Artis Ikut Pilkada 2024; Apa yang Dicari?

Jumat, 6 September 2024 17:26 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content12
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kemunculan artis sebagai calon kepala daerah merupakan hasil dari sistem pemilu yang memfasilitasi popularitas sebagai salah satu modal utama. Sistem ini, yang mengutamakan suara terbanyak, memberikan keuntungan signifikan bagi individu yang sudah dikenal luas publik. Artis, dengan basis penggemar yang solid dan eksposur media yang tinggi, menjadi kandidat yang menarik bagi partai politik yang berusaha meningkatkan daya tarik dan dukungan publik mereka.

Oleh: Mugi Muryadi

Fenomena keikutsertaan artis dalam pilkada sebenarnya sudah lama terjadi di Indonesia. Namun, pada Pilkada 2024 ini, perlu menjadi sorotan, terutama dengan meningkatnya keterlibatan artis sebagai calon kepala daerah. Fenomena ini, yang mencerminkan dinamika dalam politik lokal, mengundang perhatian dilihat dari berbagai perspektif. Melalui tulisan singkat ini, penulis membahas sekilas berbagai aspek yang melatarbelakangi fenomena ini dan implikasinya terhadap masyarakat dan sistem politik Indonesia.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kemunculan artis sebagai calon kepala daerah merupakan hasil dari sistem pemilu yang memfasilitasi popularitas sebagai salah satu modal utama. Sistem ini, yang mengutamakan suara terbanyak, memberikan keuntungan signifikan bagi individu yang sudah dikenal luas publik. Artis, dengan basis penggemar yang solid dan eksposur media yang tinggi, menjadi kandidat yang menarik bagi partai politik yang berusaha meningkatkan daya tarik dan dukungan publik mereka.

Menurut data terpublikasi,  sejumlah artis terdaftar sebagai calon kepala daerah pada Pilkada 2024, adalah Krisdayanti, Rano Karno, Gilang Dirga, Ricthie Ismail (Jeje Govinda), Ronal Surapradja, Vicky Shu, Hengki Kurniawan, Sharul Gunawan, Lucky Hakim,  Gita KDI, Ali Syakieb, dan lain-lain. Popularitas mereka di masyarakat Inonesia menjadi aset berharga dalam meraih dukungan suara. Fenomena ini mencerminkan realitas politik Indonesia, yang mana popularitas bisa lebih berpengaruh daripada rekam jejak politik, kompetensi leadership, dan kapasitas administrasi calon.

Munculnya artis dalam bursa Pilkada dapat dilihat sebagai refleksi dari pandangan tentang demokrasi dan representasinya. Teori demokrasi deliberatif, yang menekankan pentingnya diskusi rasional dan pertimbangan publik dalam pembuatan keputusan politik, mungkin merasa terabaikan ketika kandidat utama adalah figur yang dikenal karena ketenaran mereka daripada kapasitas kebijakan mereka.

Filsuf politik seperti Robert Dahl berpendapat bahwa demokrasi yang sehat memerlukan pemilih yang terinformasi dan calon yang kompeten. Namun, jika popularitas artis lebih memengaruhi hasil pemilihan daripada kualitas calon, esensi dari demokrasi deliberatif terabaikan. Ini menimbulkan pertanyaan: Sejauh mana sistem politik kita berfungsi untuk mewakili kepentingan rakyat secara efektif?

Keterlibatan artis dalam politik dapat dihubungkan dengan fenomena "efek pengenalan" yaitu individu lebih cenderung memilih kandidat yang mereka kenal. Sebuah studi oleh Pew Research Center menunjukkan bahwa pemilih lebih sering memilih kandidat yang mereka lihat, yang sering muncul di media social. Hal ini menggarisbawahi peran penting eksposur media dalam proses pemilihan.

Artis yang telah membangun citra publik yang positif dan memiliki koneksi emosional dengan penggemar mereka dapat memanfaatkan hal ini untuk mempengaruhi keputusan pemilih. Hal ini juga menunjukkan bagaimana media dan publik figur dapat membentuk opini politik dan preferensi pemilih, yang pada gilirannya dapat mengubah cara masyarakat berinteraksi dengan politik dan calon mereka.

Dari perspektif moral, fenomena ini menimbulkan pertanyaan tentang etika pemilihan dan tanggung jawab calon. Jika calon kepala daerah lebih dikenal karena ketenaran daripada keterampilan atau pengalaman politik, ada risiko bahwa kepentingan publik dapat terabaikan. Artis yang beralih ke politik mungkin memiliki niat baik, tetapi apakah mereka memiliki kapasitas untuk memahami dan menangani isu-isu kompleks yang dihadapi oleh masyarakat lokal?

Masalah ini berkaitan dengan tanggung jawab moral seorang calon untuk melayani publik dengan penuh integritas, professional, dan kompetensi. Sebuah survei oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menunjukkan bahwa tingkat kepuasan publik terhadap kinerja politik artis cenderung lebih rendah dibandingkan dengan politisi yang memiliki rekam jejak panjang dalam dunia politik. Ini menekankan perlunya evaluasi mendalam terhadap kualitas kandidat, bukan hanya berdasarkan popularitas mereka.

Evaluasi kinerja calon kepala daerah dari kalangan artis menjadi aspek penting dalam menilai implikasi fenomena ini. Data kinerja dari artis yang sebelumnya terpilih sebagai anggota legislatif menunjukkan bahwa ada yang mengalami kesulitan dalam memenuhi ekspektasi sebagai pembuat kebijakan.

Hal ini menggarisbawahi kebutuhan untuk memperhatikan tidak hanya profil publik calon, tetapi juga keterampilan dan kapabilitas mereka dalam menghadapi tantangan pemerintahan. Kinerja politik artis dalam konteks ini sering kali tidak memenuhi harapan masyarakat yang menginginkan solusi konkret dan tindakan nyata dari pemimpin mereka.

Dampak jangka panjang dari keterlibatan artis dalam politik dapat mempengaruhi dinamika politik lokal dan nasional. Jika partai politik terus-menerus mengandalkan popularitas artis untuk meraih kemenangan, ini dapat menyebabkan penurunan dalam kualitas kaderisasi politik dan pengembangan politik yang baik. Proses kaderisasi yang kuat dan berkualitas sangat penting untuk memastikan bahwa calon legislatif tidak hanya memiliki ketenaran tetapi juga kemampuan yang diperlukan untuk menjalankan tugas dan kewajiban mereka secara efektif.

Popularitas artis sebagai calon kepala daerah mencerminkan pergeseran dalam dinamika politik. Di sini media dan citra publik memainkan peran penting. Namun, ada risiko signifikan jika keterampilan dan kompetensi politik tidak diprioritaskan. Syamsudin Haris dari LIPI, jug pernah mengungkapkan bahwa fenomena ini mencerminkan kegagalan kaderisasi di partai politik, yang mana para kader yang sudah lama berjuang di tingkat akar rumput sering kali tersisih demi kepentingan artis. Ini dapat melemahkan struktur dan integritas partai politik dalam jangka panjang.

Penting bagi masyarakat dan partai politik untuk memastikan bahwa pemilihan calon kepala daerah dilakukan dengan pertimbangan bijaksana tentang kapabilitas mereka untuk memenuhi kebutuhan dan harapan masyarakat. Sementara artis dapat membawa daya tarik media dan perhatian publik, kualitas dan kesiapan mereka untuk menghadapi tantangan politik harus menjadi fokus utama dalam proses pemilihan.

Melalui evaluasi yang lebih ketat dan proses kaderisasi yang lebih baik, diharapkan politik Indonesia dapat menghasilkan pemimpin yang tidak hanya terkenal, tetapi juga kompeten dan berdedikasi untuk melayani kepentingan publik demi kamajuan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik. Semoga.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Mugi Muryadi

Penggiat literasi dan penikmat kopi pahit

53 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler