Demokrasi Keluarga, Konstitusi Cuma Pajangan, Raja Jawa Bebas Atur Main!

Kamis, 22 Agustus 2024 14:50 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dinamika politik Indonesia tengah memasuki babak baru yang suram, dengan upaya manipulasi hukum yang mengancam masa depan demokrasi. Putusan Mahkamah Konstitusi diabaikan, undang-undang diutak-atik, semua demi melanggengkan kekuasaan keluarga yang berkuasa. Di tengah ancaman ini, apakah kita akan membiarkan demokrasi hancur atau berdiri untuk mempertahankannya? Saat lembaga-lembaga demokrasi dilemahkan, rakyat bisa kehilangan kepercayaan dan apatisme menyebar. Tindakan kita sekarang akan menentukan apakah Indonesia akan tetap menjadi negara demokratis atau jatuh ke dalam kekuasaan otoritarianisme.

Dinamika politik yang sedang berlangsung di Indonesia belakangan ini memberikan sebuah gambaran yang suram bagi masa depan demokrasi kita. Lihat saja bagaimana putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai syarat pencalonan Pilkada 2024 diabaikan begitu saja oleh DPR. Padahal, MK adalah lembaga yang tugasnya melindungi konstitusi dan memastikan bahwa hukum ditegakkan sesuai dengan semangat demokrasi. Namun, apa yang terjadi? Putusan itu disusul oleh langkah cepat revisi UU Pilkada, yang bagi banyak orang, tidak lebih dari upaya melanggengkan dinasti politik yang sedang berkuasa. Kaesang Pangarep, anak Presiden Jokowi, menjadi pusat perhatian sebagai calon potensial di Pilkada yang dianggap didorong dengan mengabaikan aturan yang ada.

Jika kita berhenti sejenak dan melihat fenomena ini melalui kacamata filsafat politik dan demokrasi, kita akan menyadari bahwa ini bukan sekadar masalah hukum yang diabaikan. Ini adalah tanda bahaya bagi institusi demokrasi yang seharusnya menjadi fondasi bagi negara ini. John Locke, salah satu filsuf politik paling berpengaruh, pernah mengatakan bahwa kekuasaan pemerintah harus dibatasi oleh hukum, bukan oleh keinginan individu atau kelompok tertentu. Ketika lembaga tinggi negara seperti DPR berani mengabaikan putusan MK, mereka bukan hanya merusak konstitusi, tetapi juga menghancurkan tatanan hukum yang melindungi kita dari tirani.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sejarah telah berulang kali mengajarkan bahwa ketika institusi demokrasi melemah, masyarakat akan jatuh ke dalam kekacauan dan otoritarianisme. Contoh nyata bisa dilihat di negara-negara lain, di mana penguasa berhasil mengubah konstitusi untuk melanggengkan kekuasaannya, yang pada akhirnya menghancurkan kebebasan dan hak asasi manusia. Apakah kita ingin Indonesia menjadi salah satu dari negara-negara tersebut?

Respon yang seharusnya diambil oleh pemerintah sebenarnya sederhana: tegakkan supremasi hukum dan pertahankan konstitusi. Jangan biarkan upaya melemahkan institusi demokrasi berjalan tanpa hambatan. Montesquieu, dengan konsep pemisahan kekuasaannya, menekankan pentingnya adanya checks and balances antara cabang-cabang kekuasaan untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan. Jika DPR dan pemerintah terus mengabaikan putusan MK, checks and balances ini akan runtuh, membuka jalan bagi dominasi eksekutif yang tidak terkendali. Kita semua tahu, ketika satu cabang kekuasaan menjadi terlalu kuat, demokrasi mulai kehilangan maknanya.

Bahaya yang mengintai tidak hanya pada tingkat institusi, tetapi juga pada tingkat masyarakat. Dinasti politik, terutama ketika dilanggengkan melalui manipulasi hukum, merupakan ancaman serius bagi demokrasi. Alexis de Tocqueville pernah memperingatkan bahwa demokrasi bisa runtuh jika kekuasaan terkonsentrasi pada satu kelompok atau keluarga. Ketika kekuasaan berada di tangan segelintir orang, hasilnya bukanlah demokrasi, tetapi oligarki yang menyamar dalam bentuk demokrasi prosedural. Dan ini bukan sekadar teori; kita bisa melihatnya terjadi di depan mata kita. Ketika rakyat mulai merasa bahwa suara mereka tidak lagi didengar, bahwa pemilu hanya formalitas tanpa substansi, apatisme mulai menggerogoti semangat demokrasi.

Jika upaya melanggengkan dinasti ini terus berlanjut tanpa perlawanan, kita akan melihat erosi kepercayaan publik terhadap sistem politik. Rakyat mungkin menjadi apatis, atau lebih buruk lagi, mereka bisa kehilangan keyakinan pada demokrasi sebagai sistem yang adil. Pada titik ini, bukan tidak mungkin kita akan menyaksikan gelombang protes yang lebih besar, atau bahkan kekacauan sosial yang lebih dahsyat.

Apa yang harus dilakukan? Pertama-tama, kita harus mengembalikan kepercayaan pada konstitusi dan hukum. Pemerintah harus mengakui bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat. Langkah ini penting untuk menunjukkan bahwa hukum masih menjadi penentu akhir dalam konflik politik. Selain itu, pemerintah dan DPR harus membuka ruang dialog yang lebih luas dengan masyarakat sipil dan partai politik oposisi. Mengabaikan suara-suara kritis hanya akan memperdalam polarisasi politik dan meningkatkan ketidakpercayaan publik. Keterbukaan dan transparansi dalam proses legislasi adalah kunci untuk mendinginkan suasana politik yang memanas.

Pada akhirnya, kita harus bertanya pada diri kita sendiri: apakah kita akan membiarkan demokrasi kita hancur oleh ambisi segelintir orang, atau kita akan berdiri bersama untuk mempertahankan prinsip-prinsip yang telah lama kita junjung? Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan nasib bangsa kita dalam dekade-dekade mendatang. Demokrasi bukanlah sesuatu yang bisa kita anggap remeh; ia membutuhkan partisipasi aktif dan kesadaran penuh dari setiap warga negara untuk terus diperjuangkan dan dilindungi.

Jika kita gagal merespons dengan tegas terhadap ancaman ini, maka kita akan menghadapi risiko jatuh ke dalam kegelapan otoritarianisme yang pernah kita saksikan di negara-negara lain. Tetapi jika kita bertindak sekarang, mempertahankan supremasi hukum dan memperkuat demokrasi, kita dapat memastikan bahwa bangsa ini tetap berada di jalur yang benar menuju kemajuan dan keadilan bagi semua rakyatnya. Waktu kita tidak banyak, dan tindakan kita hari ini akan menentukan seperti apa wajah demokrasi Indonesia di masa depan.

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler