ke desanya. Ia tahu bahwa sekarang, ia memiliki tugas baru, membawa kebenaran yang ia temukan dan berbagi dengan dunia asalnya. Dan meskipun petualangannya di dunia lain telah berakhir, ia merasa bahwa petualangan di dunia ini baru saja dimulai. 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Ervan Yuhenda

Berani Beropini Santun Mengkritisi

5 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler