Perlunya Pajak Kekayaan
Rabu, 28 Agustus 2024 19:58 WIBAda problem mendasar di balik fenomena flexing menantu Presiden Joko Widodo yang terkait dengan praktik ekonomi dan politik: dominasi kaum superkaya. Pajak kekayaan diperlukan.
Oleh: Purwanto Setiadi
Kegaduhan timbul di media sosial dalam sepekan terakhir akibat flexing menantu Presiden Joko Widodo. Erina Gudono, sang menantu, istri putra bungsu Presiden, Kaesang Pangarep, memamerkan momen-momen wah dari tripnya ke Amerika Serikat. Perjalanan itu, katanya untuk menyiapkan kuliah lanjutan di sana, dilakukan dengan mencarter pesawat jet pribadi.
Superkaya.
Ada bermacam-macam penekanan opini dalam kegaduhan tersebut. Sebagian besar di antaranya, yang merupakan respons terhadap flexing yang dianggap tidak peka terhadap keadaan genting di dalam negeri, bernada mengecam. Misalnya tentang lobster roll atau roti isi yang jadi santapan sewaktu di negeri Abang Sam, yang harganya--setara Rp 400 ribu--dinilai kelewat mahal. Tak ketinggalan adalah biaya sewa pesawat yang ditengarai berupa Gulfstream G650ER, tipe yang populer di kalangan super-rich, pengusaha maupun selebritas.
Di antara netizen yang membela, ada yang berpendapat bahwa mereka yang merujak Erina adalah kaum pengiri belaka, yang kalau punya rezeki yang sama pasti bakal melakukan hal serupa; dan bahwa mereka tak punya hak untuk menggugat cara-cara Erina menjalani hidupnya. Ada pula yang menormalkan perilaku itu, menyebutnya sebagai praktik lazim, bahkan kalaupun sumber dananya adalah traktiran orang lain--pengusaha, kaum superkaya, siapa pun.
Pembelaan itu bisa terasa benar. “Mind your own damn business,” demikian, barangkali, standpoint-nya. Tapi, sebetulnya, ini hanya berlaku kalau Erina dan suaminya bukan siapa-siapa, atau, persisnya, bukan orang-orang yang punya relasi keluarga dengan pemimpin tertinggi pemerintahan di negara ini--seorang pejabat publik, penyelenggara negara. Realitasnya tidak demikian, bukan? Kalau mereka adalah nobodies, siapa pula yang mau mencukongi begitu saja? Maka, argumen-argumen yang mau menepis ekspose dan celaan menyangkut dimensi kepatutan dari pameran kemewahan itu--demikianlah yang dilihat masyarakat pada umumnya--jadi kehilangan validitasnya.
Tidak perlu diperdebatkan lagi tentang perlunya pemeriksaan mengenai bagaimana perjalanan tersebut dilakukan dari aspek pembiayaannya. Komisi Pemberantasan Korupsi sepatutnya mengecek segala sesuatunya, menelusuri dan menyelidiki informasi-informasi yang telah mengalir di ruang publik; memastikan ada-tidaknya gratifikasi, yaitu pemberian dalam berbagai bentuk yang berkaitan sekaligus berlawanan dengan hakikat pekerjaan, jabatan, atau tugas penyelenggara negara/pejabat publik--dalam hal ini orang tua Kaesang.
Di luar perkara itu, ada satu aspek lain yang sebenarnya perlu dikemukakan agar menjadi bahan diskusi yang sifatnya urgen. Aspek ini menyangkut bagaimana isu ketimpangan, keadilan, dan juga krisis lingkungan hidup yang sedang berlangsung saat ini dapat ditanggulangi. Ia juga bisa dijadikan cara untuk menambah sumber penerimaan negara serta, khususnya, mencegah gratifikasi--yang ujungnya adalah suap, rasuah, korupsi, bahkan oligarki--menjadi praktik yang lumrah.
Aspek itu terkait dengan seruan tentang wealth tax atau pajak kekayaan. Sudah saatnya pajak untuk kaum superkaya ini, yang akan membuat penimbunan harta melampau kewajaran jadi tidak gampang, dibahas serius dengan tujuan akhir: ia diimplementasikan melalui aturan perpajakan, dan ditegakkan.
Pajak kekayaan telah menjadi wacana global sejak lama, sebenarnya. Ada pro dan kontra. Banyak negara enggan menyambutnya. Tapi beberapa negara sudah menerapkannya, seperti Norwegia, Spanyol, Prancis, dan Swiss. Dan dalam sedasawarsa terakhir seruan untuk memajaki harta kaum superkaya semakin kencang. Belakangan seruan ini mendapat dorongan di tingkat global dengan adanya proposal Brasil pada awal tahun ini tentang pajak kekayaaan 2 persen yang bakal menyasar sekitar 3.000 orang terkaya sedunia.
Secara spesifik, pajak kekayaan merupakan pajak yang obyeknya adalah kekayaan bersih (net worth) atau total aset dikurangi kewajiban-kewajiban. Siapa yang dimaksud kaum superkaya yang proporsinya terhadap total populasi sering diidentikkan dengan kelompok 1 persen teratas itu? Dalam studi tentang ketimpangan, ini adalah orang-orang dengan kekayaan finansial di atas US$ 1 juta (lebih kurang Rp 15,5 miliar). Kategorinya adalah high net worth individual (HNWI). Selain mereka, di kelompok ini ada kategori lain, yakni ultra high net worth individual (UHNWI) atau orang dengan kekayaan bersih minimal US$ 30 juta (sekitar Rp 450 miliar). Menurut Global Wealth Report 2023, di Indonesia jumlah mereka, masing-masing, adalah 176.757 orang (HNWI) dan 1.155 (UHNWI).
Kenapa mereka harus jadi obyek pajak kekayaan? Ada argumentasi moral; ada pula alasan-alasan penting lain di luar itu.
Argumentasi moral bertalian dengan kondisi ketimpangan yang ada sejauh ini. Di Indonesia, menurut laporan dari Credit Suisse tersebut, kelompok 1 persen orang terkaya menguasai hampir setengah kekayaan negara senilai US$ 3,26 triliun. Jika kesetaraan merupakan bagian fundamental dari janji deklarasi berdirinya Indonesia, atau panggilan moral dari raison d’etre eksistensi negara ini, perkembangan yang ada menunjukkan arah yang dituju justru berpotensi mengancam realisasi janji itu.
Seberapa besar ketimpangan bisa dibiarkan sebelum kualitas hidup dalam konteks kesetaraan tersebut benar-benar pupus? Tidak ada besaran pasti. Yang jelas, kalau tren yang bergulir sekarang tidak dihentikan, sementara pendapatan dan kekayaan terus-menerus memusat ke sepotong kecil penduduk di posisi teratas, berkat proses politik yang oligarkis dan pemerintahan yang makin mengarah ke plutokrasi, risiko kehilangan sama sekalinya teramat besar. Secara moral, ini jelas salah.
Alasan-alasan lain dari perlunya pajak kekayaan, tentu saja, juga dibutuhkan. Ini, di antaranya, adalah untuk mengatasi ketimpangan; merespons potensi keresahan sosial; mengoreksi sistem pajak regresif yang dominan saat ini; mencegah kaum kaya menggelapkan pajak; dan menghimpun dana untuk mengatasi ancaman bencana lingkungan, yang sebagian penyebab signifikannya adalah perilaku kaum superkaya. Ketimpangan yang kronis, dalam sudut pandang upaya Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk pencapaian Sustainable Development Goals, mengancam “pembangunan ekonomi dan sosial jangka panjang, [merugikan] penurunan kemiskinan, dan [merusak] perasaan puas terhadap pencapaian dan harga diri”, yang semuanya “dapat melahirkan kejahatan, penyakit, dan degradasi lingkungan”.
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa ada keterkaitan erat antara ekonomi dan politik. Hal ini terlihat gamblang dalam fakta betapa kaum superkaya bukan saja dapat mempengaruhi pembuatan kebijakan, melainkan juga mendominasi politik elektoral dan, konsekuensinya, penyelenggaraan pemerintahan. Kaum superkaya, karenanya, adalah ancaman bagi demokrasi. Pajak kekayaan berpotensi menanggulangi hal ini dan menghindarkan kerusakan yang ditimbulkannya.
Perjalanan menantu Presiden dan suaminya, dan flexing-nya yang menimbulkan kegaduhan itu, hanya fenomena permukaan. Tanpa tindakan untuk mengatasi sumber masalahnya, dengan kata lain membiarkan kaum superkaya tetap mendikte bagaimana ekonomi dan politik diselenggarakan di negara ini, hal yang sama sangat boleh jadi bakal berulang dengan pemeran yang berbeda.
...wartawan, penggemar musik, dan pengguna sepeda yang telah ke sana kemari tapi belum ke semua tempat.
3 Pengikut
Menyoal Fasilitas Parkir Sepeda di Stasiun
Sabtu, 21 September 2024 06:58 WIBMenularnya Motonormativity
Jumat, 13 September 2024 12:55 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler