Pentingnya Menjaga Tumbuh-tumbuhan
Kamis, 29 Agustus 2024 13:18 WIBDalam kearifan lokal budaya Nusantara ada hari yang memuliakan tumbuh-tumbuhan terutama pohon yang berbuah. Meski asal-muasalnya dari India, setelah diadaptasi menjadi khas budaya Nusantara dan di Bali dinamai hari Tumpek Wariga. Tahun ini jatuhnya pada 31 Agustus 2024 ini. Masihkah relevan dirayakan?
Oleh Mpu Jaya Prema
Dapatkah kita membayangkan bagaimana bumi ini jika tidak ada tumbuh-tumbuhan? Planet Mars dan Planet Bulan yang kita ketahui dari penelitian para ahli, ternyata tidak ada tumbuh-tumbuhan yang hidup di sana. Itu sebabnya planet itu panas sehingga tidak ada makhluk hidup yang tinggal di sana.
Bersyukurlah kita. Planet bumi tempat kita hidup ini penuh dengan tumbuh-tumbuhan. Dari berbagai jenis pohon, besar mau pun kecil. Dari yang berbuah sampai yang berumbi, dari yang bisa dimakan dan menjadi kebutuhan hidup sehari-hari sampai yang mengandung racun. Bumi ini diciptakan Tuhan dengan segala kesempurnaannya.
Ada kitab Bhagawad Gita yang lahir dalam ephos Mahabharata di benua India yang menyinggung soal kehidupan itu. Pada Bab III sloka 14 menyebutkan: Annaad bhavanti bhuutaani, prajnyaad anna sambhavad, yadnad bhavati parjanyo, yadnah karma samudbhavad. Sloka atau ayat berbahasa Sansekerta ini kalau diterjemahkan bebas dengan bahasa Indonesia adalah: “Semua makhluk hidup dilahirkan dari makanan, makanan dilahirkan dari hujan, hujan turun karena pelaksanaan persembahyangan suci dan selanjutnya persembahyangan suci terlahir dari perbuatan.”
Bhagawad Gita atau sering disebut sebagai “Nyanyian Ilahi” adalah kitab universal yang banyak diterjemahkan orang dari berbagai agama dan etnis. Kitab ini lahir dari wejangan Sri Krishna kepada Arjuna di medan perang Bharatayudha. Banyak ada terjemahannya, dari yang sangat puitis sampai ulasan berbentuk prosa. Ada terjemahan yang pendek dan simple, yakni: “Makhluk hidup berasal dari makanan. Makanan berasal dari tumbuh-tumbuhan. Tumbuh-tumbuhan berasal dari hujan. Hujan berasal dari yadnya (persembahyangan). Yadnya itu adalah karma (perbuatan).”
Bagaimana pun para cendekiawan menerjemahkan seraya menafsirkan ayat itu, intinya adalah tak jauh dari pengertian ini. Yakni: mustahil ada makhluk hidup, apa pun jenis makhluk itu, apakah manusia, hewan, atau ikan semuanya butuh makanan. Dari mana makanan itu? Ya, dari tumbuh-tumbuhan. Dari mana tumbuh-tumbuhan hidup? Dari adanya hujan. Dan hujan itu ada karena ada persembahyangan atau pengorbanan suci. Jadi ibarat lingkaran, Tuhan menciptakan bumi, tumbuh-tumbuhan, dan makhluk. Kemudian makhluk yang bernama manusia melakukan yadnya sebagai rasa syukurnya dan hewan pun ada yang dijadikan “korban suci” untuk kelangsungan yadnya ini.
Di benua India, terutama di kawasan lembah Sungai Sindhu, yang konon di masa lalu adalah kawasan bermukimnya bangsa Bharata, tradisi memuliakan tumbuh-tumbuhan sudah berakar dan dilestarikan sampai saat ini. Pelestarian itu dilakukan dengan pemujaan kepada Tuhan dengan harapan agar tumbuh-tumbuhan tetap hidup sepanjang masa. Hari pemujaan itu disebut dengan Hari Raya Sangkara Puja, di mana Tuhan dipuja dalam manifestasinya sebagai Dewa Sangkara. Nah, berabad-abad kemudian tradisi ini lalu dibawa ke Nusantara. Dipelihara sebagai bagian dari ajaran agama di masa kerajaan Hindu di Nusantara. Cuma namanya menjadi Tumpek Wariga, yakni suatu hari yang jatuh pada hari Sabtu Kliwon di wuku Wariga. Tahun ini Tumpek Wariga jatuh pada 31 Agustus 2024 dan di Bali nama Tumpek Wariga itu punya berbagai sinonim seperti Tumpek Bubuh, Tumpek Pengatag dan mungkin ada lagi sesuai dengan kebiasaan di setiap lingkungan bagaimana cara merayakannya. Tapi satu yang jelas adalah ini “perayaan” untuk memuliakan tumbuh-tumbuhan.
Pertanyaan besar sekarang, masihkah kita memuliakan tumbuh-tumbuhan itu? Apakah kita berhenti pada ritual yang hanya melestarikan pemuliaannya namun dalam prakteknya kita merusak hutan yang diwariskan? Berapa juta hektar hutan ditebang untuk diambil kayunya, tanahnya beralih fungsi sebagai pemukiman atau justru dikeruk dan ditambang untuk diambil harta karunnya? Kegiatan yang merusak hutan dan lingkungan ini terus berlangsung sekarang, padahal leluhur kita di masa lalu sudah memberikan aturan yang jelas bagaimana hutan itu harus dilestarikan. Misalnya, ada catatan sejarah masa lalu yang termuat dalam lontar berjudul Manawa Swarga. Tertulis dalam aksara Jawa di daun rontal, catatan ini menyebutkan siapa pun orang yang menebang pohon tanpa izin raja dikenakan denda lima ribu kepeng (mata uang saat itu). Denda itu akan bertambah jika pohon yang ditebang menghasilkan buah yang bisa dimakan untuk kebutuhan setiap makhluk, tak cuma untuk dimakan manusia. Dalam catatan kuno itu juga disebutkan raja punya aparat untuk mengawasi hal ini, yang disebut menteri juru kayu. Mungkin ini sejenis Menteri Kehutanan di era sekarang.
Sampai sekarang beberapa desa kuno di Bali tetap melestarikan larangan menebang pohon tanpa izin ini terutama di tanah ulayat adat. Bahkan di desa kuno seperti Tenganan Pegringsingan Kabupaten Karangasem, ada aturan adat yang menyebutkan setiap pengantin baru dinyatakan sah jika sudah menanam satu pohon. Menanam pohon ini juga dimaksudkan untuk mengganti pohon yang sudah tua.
Di Bali gunung dengan hutannya dianggap sakral. Karena itu berbagai proyek betapa pun pentingnya jika keberadaannya di pegunungan selalu ditentang masyarakat. Contohnya geothermal di kawasan Bedugul. Berdasarkan dua galian sumur bor yang sudah siap beroperasi, geothermal ini diperkirakan bisa menghasilkan panas bumi yang cukup untuk pemenuhan listrik di Bali dalam jangka panjang. Tapi masyarakat menentangnya dan propyek itu pun terhenti. Kasus terbaru adalah macetnya rencana pembangunan jalan tol Gilimanuk – Mengwi yang sudah dirancang lebih dari dua tahun lalu. Proyek itu banyak menerobos hutan-hutan meski pun bukan di daerah pegunungan.
Namun pengawasan hutan yang tidak dikuasai oleh negara (hutan lindung) dan bukan pula tanah ulayat adat sudah mulai longgar, bahkan cenderung sudah rusak. Lahan pertanian yang di masa lalu penuh dengan pepohonan berbuah disela-sela hamparan sawah sudah beralih fungsi menjadi pemukiman. Juga dijadikan sarana wisata seperti hotel, villa, restoran dan sebagainya. Sudah sulit sekali melihat lambaian pohon nyiur dan tanaman pisang yang menghijau, juga berbagai jenis bunga. Ironis sekali, masyarakat Bali yang setiap hari tergantung pada buah, bunga, dan janur untuk ritualnya yang tak pernah putus, harus mendatangkan kebutuhan itu dari Banyuwangi, Situbondo, Probolinggo di Jawa. Bertruck-truck janur dan pisang didatangkan dari Jawa ke Bali setiap hari. Padahal tradisi memuliakan tumbuh-tumbuhan itu, terutama pohon yang menghasilkan buah, tetap dilestarikan di Bali.
Tentu rubuhnya pohon dan rusaknya hutan bukan hanya monopoli di Bali. Ini masalah nasional yang terjadi juga di daerah lain. Mungkin juga lebih parah dengan adanya izin pertambangan yang seperti diobral pemerintah. Karena itu mari kita jaga hutan kita, kita muliakan pepohonan. Jika secara nasional sudah ada Hari Bumi maka mengacu kepada kearifan lokal masa lalu, mari kita tetap lestarikan Tumpek Wariga untuk memuliakan tumbuh-tumbuhan di planet bumi ini. Kita dan semua makhluk tak bisa hidup tanpa adanya pohon dan tetumbuhan lainnya. ***
Penulis Indonesiana
3 Pengikut
Mengenal Kesakralan Garuda Sebagai Burung Perkasa
Kamis, 5 September 2024 09:42 WIBKisah Ramayana Sebagai Sesuluh Mencari Calon Pemimpin
Senin, 2 September 2024 19:22 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler