Omnivor

Kamis, 5 September 2024 11:35 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Panorama cerpen, imaji mengurai sel-sel otak agar tetap sehat walafiat. Tak ada pembaca tak ada seni susastra. Jelajah imajinasi. Tak serupa menara gading, akan tetapi tidak terbuat dari gading gajah mati; dibunuh satu persatu setara keji, hal itu perbuatan kelompok manusia tak punya hati.

DONGENG LANGIT.
Sentir layar terkembang cahaya pembuka.
Musik: Metal symphony adegan berkisah.

Celaka betul kesedihan kalau dilimpahkan ke tubuh sendiri, bukan begitu kawan. Alamak, janganlah melengos kawan. Debat tak bertuan takkan selesai. Bagaimana mungkin teror politik bisa jadi boneka tikus di kaki lima. Mungkin sebab trapesium berbanding mirang berkacamata kuda di balik adigang adigung.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

"Kenapa. Tontonan badutan?"
"Setiap hari aku melihatnya."

"Apa pedulimu sedih begitu."
"Membosankan."

Apa ada rujukan keseimbangan tetap pemikiran makhkuk hidup. Apakah makhluk hidup berketetapan sama sebanding sepadan. Bisa jadi demikian, bisa jadi tidak. Kata berulang bersifat jamak repetitif membosankan-menggelikan sekaligus terbelakang. Hah! Oportunis berhidung bola merah dadu.

Ketentuan setara terpuruk malih rupa situs gambar karikatural kritis abongabong berkostum badut; tampil mirip juragan parkiran politis. Jargon arogan manis baru nongol kalau disuruh menabuh genderang perang. Hihihi, peperangan alai pistol air komedi intrik pelintiran. Berkedok kelinci berhati pengerat, kocek penuh pungli alibi.

"Hura hu syalala."
"Taklimat luculucuan."

"Samasekali tidak lucu."
"Basabasi jadul."

Teror hipokrit protagonis berbikini-bertelur teoritis ala filosofis miris, semakin geblek, tak akal pula mengaku diri komedi bangsawan. Padahal komedi rendahan plagiat pula. Bersikeras peranannya amat penting di kancah asosial politis hahaha serupa makan rujak cabe secobek. Huhh! Hahh! Pedas meneror diri sendiri.

Nah, karma bagi hipokrit oportunis, berani mengaku sosok peran pengganti dalam satu perhelatan amat penting. Wajah berdebu serupa politik abalabal tak mampu membaca partitur musik seremonial. Merayakan ketidak mampuan komunikasi antar warna sebab di kanvaskan pesona lebay. Blink! Database raib deh. Cuci tangan yuk ramerame hulala rakatakata jelegur. Jos! Melengos. Wah!

"Retas meretas."
"Rasa sop daging penampakan sayur asem."

"Tunjuk! Bikin rame! Hura! Hah!"
"Wak! Wak! Gung! Sola si do! Ho! Ho! Ho! 

"Dilema. Oh! Dadar gulung."
"Kejebak nasib sendiri."

"Perangkap tikus dalam novel."
"Hahaha dual komedi perilaku."

Nilai seolaholah mahal senantiasa mendongak ke atas enggan menunduk anonim pemerhati strata asosial. Dus! Distabilitas sosial antar lembaga bucin imun obat sakit kepala. Lagilagi pengulangan bentuk dari ide menjadi non-ide alias malas mikir disebabkan tak ada cara menyerong sana-sini dalam gelap.

Waduh! Tralala sorak-sorai hura! Paham atau tidak bodok amat. Bahasa visualnya memang begitu, tak mampu mencari alternatif lebih keren. Sekalipun demi proses penyadaran agar musim kepinding kala sinonim perompak versus bramacorah mengguncang tata kelola perilaku terbalik muncul penggandaan absurd.

Kalau konteks cerita kongkalikong manipulatif memang mboseni. Sebab artikel kritik polusi patgulipat berani menjitak tuyul koplo. Hebat amat kompanyon antar mereka.; Emangnye negeri ini milik moyangmu coy. Hihi tuyul buaya darat berkelamin ganda. Sebagai oknum siluman malih wujud di area terang-temarang tak punya muka.

"Oportunis mengglobal ya kale."
"Alihalih pesulap propaganda-profesional, notabene amatiran."

"Semirip roti bakar dong. Terus?"
"Bengong hipnosis. Gigit jari segudang raib lagi."

"Hahaha,." Keduanya ngakak loncat-loncat.
Serentak. "Kegilaan paling sinting."

"Loh kan kalabendu belum datang."
"Oasis nurani bersih-bersih syak wasangka." 

"Kalau benar begitu mengapa tak ada tempat berteduh."
"Tergantung suasana hati. Katanya sih begitu loh."

Hidup ini tak sekadar bilangan angka, bertambah nol perseribu kali lipat hua la la loncat-loncat ada kucing kencing dalam karung-bersura aum berperilaku serigala. Makhluk dalam karung bergulingan. Suara menghardik meninju menendang memaki seraya meludahi. All in one perilaku buruk tumpah di situ.

"Jreng! Kamu siapa." Diam saja.
"Pandir sekali pertanyaanmu."

"Hah! Ini zaman edan-edanan loh."
"Loh! Ini justru zaman mandi madu."

"Solilokui matisuri."
"Joget yuk!" Musik plak duplak gung! 

"Jarr! Jerr! Jorr!"
"Dar! Der! Dor!" Gambargambar pestapora alibi demokrasi plastik global.

"Perang!"
"Damai!"

"Perang!"
"Perang-perangan. Dor!"

Serentak "Perang boongan hihihi."
Serentak "Diplomasi abalabal."

Perbuatan tak peduli pada suap ha.hi.hu penyebab menyandang gelar suit-suit seiring pernyataan kultural edukatif bergulir dari menara tertinggi hasil menggali milik tanah adat. Tak serupa menara gading, akan tetapi tidak terbuat dari gading gajah mati; dibunuh satu persatu setara keji, hal itu perbuatan kelompok manusia tak punya hati.

***

Jakarta Indonesiana, September 04, 2024.
Salam NKRI Pancasila. Banyak kebaikan setiap hari.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Taufan S. Chandranegara

Penulis Indonesiana

1 Pengikut

img-content

Pesonamu

4 hari lalu
img-content

Repertoar

5 hari lalu

Baca Juga











Artikel Terpopuler











Terpopuler di Fiksi

img-content
img-content
Lihat semua