Gemar berbagi melalui ragam teks fiksi dan nonfiksi.

Keterampilan Non-Kognitif Sama Pentingnya dengan Kecerdasan, Ini Implikasinya bagi Pendidikan

Rabu, 28 Agustus 2024 20:03 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

\x22Penelitian kami menantang anggapan yang sudah lama dianut, bahwa kecerdasan adalah pendorong utama pencapaian akademis,\x22

oleh Slamet Samsoerizal

Sebuah penelitian terbaru dari Nature Human Behaviour, yang dipimpin bersama oleh Dr Margherita Malanchini dari Queen Mary University of London dan Dr Andrea Allegrini dari University College London, mengungkapkan bahwa keterampilan non-kognitif, seperti motivasi dan pengaturan diri, sama pentingnya dengan kecerdasan dalam menentukan keberhasilan akademis.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Keterampilan-keterampilan tersebut menjadi semakin penting selama masa pendidikan anak, dengan faktor genetik yang memainkan peran penting. Penelitian yang dilakukan ini bekerja sama dengan tim ahli internasional, menunjukkan bahwa mengembangkan keterampilan non-kognitif di samping kemampuan kognitif dapat secara signifikan meningkatkan hasil pendidikan.

"Penelitian kami menantang anggapan yang sudah lama dianut,  bahwa kecerdasan adalah pendorong utama pencapaian akademis," kata Dr Malanchini, Dosen Senior Psikologi di Queen Mary University of London, kepada neurosciencenews.com.

Bukti kuat yang ditemukan peneliti adalah bahwa keterampilan non-kognitif - seperti ketabahan, ketekunan, minat akademis, dan nilai yang dikaitkan dengan pembelajaran - tidak hanya menjadi prediktor yang signifikan bagi kesuksesan, tetapi juga pengaruhnya semakin kuat seiring berjalannya waktu.

Penelitian yang diikuti lebih dari 10.000 anak dari usia 7 hingga 16 tahun di Inggris dan Wales ini menggunakan kombinasi studi kembar dan analisis berbasis DNA untuk meneliti interaksi yang kompleks antara gen, lingkungan, dan kinerja akademik.

Kekuatan genetika non-kognitif

Salah satu temuan yang paling mencolok adalah meningkatnya peran genetika dalam membentuk keterampilan non-kognitif dan dampaknya terhadap prestasi akademik. Dengan menganalisis DNA, para peneliti membuat "skor poligenik" untuk keterampilan non-kognitif, yang pada dasarnya merupakan gambaran genetik dari kecenderungan seorang anak terhadap keterampilan-keterampilan ini.

"Kami menemukan bahwa efek genetik yang terkait dengan keterampilan non-kognitif menjadi semakin prediktif terhadap pencapaian akademis selama tahun-tahun sekolah, bahkan efeknya hampir dua kali lipat antara usia 7 dan 16 tahun," jelas Dr Allegrini, Peneliti di University College London.

Pada akhir masa wajib belajar, kecenderungan genetik terhadap keterampilan non-kognitif sama pentingnya dengan kecenderungan genetik terhadap kemampuan kognitif dalam memprediksi keberhasilan akademis.

Temuan ini menantang pandangan tradisional tentang pencapaian pendidikan yang sebagian besar ditentukan oleh kecerdasan. Sebaliknya, penelitian ini menunjukkan bahwa susunan emosi dan perilaku seorang anak, yang dipengaruhi oleh gen dan lingkungan, memainkan peran penting dalam perjalanan pendidikan mereka.Peran lingkungan Meskipun genetika tidak diragukan lagi berkontribusi pada keterampilan non-kognitif, penelitian ini juga menekankan pentingnya lingkungan.

Dengan membandingkan saudara kandung, para peneliti dapat mengisolasi dampak lingkungan keluarga bersama dari faktor genetik. Meskipun proses dalam keluarga memainkan peran yang signifikan, pengaruh genetika non-kognitif yang semakin besar terhadap prestasi akademik tetap terlihat bahkan di dalam keluarga. Hal ini menunjukkan bahwa anak-anak dapat secara aktif membentuk pengalaman belajar mereka sendiri berdasarkan kepribadian, watak, dan kemampuan mereka, menciptakan sebuah lingkaran umpan balik yang memperkuat kekuatan mereka.

Implikasi bagi pendidikan

Temuan penelitian ini memiliki implikasi yang besar untuk pendidikan. Dengan mengakui peran penting keterampilan non-kognitif, sekolah dapat mengembangkan intervensi yang ditargetkan untuk mendukung perkembangan emosional dan sosial siswa di samping pembelajaran akademis mereka."Sistem pendidikan kita secara tradisional berfokus pada perkembangan kognitif," kata Dr Malanchini. "Sudah waktunya untuk menyeimbangkan kembali fokus tersebut dan memberikan perhatian yang sama pentingnya untuk mengembangkan keterampilan non-kognitif. Dengan demikian, kita dapat menciptakan lingkungan belajar yang lebih inklusif dan efektif bagi semua siswa."

Penelitian ini juga menyoroti perlunya penelitian lebih lanjut mengenai interaksi yang kompleks antara gen, lingkungan, dan pendidikan. Dengan memahami faktor-faktor ini, para pendidik dan pembuat kebijakan dapat mengembangkan strategi yang lebih efektif untuk mendukung perkembangan siswa secara keseluruhan dan mencapai hasil pendidikan yang lebih baik.

Dr Malanchini menyimpulkan, "Penelitian ini hanyalah permulaan. Kami berharap penelitian ini akan menginspirasi penelitian lebih lanjut dan mengarah pada transformasi dalam cara kita mendekati pendidikan." ***

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler