Warga Negara Indonesia, Pembaca Buku, Penonton Film, Pendengar Musik, Pemain Games, Penikmat Kopi, Senang Tertawa, Suka Berimajinasi, Kadang Merenung, Mengolah Pikir, Kerap Hanyut Dalam Khayalan, Mengutamakan Logika, Kadang Emosi Juga, Mudah Menyesuaikan Diri Dengan Lingkungan, Kadang Bimbang, Kadang Ragu, Kadang Pikiran Sehat, Kadang Realistis, Kadang Ngawur, Kondisi Ekonomi Biasa-Biasa Saja, Senang Berkorban, Kadang Juga Sering Merepotkan, Sering Ngobrol Politik, Senang Dengan Gagasan-Gagasan, Mudah Bergaul Dengan Siapa Saja, Namun Juga Sering Curiga Dengan Siapa Saja, Ingin Selalu Bebas, Merdeka Dari Campur Tangan Orang Lain. Kontak : 08992611956

Keabadian di Mars

Kamis, 22 Agustus 2024 07:41 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Mars, planet merah yang selama berabad-abad menjadi simbol dari ketidakmungkinan, kini menjadi rumah bagi jutaan manusia yang melarikan diri dari Bumi yang semakin tak bersahabat.

Mars, planet merah yang selama berabad-abad menjadi simbol dari ketidakmungkinan, kini menjadi rumah bagi jutaan manusia yang melarikan diri dari Bumi yang semakin tak bersahabat. Kota-kota besar tumbuh di bawah kubah-kubah raksasa yang melindungi penghuninya dari atmosfer yang tipis dan mematikan. Salah satu kota tersebut adalah Aeternus, tempat di mana sejarah baru umat manusia ditulis.

Aeternus bukan hanya sebuah kota, tetapi sebuah peradaban baru. Di sini, teknologi telah melampaui batas-batas yang sebelumnya dianggap tidak mungkin. Para ilmuwan, pemikir dan insinyur dari seluruh penjuru galaksi datang dan bekerja tanpa henti untuk menciptakan dunia yang lebih baik, dunia di mana manusia dapat hidup abadi tanpa batas waktu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di jantung Aeternus, berdiri sebuah menara kaca yang menjulang tinggi, menara yang disebut Menara Keabadian. Di dalamnya, terletak laboratorium paling canggih di seluruh tata surya, tempat di mana mimpi-mimpi manusia menjadi nyata. Di sanalah Dr. Elena Andriani memimpin sebuah proyek revolusioner, Project Ankh.

Elena adalah seorang ilmuwan yang dikenal dengan kecerdasannya yang brilian dan ambisinya yang tak terbatas. Di usia 45 tahun, dia sudah dianggap sebagai salah satu pemikir paling cemerlang dalam sejarah manusia. Namun, di balik ketenarannya, Elena adalah sosok yang kesepian. Dia telah mengorbankan segalanya untuk ilmu pengetahuan, termasuk kehidupan pribadinya.

Elena berdiri di depan jendela besar di laboratoriumnya, memandangi pemandangan Mars yang tandus. Dia memegang sebuah tablet yang menampilkan data dari eksperimen terbaru mereka. Garis-garis wajahnya menunjukkan kelelahan, tetapi matanya tetap bersinar dengan semangat yang tak padam.

"Dr. Andriani," sebuah suara lembut memanggil dari belakangnya. Itu adalah asisten setianya, Lila, seorang wanita muda dengan rambut pirang pendek dan mata biru tajam. "Kami siap untuk tahap berikutnya."

Elena menoleh dan mengangguk. "Baik, mari kita mulai."

Lila mengikutinya saat Elena berjalan menuju ruang utama laboratorium. Di dalamnya, tim ilmuwan mereka sudah menunggu. Mereka semua mengenakan seragam berwarna putih, dengan logo Project Ankh yang terpampang di dada kiri mereka. Di tengah ruangan, ada sebuah kapsul transparan besar yang dikelilingi oleh berbagai peralatan medis dan komputer.

"Hari ini adalah hari bersejarah," Elena memulai dengan suara penuh keyakinan. "Selama bertahun-tahun, kita semua telah bekerja keras untuk mencapai sesuatu yang belum pernah dicapai oleh manusia manapun sebelumnya. Keabadian, bukan lagi sekadar konsep atau mimpi, tapi kenyataan yang bisa kita raih. Kita akan memindahkan kesadaran manusia ke dalam bentuk digital, melampaui batas-batas fisik dan waktu."

Para ilmuwan di sekitarnya mendengarkan dengan penuh perhatian. Mereka tahu betul betapa pentingnya momen ini. Elena menatap satu per satu wajah mereka, melihat campuran antara kegembiraan, ketakutan, dan harapan.

"Kita semua tahu risikonya," lanjut Elena. "Tapi kita juga tahu bahwa tanpa risiko, tidak ada kemajuan. Hari ini, saya akan menjadi subjek pertama dari eksperimen ini. Jika berhasil, kita akan membuka pintu ke masa depan yang tak terbatas. Jika gagal... kita akan belajar dan mencoba lagi."

Suasana di ruangan itu tegang, tetapi dipenuhi dengan tekad. Elena melangkah maju dan masuk ke dalam kapsul. Para ilmuwan mulai bekerja, mempersiapkan alat-alat dan komputer yang akan digunakan untuk memindahkan kesadarannya.

"Apakah Anda siap, Dr. Andriani?" tanya Lila dengan pelan dan suara yang sedikit agak bergetar.

Elena tersenyum tipis. "Ya, saya siap."

Prosesnya dimulai. Suara mesin dan monitor yang berbunyi terdengar memenuhi ruangan. Perlahan-lahan, Elena merasakan tubuhnya menjadi ringan, seolah-olah dia sedang melayang. Dia bisa merasakan aliran data yang mengalir melalui otaknya, menghubungkannya dengan sesuatu yang lebih besar daripada dirinya.

Waktu seolah berhenti ketika kesadarannya dipindahkan. Di dalam kegelapan itu, Elena melihat kilasan dari seluruh hidupnya masa kecilnya, pendidikan, karirnya sebagai ilmuwan, dan semua pengorbanan yang telah dia buat untuk mencapai titik ini. Lalu, tiba-tiba semuanya menjadi sunyi.

Elena membuka matanya. Dia tidak lagi berada di dalam kapsul di laboratorium. Sebaliknya, dia berdiri di atas bukit berpasir di Mars. Namun, pemandangan di depannya tidaklah seperti yang dia kenal. Langit Mars yang biasanya merah dan kelam kini berwarna biru cerah, seperti langit di Bumi. Angin sepoi-sepoi menghembus, membawa aroma segar dari pepohonan hijau yang tumbuh di sekitarnya.

"Apakah ini... dunia baru?" Elena bergumam pada dirinya sendiri.

Dia mulai berjalan, merasakan tanah di bawah kakinya yang terasa sangat nyata. Semua indra Elena bekerja dengan sempurna, seolah-olah dia benar-benar ada di tempat ini. Namun, dia tahu bahwa tubuh fisiknya masih tertinggal di laboratorium, tertidur dalam kapsul. Kesadarannya telah dipindahkan ke dalam simulasi digital yang diciptakan oleh Project Ankh.

Ketika Elena menjelajahi dunia baru ini, dia menemukan berbagai hal yang membuatnya terpesona. Ada sungai yang jernih, danau yang tenang, serta gunung-gunung yang menjulang tinggi. Flora dan fauna yang tidak pernah dia lihat sebelumnya menghiasi setiap sudut. Ini adalah dunia yang sempurna, dunia tanpa cacat.

Di tengah kekagumannya, Elena mulai bertanya-tanya. Dunia ini indah, tapi mengapa dia merasa ada sesuatu yang kurang? Ada keheningan yang aneh, seolah-olah semua ini hanyalah bayangan dari sesuatu yang nyata, tetapi tidak sepenuhnya hidup.

Tiba-tiba, dia mendengar suara. Suara itu familiar, seperti suara seseorang yang telah lama dia kenal. Elena berbalik dan melihat sosok yang berdiri di kejauhan, mendekatinya perlahan. Ketika sosok itu semakin dekat, Elena terkejut melihat siapa itu.

"Orion?" Elena terkejut. Orion adalah nama yang hanya dia kenal dari masa lalunya, seorang pria yang pernah dia cintai bertahun-tahun lalu, tetapi meninggal dalam kecelakaan tragis. "Bagaimana mungkin kau ada di sini?"

Orion tersenyum hangat. "Elena, kau benar-benar di sini. Aku sudah menunggumu."

Elena tercengang, merasakan campuran antara kebahagiaan dan kebingungan. "Tapi... kau seharusnya tidak ada di sini. Ini hanya simulasi."

Orion mengangguk pelan. "Memang benar, tapi itu tidak membuatku kurang nyata, bukan? Di dunia ini, kita bisa bersama lagi, tanpa batas waktu, tanpa penderitaan."

Elena merasakan air mata mengalir di pipinya. "Tapi, bagaimana kau bisa ada di sini? Aku tidak mengunggahmu."

Orion meraih tangannya dengan lembut. "Project Ankh ini bukan hanya tentang memindahkan kesadaranmu, namun juga tentang menciptakan kembali apa yang ada dalam benakmu, apa yang kau inginkan. Aku ada di sini karena kau menginginkanku di sini, Elena."

Elena terdiam, merasakan campuran perasaan yang sulit dijelaskan. Di satu sisi, dia merasakan kebahagiaan luar biasa bisa bertemu kembali dengan Orion. Di sisi lain, dia tahu bahwa ini bukanlah Orion yang sebenarnya, tetapi hanya cerminan dari kenangan dan keinginannya.

Hari-hari berlalu dalam dunia simulasi ini, dan Elena mulai merasakan perasaan yang aneh. Meskipun dia dikelilingi oleh keindahan dan kemewahan, ada kehampaan yang tidak bisa dia hilangkan. Setiap kali dia berbicara dengan Orion atau menjelajahi tempat-tempat baru, dia tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa semuanya hanyalah ilusi.

Pada suatu hari, Elena memutuskan untuk mengeksplorasi lebih jauh, meninggalkan tempat-tempat yang familiar dan menuju ke daerah yang lebih asing dan terpencil. Semakin jauh dia berjalan, semakin suram dunia di sekitarnya. Pepohonan hijau berubah menjadi gundul, langit biru menjadi kelabu, dan tanah yang subur menjadi tandus. Elena merasa seolah-olah dia memasuki dunia yang berbeda, dunia yang lebih dekat dengan kenyataan Mars yang sebenarnya.

Di ujung perjalanan, Elena menemukan sebuah bangunan yang tampak kuno dan usang, berbeda dengan segala sesuatu yang telah dia lihat sebelumnya. Bangunan itu tampak seperti reruntuhan, dengan dinding yang runtuh dan lantai yang retak. Elena merasakan dorongan kuat untuk masuk ke dalam.

Di dalam bangunan itu, dia menemukan sesuatu yang membuatnya terkejut. Ada sebuah cermin besar yang tergantung di dinding, tetapi ketika dia melihat ke dalam cermin itu, dia tidak melihat bayangannya sendiri. Sebaliknya, dia melihat sosok seorang wanita tua, dengan wajah penuh kerutan dan mata yang lelah. Wanita itu menatapnya dengan penuh keputusasaan.

"Siapa kamu?" tanya Elena dengan suara gemetar.

Wanita tua itu tidak menjawab, tetapi tatapannya yang sedih berbicara banyak. Elena menyadari bahwa wanita itu adalah dirinya, bukan dalam bentuk fisik, tetapi dalam bentuk kesadarannya yang sebenarnya. Wanita tua itu adalah refleksi dari semua beban yang dia bawa, semua keraguan dan ketakutan yang selama ini dia pendam.

"Ini bukan keabadian yang aku inginkan," kata Elena pelan. "Ini bukan kehidupan yang nyata."

Wanita tua itu menundukkan kepalanya, seolah-olah menyetujui kata-kata Elena. Dia kemudian mengulurkan tangannya ke arah Elena, seolah-olah meminta sesuatu. Elena merasakan dorongan kuat untuk meraih tangan itu, untuk menyatukan dirinya kembali dengan kesadaran yang sebenarnya.

Ketika Elena menyentuh tangan wanita tua itu, dia merasakan gelombang emosi yang kuat mengalir melalui dirinya. Semua kenangan, perasaan, dan pikiran yang dia coba lupakan kembali menghantamnya seperti air bah. Dia merasa tenggelam dalam lautan emosi, tetapi di dalam lautan itu, dia menemukan sesuatu yang telah lama hilang kemanusiaannya.

 
Ketika Elena membuka matanya, dia kembali berada di dalam kapsul di laboratorium. Tubuhnya terasa berat, dan dia merasa seolah-olah baru saja bangun dari mimpi panjang yang melelahkan. Di sekelilingnya, para ilmuwan dan Lila mengelilingi kapsul, wajah mereka dipenuhi dengan kekhawatiran.

"Dr. Andriani, apakah Anda baik-baik saja?" tanya Lila dengan suara cemas.

Elena mengangguk pelan. "Ya, aku baik-baik saja," katanya dengan suara serak.

Para ilmuwan menghela napas lega, tetapi Elena bisa melihat bahwa mereka semua menunggu penjelasan darinya. Apa yang telah dia alami di dalam simulasi? Apakah eksperimen itu berhasil? Elena tahu bahwa mereka mengharapkan jawaban yang pasti, tetapi dia juga tahu bahwa apa yang dia temukan jauh lebih kompleks daripada yang bisa dia jelaskan dengan kata-kata.

"Keabadian..." Elena mulai berkata, tetapi kemudian dia terdiam sejenak, mencari kata-kata yang tepat. "Keabadian bukanlah jawaban. Itu hanya sebuah cara untuk melarikan diri dari kenyataan. Apa yang kita cari bukanlah keabadian, tetapi makna dari kehidupan itu sendiri."

Para ilmuwan saling berpandangan, tidak sepenuhnya mengerti apa yang dimaksud Elena. Tetapi Lila, yang telah bersama Elena selama bertahun-tahun, tampaknya memahami.

"Apa yang Anda temukan di sana?" tanya Lila pelan.

Elena tersenyum lemah. "Aku menemukan diriku sendiri, Lila. Dan aku menyadari bahwa kehidupan ini bukan tentang hidup selamanya, tetapi tentang bagaimana kita hidup dalam waktu yang kita miliki."

Lila mengangguk, memahami bahwa ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar keberhasilan teknis dari eksperimen ini. Ada pelajaran yang lebih besar, yang tidak bisa diukur dengan data atau angka.

Setelah kejadian itu, Elena memutuskan untuk menghentikan Project Ankh. Bukan karena itu gagal, tetapi karena dia menyadari bahwa mengejar keabadian adalah jalan yang salah. Sebaliknya, dia mulai bekerja pada proyek baru, proyek yang berfokus pada bagaimana manusia bisa hidup dengan lebih bermakna, bukan lebih lama.

Elena menyadari bahwa waktu yang dia habiskan di Mars, meskipun penuh dengan pencapaian ilmiah, telah mengisolasi dirinya dari hal-hal yang paling penting dalam kehidupan. Dia telah kehilangan kontak dengan keluarganya, dengan teman-temannya, dan dengan dirinya sendiri. Oleh karena itu, dia memutuskan untuk kembali ke Bumi, meskipun tahu bahwa planet itu sedang berada dalam masa yang sulit.

Di Bumi, Elena menemukan bahwa meskipun tantangan besar tetap ada, ada juga keindahan dalam ketidaksempurnaan. Dia mulai mengajar di universitas, berbagi pengetahuan dan pengalamannya dengan generasi muda, menginspirasi mereka untuk mencari solusi yang lebih manusiawi bagi masalah-masalah yang mereka hadapi.

Orion tetap ada di dalam hatinya, sebagai kenangan indah dari apa yang pernah dia miliki, tetapi bukan sebagai bayangan yang menghantuinya. Elena belajar menerima bahwa kehidupan adalah tentang perubahan, dan bahwa setiap momen yang kita miliki adalah berharga, justru karena itu tidak akan bertahan selamanya.

Di Mars, Menara Keabadian masih berdiri tegak, sebagai monumen dari upaya manusia untuk melampaui batas-batas mereka. Tetapi di dalam menara itu, di tempat di mana Project Ankh pernah beroperasi, sekarang ada pusat penelitian baru yang didedikasikan untuk memahami bagaimana manusia bisa hidup dengan lebih baik, bukan lebih lama.

Para ilmuwan yang bekerja di sana tahu bahwa tidak ada yang abadi, dan bahwa mengejar keabadian adalah pengejaran yang sia-sia. Tetapi mereka juga tahu bahwa ada sesuatu yang lebih berharga daripada keabadian yaitu bagaimana kita hidup, bagaimana kita mencintai, dan bagaimana kita memberi makna pada waktu yang kita miliki.

Di tengah-tengah mereka, Elena Andriani terus bekerja, tidak lagi mengejar ilusi keabadian, tetapi mencari cara untuk membuat setiap momen dalam hidup manusia lebih berarti. Dia tahu bahwa Mars, dengan segala keterbatasannya, adalah tempat di mana harapan bisa ditemukan di tengah kegelapan. Dan dia bertekad untuk menjadikan harapan itu sebagai warisan terbesarnya.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Ervan Yuhenda

Berani Beropini Santun Mengkritisi

5 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler