Terabaikannya HGU IKN

Rabu, 4 September 2024 11:26 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dalam konteks pengadaan tanah untuk pembangunan IKN, apabila merujuk kepada konsepsi tata bumi maka dalam pengimplementasiannya harus memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pembangunan dan kepentingan masyarakat. Bukan semata-mata karena pertimbangan investasi yang berakibat hilangnya manfaat sebesar-besarnya kemakmuran rakyat amanat konstitusi.

Oleh: Rifqi Nuril Huda

Momentum perayaan kemerdekaan sudah berakhir di bulan Agustus 2024 lalu. Kita semua sebagai bangsa Indonesia menjadi sejarah pada acara puncak perayaan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 2024 kemarin sebagai seremonial serta pertanda pindahnya Ibu Kota Negara dari Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta ke Provinsi Kalimantan Timur dengan nama Ibu Kota Nusantara (IKN).

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sajian luar biasa perayaan kemerdekaan baik di IKN dan Istana Merdeka Jakarta memberikan pengalaman baru serta terbesit harapan besar untuk menyongsong Indonesia emas 2045 yang terlihat saat pelaksanaan upacara kemerdekaan yang dilakukan di dua tempat bersamaan dalam satu waktu.

Sangat luar biasa memang dalam perayaan kemerdekaan tahun ini, terutama proses upacara yang berlangsung. Pembangunan IKN dengan proses yang cepat walaupun pada saat pelaksanaan upacara masih belum selesei seratus persen, tapi mampu menyuguhkan komitmen pembangunan IKN yang megah nan indah.

Membuka kembali catatan sejarah rezim presiden yang sedang berkuasa gagasan mengenai pemindahan ibu kota bukan sesuatu yang baru. Bahkan, wacana pemindahan Jakarta sebagai Ibu Kota Negara dimulai semenjak Presiden Soekarno. Melalui pidato-pidato yang disampaikannya, Bung Karno ingin menunjukkan masih banyak kota lain yang patut dimanfaatkan sebagai ibu kota negara. Ini kemudian diwujudkannya dalam bentuk istana negara dibeberapa tempat.

Kemudian masa orde baru era Presiden Soeharto terdapat sebuah ide dan wacana juga untuk memindahkan ibu kota negara menuju Jonggol yang terletak di Kabupaten Bogor. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sempat juga pernah berencana memindahkan ibu kota ke wilayah timur Jakarta, tetapi kemudian tidak ditindaklanjuti.

Gagasan pemindahan ibu kota negara kembali muncul pada pemerintahan yang saat ini memimpin yaitu Presiden Joko Widodo. Jokowi meminta Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) untuk membuat kajiannya pada bulan April 2017.

Kemudian hasil kajian Bappenas itu dibahas dalam sidang kabinet terbatas 29 April 2019 dan dilanjutkan sampai sekarang tahap pembangunan yang luar biasa.

Tetapi, dibalik spektakulernya puncak perayaan kemerdekaan yang suguhkan kepada masyarakat tidak sedikit masalah serius yang dibuat oleh pemerintahan Jokowi kepada rakyat Indonesia terutama di sektor hukum dan kebijakan sumber daya alam untuk mendorong pembangunan IKN.

Seperti Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (UU IKN) serta aturan turunan UU IKN yaitu  Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2023 tentang Pemberian Perizinan Berusaha, Kemudahan Berusaha, dan Fasilitas Penanaman Modal bagi Pelaku Usaha di Ibu Kota Nusantara (PP IKN) dan Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2024 tentang Percepatan Pembangunan IKN (Perpres IKN) .

Banyak kalangan menilai produk hukum tersebut masih jauh dari implementasi partisipasi aktif masyarakat dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Terkesan pembuat aturan dan kebijakan memaksakan upaya untuk memakai produk hukum sebagai baju legalitas untuk melaksanakan pembangunan IKN.

Yang tentunya dari aturan-aturan tersebut payung hukum untuk mengeluarkan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang terhitung sampai saat ini, pembiayaan pembangunan IKN masih didominasi oleh APBN. A

lokasi tersebut pada tahun 2022 senilai Rp 5,5 triliun, kemudian Rp 27 triliun pada tahun 2023. Dengan pagu anggaran sekitar Rp 40 triliun pada 2024, dana APBN yang digunakan untuk membangun IKN akan mencapai lebih dari Rp 72 triliun. Mengacu dari data tersebut, kontribusi APBN dalam pembiayaan IKN sudah mencapai 81 persen.

Menariknya Kebijakan (Beleid) yang terdapat dalam PP IKN maupun Perpres IKN mengatur jangka waktu hak guna usaha (HGU) di atas hak pengelolaan (HPL) Otorita IKN diberikan paling lama 95 tahun dan dapat dilakukan perpanjangan sampai 95 tahun.

Pemberian jangka waktu HGU di IKN yang totalnya mencapai 190 tahun ini berpotensi menjadikan IKN dikuasai bukan oleh negara demi tercapainya investasi.

HGU IKN Tak Kasat Mata

Kebijakan HGU 190 tahun di IKN dengan tujuan mempermudah dan mempercepat investasi pembangunan IKN membuat penulis teringat dalam kondisi permainan Petak Umpet bagi anak-anak desa dimasa kecil.

Permainan petak umpet adalah salah satu jenis permainan di masa kecil yang tentunya tidak asing bagi kebanyakan orang. Permainan ini dimainkan dengan konsep mencari orang yang bersembunyi sekitar lokasi permaina serta bebas asalkan tidak ditemukan.

Bagi si pencari apabila tidak jeli maka orang yang bersembunyi tersebut tidak akan ditemukan. Anekdot akal cerdik yang berkembang bagi anak-anak yang bermain petak umpet adalah “bersembunyi saja di kolong kasur rumah atau di dalam lemari pakaian pasti akan susah ditemukan”

HGU dengan jangka waktu 190 tahun IKN seperti bersembunyi ditengah-tengah kemegahan IKN dan perayaan kemerdekaan. Mirip dengan orang yang sedang mencari objek sembunyi tetapi tidak dapat ditemukan, perlu effort yang tinggi serta kecermatan dalam melihat sudut-sudut permasalahan dibalik pembangunan di IKN.

Dalam proses menulis artikel ini penulis terngiang pidato Presiden Jokowi ”Bau-baunya kolonial selalu saya rasakan setiap hari. Dibayang-bayangi,” Presiden Jokowi kemudian mengatakan, IKN dibangun untuk menunjukkan Indonesia punya kemampuan membangun ibu kota sesuai keinginan bangsa.

Apabila berbicara kolonial, pada masa pendudukan Hindia Belanda di Indonesia Undang-Undang Agraria Kolonial (Agrarische Wet 1870) maksimal memberikan hak kepada investor mengelola perkebunan paling lama 75 tahun.

Apabila dilakukan perbandingan aturan yang berlaku saat masa penjajahan dengan kebijakan aturan IKN dapat dikatan kebijakan tersebut bentuk aturan yang keblabasan dan tidak terlihat dengan jelas permasalahan serius ini dibalik kemegahan IKN saat perayaan kemerdekaan.

Konsep Tata Bumi untuk Tanah IKN

Mengingat kembali spirit kemerdekaan founding father bangsa Indonesia, demi menegakkan kedaulatan bangsa Agrarische Wet dicabut melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Saat UUPA lahir mulai didorong usaha-usaha pembaruan secara paradigmatik politik dan hukum agraria secara fundamental.

Membaca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.21-22/PPU-V/2007 terkait pemberian konsesi sekaligus di muka dalam perkara uji materi Undang-Undang Penanaman Modal, Putusan MK menyatakan dalam amar putusan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945).

MK berpendapat, pemberian hak atas tanah dengan jangka waktu yang sangat lama, serta dapat diperpanjang ataupun diperbarui di muka sekaligus, dapat dikategorikan menghambat negara untuk melakukan pemerataan kesempatan bagi masyarakat untuk memperoleh hak-hak atas tanah secara adil. Dalam hal ini, kewenangan melakukan pemerataan kesempatan mendapatkan hak-hak atas tanah secara lebih adil dan lebih merata jadi terhalang.

Pada saat yang sama, keadaan ini dapat ditafsirkan menghalangi negara dalam memenuhi kewajibannya melaksanakan amanat Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945, yaitu “pemerataan kesempatan untuk menjaga sebesar-besarya kemakmuran rakyat yang dilindungi konstitusi”.

Penulis mengajak kita mengingat gagasan dan pemikiran para pendiri bangsa, khususnya proklamator, Bung Karno berkenaan dengan ide dan pemikiranya tentang pengelolaan Sumber Daya Alam Indonesia yang melimpah. Soekarno mengatakan, “Aku tinggalkan kekayaan alam Indonesia, biar semua negara besar dunia iri dengan Indonesia, dan aku tinggalkan hingga bangsa Indonesia sendiri yang mengolahnya.”

Pakar Hukum Agraria sekaligus penggagas "Hukum Tata Bumi" Universitas Indonesia Supardjo mengatakan “Tata Bumi sebagai perspektif tatanan harmoni alam semesta dan keadilan sosial dalam ranah pemilikan, penguasaan dan penggunaan tanah berangkat dari semangat Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.Pengelolaan/pemanfaatanya perlu dilakukan secara harmoni dengan memperhatikan dua  aspek penting yaitu tatanan sosial dan tatanan ekologi.”

Tata Bumi merujuk kepada kaidah dan aturan terkait pengelolaan bumi termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya berikut melingkupi aspek sosial di dalamnya. Tujuannya adalah menciptakan keseimbangan antara kelestarian lingkungan, pengembangan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat melalui pengelolaan sumber daya alam yang adil, dan bijak.

Dalam konteks pengadaan tanah untuk pembangunan IKN, apabila merujuk kepada konsepsi tata bumi maka dalam pengimplementasiannya harus memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pembangunan dan kepentingan masyarakat. Bukan semata-mata karena pertimbangan investasi yang berakibat hilangnya manfaat sebesar-besarnya kemakmuran rakyat amanat konstitusi.

 

Penulis :

Rifqi Nuril Huda

Email : [email protected]

Instagram : @rifqinurilhuda

Direktur Eksekutif Institute of Energy and Development Studies (IEDS), Mahasiswa Pascasarjana Hukum Sumber Daya Alam Universitas Indonesia,  Ketua Umum Akar Desa Indonesia, Wakil Bendahara Umum DPP GMNI

Bagikan Artikel Ini
img-content
Rifqi Nuril Huda

Penulis Indonesia, Pegiat Desa, Pengamat Energi

0 Pengikut

img-content

Terabaikannya HGU IKN

Rabu, 4 September 2024 11:26 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler