Energi Surya Opsinya, Bukan Nuklir

Senin, 2 September 2024 09:59 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Posisinya di wilayah khatulistiwa sangat memungkinkan Indonesia bergantung total pada listrik bertenaga surya. Tidak perlu pembangkit bertenaga nuklir.

Oleh: Purwanto Setiadi

Sistem penunjang kehidupan di bumi, yang biasa disebut planetary boundaries, sedang mengalami erosi dan sangat mungkin kolaps. Karenanya, diperlukan tindakan segera dan cepat untuk mencegah bencana planet. Mengerem hasrat mengejar pertumbuhan ekonomi terus-menerus merupakan langkah yang tak terhindarkan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ada perkecualiannya, memang. Bagi negara-negara yang terbelakang atau yang baru berusaha mengejar ketertinggalan, negara-negara di belahan selatan, masih ada ruang untuk tetap menargetkan pertumbuhan melalui pemanfaatan sumber daya yang dimilikinya. Ruang ini terbuka karena, di negara-negara selatan, unsur-unsur dari sistem penunjang bumi yang telah terdampak akibat eksploitasi berlebihan (overshoot) tidak sama banyaknya dengan di negara-negara utara.

Andaikan ruang itu berlaku bagi ambisi kita untuk menjadi negara yang, secara ekonomi, setara dengan negara-negara maju. Perhatian terhadap isu penting ini mau tak mau jadi makin mendesak: sumber energi alternatif apa yang bisa mendukung.

Untuk merealisasikan apa yang diimajinasikan sebagai Indonesia Emas tersebut pertumbuhan ekonomi harus terus diwujudkan--bukan pertumbuhan yang anteng saja, 5 persen, seperti pada masa pemerintahan sekarang. Masalahnya, demi setiap kenaikan kegiatan ekonomi, konsumsi energi, pemakaian listrik dalam proses produksi, juga akan bertambah. Besar sekali. Dalam hal pemakaian listrik, itu belum termasuk setrum untuk keperluan-keperluan lain.

Dengan jumlah penduduk yang diproyeksikan mencapai 320 juta orang, dan adanya kenaikan kemakmuran, kebutuhan listrik diperkirakan bakal berlipat dari 1,1 MWh per orang per tahun menjadi 10 MWh per orang per tahun. Angka yang diteropong David Firnando Silalahi, peneliti yang sedang menyelesaikan studi doktor di Australian National University, dan kawan-kawan ini akan berganda, menjadi 20 MWh, setelah memperhitungkan keperluan untuk mengelektrifikasikan segala hal. Jadinya, setiap tahun Indonesia perlu setrum kira-kira 6.400 TWh.

Dari mana atau dengan pembangkit jenis apa kebutuhan itu bisa dipenuhi, sementara ada keharusan untuk memensiunkan pembangkit bertenaga uap (berbahan bakar batu bara) atau PLTU terkait dengan komitmen mengurangi emisi gas rumah kaca sesuai Perjanjian Paris, demi mencapai kondisi net zero emission? Karena penggunaan energi terbarukan menjadi keniscayaan, potensi energi terbarukan apa yang ada yang dapat dimanfaatkan dengan skala ekonomis?

Dewan Energi Nasional punya jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan itu: selain pembangkit listrik yang dioperasikan dengan energi terbarukan, Indonesia perlu pembangkit listrik yang memanfaatkan energi baru nuklir (PLTN). Alasannya, angka kebutuhan setrum pada 2040, sebesar 1.600 TWh, melampaui potensi sumber energi terbarukan untuk dapat memenuhinya, yakni 1.390 TWh.

Itu sebabnya PLTN, yang menjadi bagian dari strategi besar energi nasional, dimasukkan dalam pengaturan mengenai energi baru dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan. Ketentuan ini, yang oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral digadang-gadang rampung dibahas dan disahkan pada periode pemerintahan sekarang, telah sejak awal menjadi sasaran kritik dan poin keberatan dari berbagai organisasi masyarakat sipil dan sejumlah akademisi.

Tidak ada pilihan lainkah? Riset David dan kawan-kawan justru menunjukkan hal yang berbeda. Mereka mendapati gambaran yang lebih mengundang optimisme: dengan angka kebutuhan yang jauh lebih besar, kita bisa sepenuhnya bergantung pada energi terbarukan, khususnya energi surya (PLTS). PLTN sama sekali tidak diperlukan.

Elemen terpenting dari gambaran itu adalah letak Indonesia, yakni di wilayah khatulistiwa. Posisi ini menjadikan energi surya lebih unggul dibandingkan sumber energi terbarukan lain, misalnya angin. Di samping sinar matahari berlimpah, iklim khatulistiwa juga berarti variasi permintaan maupun ketersediaan matahari dari waktu ke waktu kecil belaka, sehingga tidak butuh penyimpanan musiman.

Ikut mendukung hal tersebut, Indonesia pun memiliki peluang tak terbatas untuk menempatkan panel surya--diperkiraan jumlahnya miliaran--tanpa menimbulkan masalah lingkungan. Atap rumah atau bangunan gedung bisa memenuhi kebutuhan pada tahap awal. Area bekas tambang diperkirakan dapat mengakomodasi sekitar 500 GW. Realisasi listrik yang lebih besar, 1.000-4.000 GW, bisa diperoleh dengan instalasi panel surya di area pertanian.

Kalaupun tidak di area-area itu, peluang terbesar ada di danau dan, terutama, laut di antara pulau-pulau. Di area dengan kecepatan angin kurang dari 15 m/detik dan tinggi gelombang kurang dari 6 m dalam 40 tahun belakangan ini bisa dihasilkan listrik 500.000 TWh--lebih besar 16 kali ketimbang konsumsi listrik dunia saat ini.

Dan tak kalah pentingnya adalah potensi untuk membangun instalasi penyimpanan listrik yang tidak berbasis baterai--sebab durasi penyimpanan baterai hanya beberapa jam. Dalam praktiknya, penyimpanan dengan baterai memang masih berguna. Tapi untuk kebutuhan jangka panjang, dengan kapasitas berskala besar dan biaya yang jauh lebih murah, juga jaminan kontinuitas arus listrik, ada pumped hydroelectric energy storage (PHES). David memberi contoh PHES yang sedang dibangun di Australia, yang berkapasitas 350 GWh (2,2 GW tenaga listrik). Biayanya US$ 23/kWh, atau sepersepuluh biaya penyimpanan dengan baterai.

PHES adalah teknologi yang memanfaatkan kelebihan listrik untuk memompa air ke waduk di ketinggian, lalu mengalirkannya ke terowongan untuk menggerakkan turbin dan menghasilkan listrik manakala dibutuhkan. Di Indonesia, berdasarkan Global Pumped Hydro Atlas, terdapat ratusan lokasi yang sangat bagus untuk membangun instalasi PHES. Rentang kapasitas instalasi ini antara 5-5.000 GW. Kalau mau dibandingkan, 5.000 GW adalah setara dengan baterai pada 70 juta kendaraan listrik.

Untuk memperoleh perkiraan tentang harga setrumnya, David dan kawan-kawan telah menganalisis skenario Indonesia dengan 100 persen jaringan listrik PLTS--meliputi ketepatan pemenuhan kebutuhan jam-per-jam atas permintaan lebih dari satu dasawarsa, pasokan energi surya, penyimpanan, dan transmisi. Didapatlah perkiraan biaya di tingkat “grosir” US$ 77-102/MWh. Ini angka yang sangat kompetitif dibandingkan alternatifnya, yaitu pembangkit berbahan bakar fosil.

Hal lain yang menarik, pemodelan yang dibuat juga memperlihatkan bahwa menghubungkan semua wilayah di Indonesia dengan kabel tegangan tinggi di bawah laut tidak lebih baik ketimbang kalau wilayah-wilayah yang berbeda mengoperasikan jaringannya sendiri-sendiri. Iklim khatulistiwa, dengan cuaca yang praktis sama di setiap tempat, memungkinkan hal itu.

Saat ini kita menunggu pemerintahan baru, yang akan mulai bertugas setelah pelantikan presiden terpilih pada 20 Oktober. Andaikan pemerintahan itu punya rencana yang lebih baik tentang bagaimana kesejahteraan dan, terutama, kualitas hidup dalam berbagai aspek direalisasikan secara merata dan efektif berdasarkan kue ekonomi yang ada. Dengan pemanfaatan PLTS, harapan untuk tetap dapat mengejar pertumbuhan secara lebih aman dan berkelanjutan, tanpa penggunaan material secara ugal-ugalan, sehingga kerusakan ekologi dapat dihindarkan, masih bisa diwujudkan.

Bagikan Artikel Ini
img-content
purwanto setiadi

...wartawan, penggemar musik, dan pengguna sepeda yang telah ke sana kemari tapi belum ke semua tempat.

3 Pengikut

img-content

Menyoal Fasilitas Parkir Sepeda di Stasiun

Sabtu, 21 September 2024 06:58 WIB
img-content

Menularnya Motonormativity

Jumat, 13 September 2024 12:55 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler











Terkini di Catatan Dari Palmerah

img-content
img-content
img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Catatan Dari Palmerah

img-content
Lihat semua