Peneliti Gerakan Berantas Korupsi (Gebrak), Point of Contact CSO Local Open Government Partnership (OGP) 2020-2022.
Transisi Pemerintahan dan Ancaman Stagnasi
Sabtu, 31 Agustus 2024 07:28 WIBSelama 10 tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi Indonesia cenderung stagnan di angka 5 persen, hal ini menjadi peringatan bagi kita untuk kritis terhadap claim pemerintah yang menyatakan utang negara masih aman.
Oleh: Redi Liana
Sampai tahun 2024, utang Indonesia diposisi Rp8.262 triliun atau 38,79 persen dari PDB. Angka ini oleh pemerintah dianggap sebagai capaian keberhasilan. karenaangkanya turun dibandingkan tahun sebelumnya. Selain itu, rasio utang tersebut juga masih di bawah batas aman yakni 60% dari PDB. Persoalannya, bukan soal utang masih di bawah batas aman, atau jumlah utang yang turun. Akan tetapi, turun atau tidak angkanya, aman atau tidak rasionya, utang tersebut tidak memiliki implikasi positif terhadap laju pertumbuhan ekonomi.
Selama 10 tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi Indonesia cenderung stagnan di angka 5 persen, hal ini menjadi peringatan bagi kita untuk kritis terhadap claim pemerintah yang menyatakan utang negara masih aman. Apakah mungkin situasi demikian dinilai aman, ketika fakta menunjukan pertumbuhan ekonomi selama 10 tahun hanya jalan di tempat. Selain itu, sangat gamblang bagaimana angka pengangguran Indonesia menempati peringkat pertama di ASEAN, tertinggal jauh dari Vietnam.
Situasi demikian bagai anomali, mengingat pemerintah selama ini begitu gencar melakukan pembangunan infrastruktur. Anomali ini semakin terlihat paradoks ketika fenomena Bansos menjadi pemandangan yang sangat akrab di mata publik. Di tengah dalih pembangunan untuk pemerataan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui konsep Indonesianisme, faktanya masyarakat terus menerus dicekoki ikan tanpa pernah diberi kail.
Rentetan fakta-fakta di atas sudah lebih dari cukup untuk mengambil kesimpulan bahwa utang-utang yang ada sebagian besar digunakan untuk pembangunan infrastruktur dan Bansos, celakanya pembangunan infrastruktur dan Bansos yang sangat massif tersebut belum mampu berkontribusi positif terhadap taraf hidup masyarakat. Sehingga di tengah kehidupan masyarakat yang serba susah, tanggung jawab membayar utang negara juga ada di pundak mereka.
Persoalan demikian bisa diurai dan diselesaikan apabila tersedia lapangan kerja yang terbuka dan layak. Sehingga, roda ekonomi dapat bergerak maju melalui aktivitas produktif masyarakat, dengan begitu pemerintah dapat mengambil pendapatan negara dari berbagai macam sektor untuk secara berangsur membayar utang dan menambah anggaran pembangunan tanpa harus utang kembali. Problemnya, lapangan pekerjaan yang dimaksud sangatlah minim bahkan bagi sebagian masyarakat tidak ada sama sekali lapangan kerja tersebut.
Seyogyanya di tengah gencarnya pembangunan infrastruktur melalui utang, pemerintah juga harus tetap fokus untuk mencari solusi bagaimana investasi dapat tumbuh. Karena problem minimnya lapangan kerja hanya dapat diselesaikan apabila investasi tumbuh, sehingga dimungkinkan pula terjadi pertumbuhan struktur ekonomi baru yang berdampak terhadap semakin banyaknya penggerak ekonomi. Dengan begitu, semakin terbuka luas lapangan pekerjaan yang layak untuk masyarakat.
Selama satu dekade ini, secara umum tren investasi juga cenderung turun, apalagi sektor yang oleh banyak kalangan dianggap memberikan dampak positif terhadap kesejahteraan masyarakat yakni sektor industri manufaktur, dari 21 persen pada 2014 hari ini tinggal 18 persen saja dari total seluruh investasi. Dalam segi stuktur ekonomi pun capainnya sangat stagnan, sejak 2014 hingga hari ini struktur ekonomi Indonesia didominasi oleh konsumsi rumah tangga yakni 56 persen dari PDB. Hal ini menunjukan bahwa memang tidak ada inovasi dan transformasi apapun untuk meningkatkan pertumbuhan.
Setidaknya, sampai pada titik ini teranglah bahwa pertumbuhan ekonomi yang terjadi namun stagnan tersebut, sangat bergantung pada peran fiskal. Sementara peran fiskal belum cukup mampu meningkatkan pertumbuhan investasi dan aktivitas produktif lainnya. Hanya selesai pada dua output, yakni pembangunan infrastruktur besar-besaran dan hujan bansos di masyarakat.
Situasi demikian tentu tidak bisa dibiarkan, harus dilakukan terobosan yang lebih progresif terutama oleh pemerintahan yang baru nanti. Apalagi visi presiden terpilih adalah Indonesia Emas 2045, bagaimana mungkin hal itu terwujud apabila masalah fundamental seperti minimnya lapangan pekerjaan saja tidak kunjung usai. Mau tidak mau, pemerintahan ke depan harus mengambil kebijakan-kebijakan yang tidak populis untuk dapat melakukan akselerasi pembangunan yang lebih berdampak positif bagi kesejahteraan masyarakat.
Akan tetapi, pemerintahan yang baru juga perlu hati-hati, mengingat transisi pemerintahan tidak hanya terjadi di level nasional, tapi juga terjadi di level pemerintah daerah. Hal ini semakin menuntut pemerintahan yang baru benar-benar harus bekerja ekstra dalam melakukan akselerasi bahkan melakukan perombakan-perombakan di berbagai macam sektor. Terutama perombakan regulasi dan institusi, hal ini senada dengan studi Bappenas yang berjudul Diagnosis Pertumbuhan Indonesia: Prioritas Strategi Untuk Mendorong Pertumbuhan Ekonomi, dimana pada kesimpulannya regulasi dan institusi merupakan penghambat utama dalam pertumbuhan.
Selain itu, hambatan utama lainnya adalah modal manusia di masa depan. Dunia menghadapi perkembangan menuju ekonomi digital dan manufaktur teknologi tinggi, apabila sumber daya manusia Indonesia masih terbelenggu dengan masalah primernya yakni bagaimana bertahan hidup, tidak mungkin Indonesia sebagai sebuah bangsa mampu menghadapi situasi yang membutuhkan keterampilan tinggi di masa yang akan datang.
Belajar dari fenomena yang belakangan terjadi, dimana hukum selalu dijadikan isntrumen untuk meloloskan kepentingan kekuasaan, maka wajib hukumnya pemerintahan ke depan juga harus jeli dan tegas terhadap perumusan dan penegakan regulasi yang berpotensi menafikan persoalan inti bahkan mungkin ditumpangi kepentingan tertentu.
Lebih lanjut, pendekatan-pendekatan institusionalisme dalam menyelesaikan masalah, terutama terhadap institusi yang berpotensi adanya tumpang tindih kewenangan dan menyebabkan inefisiensi birokrasi harus dengan segera diminimalisir karena dampaknya tidak hanya menambah beban anggaran negara, tetapi juga berpotensi menjadi hambatan terwujudnya pemerintahan yang responsive. Dua hal ini apabila benar-benar dilakukan, dapat berkontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.
Terkahir, pembangunan sumber daya manusia harus menjadi misi prioritas, agar manusia Indonesia mampu bersaing dan memiliki keterampilan tinggi dalam menghadapi perkembangan dunia yang sangat pesat. Mengingat, sampai detik ini angka rata-rata lama sekolah orang Indonesia masih pada posisi 6,7 tahun artinya hanya lulus sekolah dasar.
Sebagai langkah awal untuk pembangunan sumber daya manusia dapat dimulai dari reformasi dan transformasi pada sektor pendidikan dan kesehatan secara serius terutama dalam mengurangi fraud guna peningkatan layanan. Sehingga, apabila hal-hal yang telah disinggung tersebut benar-benar dikerjakan, claim bahwa utang kita masih aman menjadi logis.
Penulis:
Redi Liana, S.IP.
Wakil Koordinator Gerakan Berantas Korupsi (Gebrak), Ketua Bidang Kaderisasi DPP GMNI 2022, Point of Contact CSO Local Open Government Partnership Kabupaten Brebes 2020-2022.
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Transisi Pemerintahan dan Ancaman Stagnasi
Sabtu, 31 Agustus 2024 07:28 WIBJokowi dari Hero to Zero: Gurita Bisnis Anak Jokowi dan Skenario Politik Dinasti
Rabu, 25 Oktober 2023 07:20 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler