Yang Langka: Keadilan di Jalan

Rabu, 4 September 2024 21:35 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dominasi kendaraan bermotor dan privilese bagi penggunanya telah meniadakan keadilan di jalan. Fungsi jalan sebagai ruang publik yang membuka akses bagi siapa saja perlu dikembalikan.

Oleh: Purwanto Setiadi

Sudah kelewat lama jalan dipahami hanya sebagai prasarana untuk transportasi dan mobilitas. Padahal, sejak semula dalam sejarahnya, ia adalah ruang; ia terutama adalah ruang publik. Terkait dengan hal inilah, dan berdasarkan banyak kajian, akses terhadap jalan merupakan hak atas kota yang paling mendasar.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ruang publik, jika mau didefinisikan, adalah tempat yang terbuka dan siapa saja dalam masyarakat dapat menggunakannya. Ruang ini bisa diibaratkan sebagai ruang keluarga, kebun, dan koridor dari wilayah perkotaan. Di sini interaksi sosial, budaya, dan kegiatan ekonomi, yang berpotensi memperbaiki kualitas hidup masyarakat, dapat berlangsung. Di sini manusia dan pergerakannya lebih utama.

Ada hak, maka ada pula hal ihwal keadilan. Realisasi dari pemenuhan atas hak itulah yang bisa menjadi ukuran adanya, berlakunya, atau diterapkannya asas keadilan terkait dengan pengadaan/pembangunan dan pengalokasian ruang jalan sehari-hari.

Dalam praktiknya, jalan yang memberikan keadilan adalah hal yang bisa dibilang langka. Seperti keberadaan kucing berbulu cokelat.

Sudah seratusan tahun, jika dihitung sejak mobil pribadi (kendaraan bermotor!) mulai merebut jalan dan dianggap sebagai sarana transportasi dan mobilitas yang seakan-akan tak tergantikan, jalan adalah privilese hanya untuk satu kelompok. Dan kelompok itu tiada lain adalah pengguna kendaraan bermotor. Jalan hanya menjadi penghubung antara satu lokasi dan lokasi lain. Dan demi pengguna kendaraan bermotorlah pembangunan, penataan, dan penyelenggaraan jalan dilakukan. Wajah kota jadi berubah, banyak ruang serta bangunan yang jadi hilang atau dimusnahkan, karena penambahan jalan--demi kendaraan bermotor.

Hal itu berlaku pula di negara ini. Pandangan bahwa hanya pengemudi kendaraan bermotor yang berhak menggunakan jalan jadi berakar kuat di benak banyak orang terutama berkat kebijakan yang salah yang menyangkut penyelenggaraan transportasi dan tata ruang. Pemerintah merasa hanya perlu membangun jalan dan memastikannya bisa dilalui pengguna kendaraan bermotor dengan lancar, menyediakan sarana angkutan umum ala kadarnya saja, bahkan setelah membiarkan kota berkembang tak terkendali, mengacaukan tata ruang; dan menyerahkan urusan opsi sarana transportasi dan mobilitas kepada orang per orang.

Bukan hal yang mengherankan bila ada calon gubernur Jakarta yang sampai berkata, “Jangan maksain jalan yang seharusnya bisa lewat mobil, diambil untuk sepeda.” Frasa “seharusnya bisa lewat mobil” adalah pernyataan tentang keadaan yang diklaim sebagai benar: bahwa selain mobil tidak boleh ada kepentingan lain yang mengambil ruang jalan. 

Pernyataan yang ahistoris dan menunjukkan bahwa pengucapnya tidak tahu apa-apa serta ketinggalan zaman itu sebenarnya adalah respons untuk kritik dari seorang calon wakil gubernur Jakarta tentang lebar jalur sepeda yang ada. Menanggapi permintaan agar tidak membongkar jalur sepeda kalau terpilih, pak calon wakil ini berpendapat jalur sepeda saat ini kurang lebar. “Ini bukan jalur sepeda. Ini jalur otoped, kekecilan,” katanya. 

Tentang lebar yang “kekecilan” itu sesungguhnya ada perbedaan bahkan di kalangan pengguna sepeda. Di lain pihak, ada pula yang mendukung “jangan maksain” dari pak calon gubernur. Perdebatan tentang hal ini mungkin relevan. Tapi ia tidak substansial manakala cara pandang terhadap jalan belum berubah; manakala ketidakadilan yang ada tidak juga bisa dilihat, atau disaksikan tapi diabaikan.

Problem perkotaan yang tak bisa terlepas dari ancaman bencana ekologis saat ini telah mengubah pandangan dan arah dari kelanjutan pengembangan kota di banyak tempat di dunia. Kegentingan situasi, keharusan untuk benar-benar mewujudkan prosperous, liveable, and equitable cities, kota yang makmur, layak huni, dan adil, telah mendorong pengelola kota-kota itu mentransformasikan cara pandang lama. Kini manusia, hal-hal yang berkenaan dengan aktivitas dan mobilitasnya, serta relasinya dengan lingkungan dan dengan planet ini, menjadi sentral dari setiap perencanaan.

Dalam hal jalan, transformasi itu menempatkan upaya perwujudan keadilan sebagai hal utama. Ini menjadikan jalan sebagai bagian dari penyediaan ruang publik, yang terintegrasi dalam perencanaan dan pengembangan kota. Akses terhadap jalan dibuka lebar untuk manusia.

Semakin banyak kota yang, misalnya, memilih mengambil kembali sebagian ruang jalan--tempat parkir (on-street parking), lajur, bahkan badan jalan--dan merealokasikannya untuk keperluan-keperluan di luar pelayanan dan peneguhan privilese bagi pengguna kendaraan bermotor. Area bebas polusi, low traffic neighbourhood atau kawasan terbatas untuk kendaraan bermotor, jalan berbayar, angkutan umum yang semakin ekstensif dan bisa diandalkan, transportasi serta mobilitas aktif dengan bersepeda dan jalan kaki, dan lain-lain menjadi kelaziman. 

Ke sanalah seharusnya arah transformasi fungsi jalan dari kota-kota kita. Jakarta perlu menjadi model bagi kota-kota lain. Pemimpin kota yang masih menganut jalan pikiran usang, atau mengakomodasi keinginan-keinginan yang hendak mempertahankan status quo, sebenarnya sama saja dengan membawa kita ke kondisi siapa-kuat-dia-menang yang kian ekstrem, kalaupun bukan bunuh diri massal.

Bagikan Artikel Ini
img-content
purwanto setiadi

...wartawan, penggemar musik, dan pengguna sepeda yang telah ke sana kemari tapi belum ke semua tempat.

3 Pengikut

img-content

Menularnya Motonormativity

Jumat, 13 September 2024 12:55 WIB
img-content

Yang Langka: Keadilan di Jalan

Rabu, 4 September 2024 21:35 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler











Terkini di Catatan Dari Palmerah

img-content
img-content
img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Catatan Dari Palmerah

img-content
Lihat semua