Banalitas Parlemen dalam Membuang Kedaulatan Rakyat ke Tong Sampah

Kamis, 22 Agustus 2024 12:06 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Putusan MK ditelikung permufakatan banal parlemen . Jika rancangan Baleg DPR itu akhirnya lolos, maka paripurnalah banalitas perilaku mereka.

Oleh: Agus Sutisna

Banal dan memuakan! Inilah dua kata yang pantas disematkan kepada para anggota Badan Legislatif (Baleg) DPR RI yang kemarin menyepakati poin-poin krusial pembahasan RUU Pilkada sebagai respon politik dan tindaklanjut legislasi yang kebablasan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) perihal ambang batas persyaratan pencalonan serta perihal persyaratan batas minimal usia calon Kepala dan Wakil Kepala Daerah. Kasar dan menyulut emosi!

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sebagaimana kita tahu, sebelumnya MK memutus perkara gugatan judicial review mengenai ambang batas (threshold) pencalonan Kepala dan Wakil Kepala Daerah yang diajukan oleh Partai Buruh dan Partai Gelora. Dalam perkara ini MK mengabulkan permohonan para pemohon yang putusannya tertuang dalam putusan Nomor : 60/PUU-XXII/2024.

Selain itu MK juga memutus perkara gugatan judicial review mengenai persyaratan batas minimal usia calon Kepala dan Wakil Kepala Daerah yang diajukan oleh dua orang mahasisawa, Anthony Lee dan Fahrur Rozi. Dalam perkara ini MK menolak permohonan para pemohon yang putusannya tertuang dalam Nomor : 70/PUU-XXII/2024.

Kedua putusan itu dibacakan MK pada hari Selasa, 20 Agustus 2024. Kemudian layaknya mendapatkan berkah dan anugrah, publik antusias menyambut kedua putusan tersebut. Kedua putusan itu membersitkan banyak harapan positif dalam situasi perhelatan Pilkada yang diwarnai dengan sangat kental oleh manuver-manuver politik para elit partai yang mengarah pada potensi kemerosotan demokrasi elektoral.

Ketentuan Baru Threshold

Putusan Nomor 60 Tahun 2024 membuka peluang yang lebih leluasa bagi partai-partai politik untuk mengusung pasangan calon Kepala dan Wakil Kepala Daerah, yakni melalui perubahan ambang batas pencalonan.

Semula, sebagaimana diatur didalam Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang, ambang batas pencalonan ditentukan sebesar 20% perolehan kursi DPRD atau 25% perolehan suara sah di daerah yang bersangkutan.

Pengaturan tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sesuai ketentuan baru oleh MK. Ketentuan baru ini disamakan dengan ketentuan bagi pasangan calon Perseorangan. Yakni melalui besaran persentasi perolehan suara sah hasil Pemilu terakhir dibandingkan terhadap jumlah DPT di daerah yang bersangkutan. Ketentuan baru ini sekaligus juga meniadakan ambang batas (threshold) perolehan kursi di DPRD.

Secara ringkas ketentuan baru oleh MK itu adalah sebagai berikut. Ketentuan untuk pencalonan Gubernur-Wakil Gubernur adalah sbb : paling sedikit 10% suara sah untuk provinsi yang memiliki DPT sampai dengan 2 juta jiwa, 8.5% untuk provinsi dengan DPT antara 2-6 juta jiwa, 7.5% untuk provinsi dengan DPT leih dari 6-12 juta jiwa dan 6.5% untuk provinsi dengan jumlah DPT lebih dari 12 juta jiwa.

Sedangkan pengaturan untuk pencalonan Bupati-Wakil Bupati dan Walikota-Wakil Walikota adalah sbb : 10% untuk kabupaten/kota dengan jumlah DPT sampai dengan 250 ribu jiwa, 8.5% untuk kabupaten/kota dengan jumlah DPT lebih dari 250-500 ribu jiwa,  7.5%  untuk kabupaten/kota dengan jumlah DPT lebih dari 500 ribu – 1 juta jiwa, dan 6.5% untuk kabupaten/kota dengan jumlah DPT lebih dari 1 juta jiwa.

Implikasi Elektoral

Ketentuan baru sebagaimana diringkaskan diatas melahirkan beberapa implikasi elektoral, yang sebetulnya menguntungkan bagi partai politik sebagai satu-satunya institusi yang memiliki hak konstitusional mengajukan para calon Kepala dan Wakil Kepala Daerah. Mengapa demikian?

Pertama, semua partai politik baik yang memperoleh maupun tidak memperoleh kursi di DPRD dapat mengajukan pasangan calon sepanjang dapat memenuhi ketentuan besaran persentasi tadi, sendirian maupun dengan cara berkoalisi (gabungan) partai politik. Karena syarat perolehan kursi di DPRD dinyatakan oleh MK bertentangan dengan konstitusi.

Dalam konteks ini, sebagaimana dibacakan oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menilai bahwa, "Jika dibiarkan berlakunya norma Pasal 40 ayat (3) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 secara terus-menerus dapat mengancam proses demokrasi yang sehat."

Kedua, dengan perluasan ruang kandidasi dan terbuka bagi semua partai peserta Pemilu, maka potensi munculnya calon tunggal karena ada dominasi kekuatan politik tertentu yang memborong semua partai yang memiliku kursi di DPRD dengan sendirinya dapat dicegah.

Dalam konteks ini, sekedar menyebut beberapa contoh kasus Pilgub, proses kandidasi di Banten, Jakarta, Jawa Barat dan Jatim yang didominasi oleh kubu KIM Plus dan potensial melahirkan calon tunggal dapat dihindari.

Ketiga, dengan ketentuan baru ini pula potensi munculnya pasangan calon boneka yang disiapkan oleh kekuatan politik dominan untuk sekedar menghindari calon tunggal dapat dicegah. Pengondisian pasangan calon boneka oleh kekuatan politik dominan akan sia-sia karena setiap partai politik dapat mengajukan pasangan calon.

Keempat, dalam konteks konstelasi politik kandidasi yang didominasi oleh kekuatan kubu KIM Plus dengan disokong penuh kekuasaan pusat dan mengarah pada kartelisasi politik yang mematikan prinsip-prinsip elektoral, ketentuan baru ini bisa menyelamatkan demokrasi dari proses pembusukan oleh perilaku elit partai dan penguasa. Sekaligus memastikan bahwa Pilkada masih layak disebut Pilkada.

Sekali lagi, ketentuan baru itu sebetulnya menguntungkan semua partai politik sebagai institusi yang berhak mengajukan calon-calon pemimpin secara terbuka dan kompetitif. Terbuka peluang bagi setiap partai untuk memajukan kader-kader terbaiknya menjadi Gubernur, Bupati dan Walikota atau para wakilnya.

Tetapi anehnya Baleg DPR RI justru mengubah demikian rupa putusan MK yang justru membatasi ruang kandidasi Pilkada.  Yakni dengan membuat ketentuan pelonggaran threshold itu hanya berlaku buat partai politik yang tidak punya kursi di DPRD. Threshold 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara sah Pileg tetap diberlakukan bagi partai-partai politik yang memiliki kursi di DPRD.

Batas Minimal Usia Paslon

Kemudian terkait putusan MK Nomor 70 Tahun 2024 mengenai persyaratan batas minimal usia calon Kepala dan Wakil Kepala Daerah. Dalam pertimbangan hukumnya MK antara lain menguraikan, “Bahwa setelah Mahkamah mempertimbangkan secara utuh dan komprehensif berdasarkan pada pendekatan historis, sistematis, praktik selama ini dan perbandingan, Pasal 7 ayat (2) huruf e UU 10/2016 merupakan norma yang sudah jelas, terang-benderang, bak basuluh matohari, cetho welo-welo, sehingga terhadapnya tidak dapat dan tidak perlu diberikan atau ditambahkan makna lain atau berbeda selain dari yang dipertimbangkan dalam putusan a quo, yaitu persyaratan dimaksud harus dipenuhi pada proses pencalonan yang bermuara pada penetapan calon…” [Butir 3.17]. 

Pertimbangan ini berbeda dengan putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor : 23 P/HUM/2024 yang memberi tafsir baru bahwa pemenuhan persyaratan batas minimal usia calon Kepala dan Wakil Kepala Daerah itu dihitung pada saat pelantikan calon terpilih.

Konyolnya, Baleg DPR RI justru sepakat menggunakan putusan MA dan mengabaikan putusan MK. Padahal dari sisi hierarki (tata urutan perundangan) pengajuan norma hukum jelas putusan MK lebih tinggi daripada putusan MA. MA menguji Peraturan KPU terhadap UU, sementara MK menguji UU terhadap UUD.

Selain itu, putusan MK juga bersifat final and binding sebagaiman diatur dalam Pasal 24C UUD 1945. Bahwa “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang­undang terhadap Undang­Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang­Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.”

Kepentingan Politik Parsial

Lantas mengapa Baleg DPR RI begitu antusias, sigap dan tanpa malu (meski dihujani kritik keras oleh berbagai pihak, terutama para akademisi dan ahli, mahasiswa dan kalangan masyarakat sipil) menolak dua putusan MK itu?

Pertama, penolakan terhadap putusan MK Nomor 60 Tahun 2024 diduga berkaitan dengan nafsu KIM Plus yang sudah kelewat batas untuk menguasai sebanyak mungkin arena kontestasi Pilkada, terutama daerah-daerah strategis dan penting seperti semua provinsi di pulau Jawa dengan memborong semua partai dan menyisakan hanya PDIP.

Kedua, penolakan terhadap putusan MK Nomor 70 Tahun 2024 berkenaan dengan kepentingan politik elektoral untuk memberikan jalan bagi Kaesang Pangarep bisa maju sebagai calon Gubernur atau Wakil Gubernur. 

Seegois dan sesempit itukah orientasi para wakil kita di parlemen hingga tanpa ragu merancang permufakatan banal yang bisa mematikan demokrasi sekaligus menghempaskan esensi kedaulatan rakyat ke tong sampah?

Kita lihat siang nanti atau lusa, yang kabarnya hasil rancangan permufakatan banal itu bakal dibawa ke Paripurna DPR. Jika rancangan Baleg DPR itu akhirnya lolos, maka paripurnalah pula banalitas perilaku mereka yang memang sudah terlalu sering dipertontonkan !

Bagikan Artikel Ini
img-content
Agus Sutisna

Penulis Indonesiana | Dosen | Pegiat Sosial

5 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler