Urban

Kamis, 22 Agustus 2024 17:33 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Panorama cerpen mengurai sel-sel otak agar tetap sehat walafiat. Tak ada pembaca tak ada seni susastra. Jelajah imajinasi.

Kisah kekuasaan dari nomaden, monarki lantas menjadi sebuah negara modern, sebut saja  terkini, berkembang melibatkan beragam kegiatan sosial tekno kultural bangsa negara sebagaimana kebutuhan rakyatnya. Menuju klasifikasi kenegaraan meningkatkan bentuk citacita bersama rakyatnya. 

"Lapar perutku tak mungkin kompromi."
"Dua anakmu tiga anakku."
"Lantas?'
"Kita harus berbuat sesuatu demi beras."
"Caranya."
"Entah."

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

"Kau ada inspirasi."
"Banyak."
"Apa inspirasimu."
"Nyopet."
"Hah!"
"Mudah. Cepat. Efektif."

Salah satunya melibatkan perilaku sosial inheren beragam dayajuang; di ranah perilaku kesedihan, kegembiraan, cinta kasih sayang. Lantas di kemudian waktu bertemu sumber mata air tujuan, di arena siklus makhluk hidup kait berkait kekuasaan ataupun penguasa sebuah negara di manapun sesuai bentuk pemerintahannya. 

"Pandir."
"Jangan tendensius begitu."
"Malu dengan gelarmu."
"Kuy. Apa peduliku dengan gelar itu." 
"Terpenting pulang membawa beras."
"Cocok."

"Kuy. Kau sudah pikir panjang."
"Panjang atau pendek apa itu penting." Waktu membisu sejenak.

Konteks kebijakan isme pilihan demi rakyat bahagia. Apapun bentuk pemerintahan sebuah negara. Tetap memerlukan sumber air, sumber minyak, sumber tambang, sumber makanan, sember kehidupan sebagaimana kebutuhan tujuan hidup ideologi negera bersangkutan. Tentu saja puncaknya mencapai cinta tanah negeri bahagia bersama.

"Sebentar. Aku gemetar."
"Kau kira aku tidak."
"Cuy. Ini bukan menulis puisi kerinduan."
"Tak bisa dianggap begitu ya."
"Ini menyoal realitas perut."
"Lapar. Hihihi seperti judul puisiku."

"Menyapa matahari, itu karya terbaru puisiku."
"Hihihi puisiku menyapa rembulan."
"Kita memang sahabat sejati."
"Sampai bokek pun duet kita hahaha." Ngakak keduanya.
"Belum tayang, kalaupun sudah masih menunggu godot."
"Hahaha waktu bayar atau waktu ambil."

Negara dalam bentuk apapun bergerak dinamis sesuai keyakinan ideologi negera bersangkutan sebagaimana cita-cita rakyatnya inheren ideologi negara bersangkutan. So pasti perdamaian menjadi tujuan utama semua negara, itu sebabnya pula terbentuk Persirakatan Bangsa Bangsa, barometer stabilitas perdamaian dunia. Semoga.

"Hahaha kita masih dalam antrian."
"Wkwkwk menunggu kabar by email atau pesan singkat."
"Risiko masuk dalam sistem."
"Tampaknya begitu."
"Bagian dari dayajual."
"Termasuk dayabeli."

"Tanpa pesan singkat."
"Dor! Gunung digondol maling."
"Romo ono maling." Keduanya berlagu kalimat itu.
"Romo aku lapar hahaha..." Keduanya terpingkalpingkal.
"Jadi maling kita hari ini."
"Apa boleh buat demi kebersamaan perut. Cus!"

Ada banyak bunyi slogan bersifat demi pencapaian citacita sebuah negara bersama rakyatnya untuk perdamaian negara bangsa menempuh tujuan meraih cipta karsa utama, di tengah perdebatan politik kebudayaan mencapai kepentingan citra politik bening kenegaraan setara di berbagai wilayah tujuan kemuliaan dunia milik bangsabangsa.

"Mulai kita."
"Sebentar. Gemetar aku."
"Hah! Sama kita." 
"Ayolah! Matahari makin tinggi kawan."
"Mendadak aku ragu."
"Sama kita."

"Jadi?" Serentak. Saling menatap tajam.
"Matamu tak menunjukan keberanian."
"Matamu juga kawan."
"Lantas? Apa daya."
"Kita perlu beras."
"Nah kau paham itu."

Anehnya politik kepentingan menghadirkan manuver tarik tambang antar keinginan, katakanlah semuanya menjadi baik menuju benar demi rakyat. Sekalipun ambisi mampu merubah tujuan sungai beralih muara untuk mencapai lautan. Filsafat kenegaraan mendadak bisu menghadapi ambisi over thingking perilaku tak terduga, koruptif. 

"Tak ada jalan lain ke Roma ya."
"Ada."
"Apa."
"Hari ini kita mencopet."
"Hanya itu alternatifnya."
"Ya." Keduanya terperangkap bisu.

Lantas lahir selonong korupsi kelas kakap, kecil kale ya. Kelas gajah deh, tak peduli tatakrama bernegara. Lantas menjadi topik utama news para media berjalan. Hih! Serem deh. Teganya perilaku korupsi icu, ehem. Pertanyaannya kemudian.; Kepada siapa berlindung ketika hakhak publik dicopet koruptor dengan sangat kejam. Oh!

"Ada apa rupanya." Keduanya serentak bertanya pada seseorang di antara orang banyak berkerumun di tempat keduanya sedang asyik bercengkerama sejak tadi. 

"Korban tabrak lari." Seseorang menjawab tak menoleh di antara orang banyak mengerumuni korban, memberi pertolongan pada dua sosok tubuh terkapar.

*** 

Jakarta Indonesiana, Agustus 22, 2024.
Salam NKRI Pancasila. Banyak kebaikan setiap hari.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Taufan S. Chandranegara

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Kolaborasi

2 hari lalu

Baca Juga











Artikel Terpopuler