Suka mendengarkan, Kagum - Mengagumi!\xd\xd Unu, Atoin Meto\xd\xd Palate!

Kopi dan Sepasang Kekasih

Sabtu, 7 September 2024 08:03 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Hanya ada dua suara yang dominan. Suara pasrah kedua insan dan nyanyian syukur yang ada dalam hati. Aku lekas beranjak dari kursi kayu yang sudah panas. Sedang keduanya masih bertahan setia pada posisi masing-masing. Bisa jadi mereka menunggu hingga datangnya pagi sambil mengamini bahwa kopi itu nyata hitam.\xd\xd \xd\xd *Oleh: Mas De*

Oleh: Mas De

Pada suatu musim, persis di depan mata duduk sepasang kekasih. Mereka menunggu datangnya malam. Aku yang sudah lebih dahulu menempati kedai itu hanya tersenyum memandangi keduanya. Malam kian larut, mereka dibuat gelap dengan kopi hitam, sedangkan aku tetap meminum kopi kesendirian. Waktu berlalu dan keduanya masih bekerja mencari ampas yang menempel di garis bibir. Si pria membelai rambut usia, sedang yang lain memecah jerawat kesakitan.

Lagu-lagu ala kedai mengiringi waktu yang hampa. Seolah mengajak tiap insan yang mendengar ‘tuk mendaki bukit awan. Di sudut kedai, rasa kagum spontan muncul. Mereka membuatku berdecak kagum. Tontonan yang sukar dijelaskan dengan kata, tapi fakta. Dan memang bisa jadi keduanya sengaja agar membuat orang selalu kagum! Kagum akan ungkapan cinta mendalam.

“Masalah ampas yang tak penting saja diperhatikan, apalagi hal-hal besar bisa dipastikan beres!”, begitu gumamku dalam harap.

Seiring usia berjalan, aku dan kalian bisa memahami bahwa ketulusan cinta datang dari hal-hal sederhana. Yang kecil menuju hal besar. Yang biasa kemudian jadi luar biasa. Lalu berlanjut kepada keseriusan yang total. Saling menerima, lagi memahami. Meski ada sakit-derita, toh kalau tidak bisa pecahkan, maka ambil jeda sesaat . . ., kemudian kembali bersua. Apa sesederhana itu?

Malam klasik. Malam yang tak hilang, sampai ujung waktu. Kembali lagi kepada kehangatan dua insan tadi. Mereka berdua terlihat berlomba tersenyum, seolah-olah ingin menunjuk aku jadi juri tentang senyum siapa yang paling tulus. Selang tiga seruput kopi, mood mereka menjadi lebih baik, tiga kali lipat lebih baik dari aku.

Sepintas lalu, aku melihat di ujung bibir basah komat-kamit kepanasan. Segala jenis memori yang ada dalam sanubari mulai dibongkar satu demi satu. Semacam doa tanpa syarat yang tumpah dari bibir lalu bermuara pada hati siap menampung segalanya. Doa itu mengalir deras diiringi kepasrahan diri. Sepintas terdengar doa memohon restu cinta dan hidup yang bahagia.

Bersama malam yang tak lagi sama, aku dan kalian bisa memahami bahwa tak ada yang sungguh mulia selain ketulusan dan kepasrahan. Dalam ‘kepusingan hidup’ apa saja, entah itu kerja, cinta maupun iman: segalanya butuh ketulusan dan kepasrahan diri. Usaha saat ini ialah boleh meluangkan waktu untuk sungguh-sungguh tulus terbuka.

Masih di kedai ditemani malam klasik. Persis pada tegukkan kelima, mereka terhenyak kaget. Pikiran dan hati mereka dikejutkan dengan sakit dan derita. Tentang sakit dan derita, keduanya tersenyum sambil terbuka membayangkan rasanya seperti apa. Sedih, cemas, ragu, dan pun putus asa? segalanya bercampur aduk di dalam cangkir kopi malam itu. Makin lama merasa, mereka tertawa lepas.

Aku yang sedari tadi mengidamkan mereka ikut tertawa sendiri dalam hati. Mereka sungguh-sungguh merasakan tertawa! Mereka menertawakan sakit yang datang tak diundang. Mereka menertawakan derita tanpa ujung. Konon, dengan menertawakan sakit dan derita hidup, mereka bisa menurunkan tensi sakit dan menyederhanakan derita hidup.

Bersama hidup, aku dan kalian bisa merasakan bahwa tak ada yang dapat luput dari sakit dan derita. Hari kemarin aku dan kalian tampil dalam keadaan yang sempurna, tetapi tak ada yang menyangka kalau hari ini aku dan kalian sedang berusaha meminimalisir sakit yang sedang mendera. Malam-malam ini, sakit dan derita bisa ditertawakan. Dengan itu, aku dan kalian setidaknya bisa meredahkan sakit maupun derita hidup.

. . . . .

Malam makin larut. Suasana kedai kopi makin sunyi mencekam. Hanya ada dua suara yang dominan. Suara pasrah kedua insan dan nyanyian syukur yang ada dalam hati. Aku lekas beranjak dari kursi kayu yang sudah panas. Sedang keduanya masih bertahan setia pada posisi masing-masing. Bisa jadi mereka menunggu hingga datangnya pagi sambil mengamini bahwa kopi itu nyata hitam.

“Kesetiaan ini janganlah cepat luntur”, bisikku menguatkan kesunyian.

Lalu, aku pergi keluar tanpa berbalik dan mencari sumber terang malam itu di wajah bulan.

(kedai kopi SBB, 2024)

-  -  -

Bagikan Artikel Ini
img-content
Mas De

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Kopi dan Sepasang Kekasih

Sabtu, 7 September 2024 08:03 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler