Sangkala

Rabu, 28 Agustus 2024 07:58 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kurusetra berdarah. Sangkala, wajib muncul ketika negeri berangin di awanawan. akan dikuasai antekantek oligarki berkedok demokrasi abalabal

Kami bukan katakata dalam prosa liris lantas menjadi bungkus kacang lecek dibuang setelah tak berguna. Kami bersuara ketika lembaga penting bisu menderita impotensi tak mampu menyuarakan suara orang banyak. Kami putra putri para satria. Siap memberantas tandatanda cuaca oligarki mau cobacoba mengelabui negeri berangin di awanawan.

Para bunglon berubahubah warna sebab ia memiliki banyak pigmen adaptif untuk berkelit menyelamatkan diri. Mencoba mengelabui cuaca Sang Semesta, mengambil untung untuk kocek sendiri, kenyang sendiri, berwatak koruptif mencoba terus menerus merongrong ketenteraman negeri berangin di awanawan dengan caracara korupsi. Koruptor, sekali bangsat tetaplah bangsat.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

"Bro, jadi pripun niku." Gareng.
"Oh! Apa-apanya dong." Petruk.
"Loh enggak jadi dang ding dong?" Bagong.
"Gongnya telat datang." Petruk.

"Lah sindennya?" Gareng sembari berkaca mata hitam.
"Sakit flu." Jawab Bagong.
"Wah kok bisa begitu." Gareng cengarcengir
"Lah sudah diatur demikian cuy." Jawab Petruk.
"Ee! Halah! Dinanti publik loh." Tukas Bagong.

"Kembalikan saja uang karcis tontonannya." Suara Gareng santai.
"Wah cari perkoro. Bisa benjut aku." Jawab Petruk.
"Loh! Kok bisa." Suara Bagong.
"Dengkulmu. Selain benjut wajib ganti rugi." Gareng sembari manggutmanggut.
"Hihihi risiko penyelenggara tontonan dong." Senyuman Bagong terasa purapura.

Korupsi destruktif, amoral hebat berkelit molos lewat lubang jarum buatan oligarki cocok isme serupa komunisme adaptif pula kini telah berubah wajah mencoba membangun ideologi masif oligarki ke arah bentuk demokrasi autokrasi represif. Oh! Menghadapi gerakan anggota terpelajar negeri berangin di awanawan, mengapa harus dengan kekerasan? Mereka putra putri para satria, anak kandung negeri berangin di awanawan.

Warga negara tanpa kecuali, kusuma bangsa, anak negeri pemilik negeri berangin di awanawan. Berkewajiban mengontrol sistem hukum formal memberi keseimbangan pemikiran kenegaraan melalui keyakinan teguh ideologi negerinya, mengontrol demokrasi impor itu agar tak dikuasai,  dipelintir, dikendalikan oligarki menjadi demokrasi autokrasi represif. Jangan jadi maling hak orang banyak di negeri berangin di awanawan.

"Nah itu loh pemicunya." Suara Bagong nyelonong saja.
"Yang mana ya Gong." Suara Gareng polos.
"Kalau purapura pandir?" Bagong sembari melengos ke Petruk.
"Bisa pandir beneran loh." Sahut Petruk.

"Nah itu baru betul." Bagong menukas cepat.
"Aku serius." Petruk.
"Loh aku dua rius je." Bagong.
"Jee moro beo ja." Gareng sembari buang muka.

"Hahaha lagi usum toh yo." Gareng ngakak.
"Usum berani mati." Suara Bagong nyambi maem roti bakar
"Wkwkwkw demi cuan toh yo." Petruk sembari bersiul.
"Ora, demi triliun je." Gareng senyum manis sekali.

Bersifat diktatorisme. Gawat loh hai kalau sampai seumpama kediktatoran bangkit lagi, ehem, muncul berwajah melankoli mengusai mata uang emas melalui jalur ekonomi perdagangan negeri berangin di awanawan. Mungkin saja akan berdampak pada pembubaran sistem oleh sistem baru versus sistem amat terbarukan sekali. Jika skala formal tak mampu memberi kebaikan berbudi luhur.; Spiritualitas Iman Keilahian.

Kurusetra berdarah. Sangkala, wajib muncul ketika negeri berangin di awanawan. akan dikuasai antekantek oligarki berkedok demokrasi abalabal, untuk menjadi bentuk demokrasi autokrasi represif merongrong ideologi negeri berangin di awanawan. di masa akan datang, mungkin udah kale ya, lewat jalur ekonomi perdagangan. Eh! Halah walah kadalah. 

"Jar! Jir! Jor!." Gareng.
"Ojo ndagel loh " Suara Bagong.
"Aku ra ndagel. Mung lucu." Petruk.
"Lelucon kok ra lucu." Gareng.

"Walah, seperti kurakura dalam perahu." Bagong jogetan.
"Purapura tak tahu." Petruk bergaya balerina.
"Padahal amat tahu tempe sekali." Gareng menari acak kadul.
"Cocok lodeh sekali." Bagong sembari meninggikan leher.

"Njur ganti gudeg krecek je hahaha." Gareng ngakak asli. 
"Hahaha kalau kerecek doang gimana." Bagong terpingkalpingkal.
"Nasib berkehendak lainlain ya." Petruk sok sedih.
"Kalau cuannya lumayan piye." Serentak ketiganya salaman.

"Walah! Walah!" Suara Semar.
"Ssst! Ono Romo." Gareng.
"Bilang aja ada maling." Bagong.
"Huss ngawur! Kalau beliau kentut bisa gawat semesta." Petruk mengingatkan.

"Bisa gawat banget loh." Gareng.
"Sssst!" Bagong. Lantas ketiganya ngumpet di kolong bale bambu.
"Mbok yao kalau omong di depan Romo. Ra sah ngisinngisini."
"Nggih Romo." Ketiganya menyembulkan kepala dari kolong bale bambu.

"Sudah benar. Waktunya Sangkala muncul menyuarakan hati nurani negeri berangin di awanawan. Menyelamatkan asas negeri berangin di awanawan atas seijin Tuhan Yang Maha Esa, sebagaimana tersebut dalam ketentuan negeri berangin di awanawan. Sudah tersurat pula sejak awal mula kesejarahan negeri berangin di awanawan. Berdamai dengan hati nurani keutamaan kehidupan berbudi luhur. Catet ya le besok ulangan. Hayo do sinau lagi ben tambah pinter." Suara Ki Semar, tenang menghanyutkan. Angkasa terasa cerah gemintang menarinari.

"Sendiko dawuh Romo..." Suara Petruk, Gareng, Bagong, serentak patuh. 

Jreng! Eh! Halah walah kadalah. Itu sebabnya pula Ki Semar Badranaya, tak dihadirkan di kancah Bharatayudha Kurusetra, bahkan untuk menyaksikanpun dilarang para dewa, sekalipun Semar sesungguhnya juga salah satu titisan dewa; para dewa mungkin khawatir takkan muncul hakikat nurani kebenaran jika Kurusetra gagal perang. Maka pecahlah perang Bharatayudha atas kehendak kekuasaan manusia. Gong!

***

Jakarta Indonesiana, Agustus 27, 2024.
Salam NKRI Pancasila. Banyak kebaikan setiap hari. 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Taufan S. Chandranegara

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Apa Kabarmu.

Senin, 28 Oktober 2024 07:56 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler











Terpopuler di Fiksi

img-content
img-content
img-content
img-content
Lihat semua