Warga Negara Indonesia, Pembaca Buku, Penonton Film, Pendengar Musik, Pemain Games, Penikmat Kopi, Senang Tertawa, Suka Berimajinasi, Kadang Merenung, Mengolah Pikir, Kerap Hanyut Dalam Khayalan, Mengutamakan Logika, Kadang Emosi Juga, Mudah Menyesuaikan Diri Dengan Lingkungan, Kadang Bimbang, Kadang Ragu, Kadang Pikiran Sehat, Kadang Realistis, Kadang Ngawur, Kondisi Ekonomi Biasa-Biasa Saja, Senang Berkorban, Kadang Juga Sering Merepotkan, Sering Ngobrol Politik, Senang Dengan Gagasan-Gagasan, Mudah Bergaul Dengan Siapa Saja, Namun Juga Sering Curiga Dengan Siapa Saja, Ingin Selalu Bebas, Merdeka Dari Campur Tangan Orang Lain. Kontak : 08992611956

Pemburu dalam Kegelapan

Minggu, 8 September 2024 10:48 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content1
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Satu minggu sebelum Arga menghilang, desas-desus tentang kemunculan makhluk misterius di hutan mulai terdengar. Makhluk itu digambarkan sebagai sesuatu yang lebih besar dari serigala, dengan mata merah menyala yang memancarkan aura kematian.

Oleh: Ervan Yuhenda

Malam mulai menyelimuti desa kecil di pinggiran hutan Serigala, hutan yang dikenal oleh penduduk sekitar sebagai tempat terlarang. Banyak kisah menyeramkan yang beredar tentang hutan itu, tentang bayangan-bayangan aneh yang muncul dari kegelapan dan suara-suara yang bergema di tengah malam. Namun, tak ada yang lebih terkenal dari kisah pemburu yang hilang, kisah Arga.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Arga dikenal sebagai pemburu terbaik di desa itu. Sejak muda, ia telah menaklukkan banyak binatang buas, dari serigala liar hingga harimau yang sering memangsa ternak warga. Keahliannya dalam berburu telah membuatnya dihormati dan ditakuti oleh banyak orang. Namun, tak seorang pun tahu bahwa Arga menyimpan ambisi besar yang melampaui sekadar berburu hewan liar. Dia menginginkan sesuatu yang lebih, sesuatu yang dapat membuktikan bahwa dirinya adalah pemburu sejati, yang mampu menghadapi segala tantangan, termasuk kegelapan hutan Serigala yang terkenal angker.

Satu minggu sebelum Arga menghilang, desas-desus tentang kemunculan makhluk misterius di hutan mulai terdengar. Makhluk itu digambarkan sebagai sesuatu yang lebih besar dari serigala, dengan mata merah menyala yang memancarkan aura kematian. Beberapa penduduk desa mengaku melihatnya dari kejauhan saat mereka tak sengaja mendekati batas hutan, sementara yang lain mendengar geraman mengerikan yang membuat bulu kuduk mereka meremang.

Arga, yang saat itu sedang berada di kedai bersama beberapa temannya, hanya tertawa mendengar cerita tersebut. “Makhluk seperti itu hanyalah takhayul,” katanya, meminum birnya dengan santai. “Tidak ada yang lebih berbahaya dari serigala di hutan itu, dan serigala bukanlah lawan bagi pemburu sepertiku.”

Namun, dalam hati, Arga merasa tertantang. Ia selalu mendambakan petualangan yang lebih menantang daripada sekadar berburu hewan biasa. Kematian adalah risiko yang selalu ia hadapi, tapi ia juga selalu berhasil keluar sebagai pemenang. Kisah makhluk misterius itu baginya adalah undangan, sebuah peluang untuk membuktikan bahwa ia adalah pemburu terbaik.

Maka, tanpa sepengetahuan siapa pun, Arga memutuskan untuk pergi ke hutan Serigala pada malam hari, waktu di mana makhluk itu dikabarkan sering muncul. Ia mempersiapkan diri dengan senapan terbaiknya, pisau berburu yang tajam, serta perbekalan yang cukup untuk bertahan beberapa hari di dalam hutan. Ia tahu bahwa misinya kali ini tidak seperti biasanya, tapi tekadnya sudah bulat. Ia akan membuktikan bahwa ia bisa menangkap atau membunuh makhluk misterius itu.

Malam yang ditunggu akhirnya tiba. Arga berangkat saat senja mulai turun, meninggalkan desanya yang perlahan-lahan diselimuti kegelapan. Hutan Serigala terletak beberapa kilometer di luar desa, dan Arga menempuh perjalanan dengan tenang, tanpa tergesa-gesa. Suasana hutan mulai terasa saat ia memasuki area yang lebih rimbun, di mana suara angin yang berdesir di antara pepohonan menjadi satu-satunya suara yang menemani langkah kakinya.

Seiring berjalannya waktu, hutan semakin pekat oleh kegelapan. Arga berhenti sejenak, menyalakan lentera yang dibawanya, dan melanjutkan perjalanannya lebih dalam ke jantung hutan. Ia tahu betul bahwa hutan ini tidak seperti hutan lain yang pernah ia jelajahi. Suasananya begitu sunyi, seakan-akan kehidupan telah meninggalkan tempat ini. Tidak ada suara burung malam, tidak ada desiran daun yang terganggu oleh binatang kecil. Hanya ada kesunyian yang mencekam.

Ketika malam semakin larut, Arga merasakan hawa dingin yang menusuk tulang. Ia membungkus tubuhnya dengan jaket tebal yang dibawanya, namun rasa dingin itu tidak hanya berasal dari suhu udara. Ada sesuatu yang lebih dalam, yang membuat setiap helaan napasnya terasa berat. Meskipun begitu, Arga tidak mundur. Dia telah sampai terlalu jauh untuk kembali.

Tiba-tiba, di tengah keheningan, terdengar suara ranting patah. Arga langsung berhenti, menajamkan pendengarannya. Suara itu datang dari arah belakangnya, seolah ada sesuatu yang mengikutinya. Dengan sigap, ia mematikan lentera dan bersembunyi di balik semak-semak, sambil meraih senapan di punggungnya.

Namun, ketika ia menoleh, tidak ada apa-apa. Hanya kegelapan yang menyelimuti sekelilingnya. Arga menunggu beberapa saat, memastikan bahwa tidak ada yang membuntutinya. Tapi, saat ia bersiap untuk melanjutkan perjalanan, suara itu terdengar lagi, kali ini lebih dekat. Jantung Arga mulai berdegup kencang. Ada sesuatu di sana, sesuatu yang tidak bisa dilihatnya, tapi bisa dirasakannya.

Dengan perlahan, Arga bangkit dan melangkah maju, namun kali ini, ia lebih waspada. Setiap langkahnya terasa berat, seolah-olah ia sedang diawasi. Bayangan pepohonan di sekitarnya bergerak seiring dengan langkahnya, menciptakan ilusi yang membuatnya merasa terjebak dalam perangkap kegelapan.

Beberapa meter di depannya, Arga melihat sesuatu yang membuatnya berhenti. Di antara pepohonan, ia melihat sepasang mata merah menyala yang menatapnya dengan tajam. Mata itu memancarkan kebencian yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Arga merasa seluruh tubuhnya membeku, seolah-olah waktu berhenti sejenak.

Sosok itu mulai bergerak maju, memperlihatkan tubuh besar yang tertutupi bulu hitam legam. Tubuhnya tampak seperti serigala, namun jauh lebih besar, dengan taring yang menyembul dari mulutnya yang menggeram. Makhluk itu bukan hanya binatang buas, melainkan sesuatu yang lahir dari kegelapan, dari mimpi buruk yang menjadi nyata.

Arga merasakan ketakutan yang luar biasa, namun sebagai seorang pemburu, ia tidak akan menyerah begitu saja. Dengan cepat, ia mengangkat senapannya dan menembak ke arah makhluk itu. Kilatan api dari senapan menerangi hutan sejenak, namun ketika cahaya itu menghilang, makhluk itu sudah tidak ada lagi di tempatnya. Hanya kegelapan yang tersisa, dan suara geraman rendah yang bergema di udara.

Arga merasa bingung. Bagaimana mungkin makhluk sebesar itu menghilang dalam sekejap? Ia berusaha mencari jejaknya, namun tidak menemukan apa-apa. Tanah di sekitarnya bersih, tidak ada bekas kaki atau darah. Seolah-olah makhluk itu hanyalah bayangan yang muncul dan menghilang tanpa jejak.

Namun, sebelum ia sempat memikirkan lebih jauh, suara langkah berat terdengar di belakangnya. Arga berbalik dan melihat makhluk itu kembali, kali ini lebih dekat. Dengan cepat, ia mencoba menembak lagi, namun makhluk itu menghilang sebelum pelurunya melesat.

Arga kini benar-benar merasa terpojok. Dia tahu bahwa dia berhadapan dengan sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan logika. Makhluk itu bermain-main dengannya, mengintai dari kegelapan, menunggu saat yang tepat untuk menyerang. Arga mencoba untuk tetap tenang, tapi ketakutan mulai merayap ke dalam pikirannya. Dia tidak tahu bagaimana cara melawan sesuatu yang bisa menghilang dan muncul kembali sesuka hati.

Makhluk itu muncul lagi, kali ini dari samping. Arga merasakan tubuhnya membeku saat ia melihatnya, namun dengan sisa keberaniannya, ia menembak sekali lagi. Tapi hasilnya sama, makhluk itu menghilang sekejap sebelum peluru mengenainya.

Arga terjatuh ke tanah, peluh dingin membasahi tubuhnya. Dia merasa putus asa, terjebak dalam permainan kucing dan tikus yang mengerikan. Setiap kali makhluk itu muncul, Arga merasa seolah-olah kematian sudah di ambang pintu. Namun, dia tidak akan menyerah begitu saja. Dia harus menemukan cara untuk melawan balik.

Dengan napas terengah-engah, Arga mencoba memikirkan rencana. Dia menyadari bahwa makhluk itu selalu muncul dari bayangan, menggunakan kegelapan sebagai perisainya. Jika dia bisa menemukan cara untuk menerangi area di sekitarnya, mungkin dia bisa memaksa makhluk itu keluar dari persembunyiannya.

Arga meraih lentera yang tadi ia padamkan dan menyalakannya kembali. Cahaya lentera menyinari sekelilingnya, namun kegelapan hutan terlalu pekat untuk diterangi sepenuhnya. Dia butuh lebih banyak cahaya, sesuatu yang lebih kuat.

Tiba-tiba, Arga teringat akan sesuatu. Di dalam ranselnya, ia membawa beberapa botol minyak untuk mengisi lentera. Dia memutuskan untuk membuat jebakan. Dengan cepat, ia menuangkan minyak di tanah, membentuk lingkaran di sekeliling tempatnya berdiri. Dia menyalakan api dengan batang kayu, dan dalam hitungan detik, api menyala, menciptakan lingkaran cahaya yang memisahkannya dari kegelapan.

Namun, tidak ada waktu untuk merayakan. Makhluk itu muncul lagi, kali ini dari balik pepohonan di luar lingkaran api. Arga menatapnya dengan mata penuh ketegangan. Makhluk itu tampak marah, matanya yang merah menyala menatap Arga dengan kebencian yang tak terlukiskan.

Dengan keberanian yang tersisa, Arga menodongkan senapannya sekali lagi. Tapi, sebelum dia sempat menarik pelatuk, makhluk itu menerjang ke arah lingkaran api, menerobosnya dengan mudah. Arga terkejut melihat makhluk itu tidak terganggu oleh api yang menyala. Ia mencoba menembak, namun kali ini makhluk itu terlalu cepat. Dalam sekejap, makhluk itu sudah berada di depannya, mencakar senapan dari tangannya dengan kekuatan yang luar biasa.

Arga terlempar ke tanah, senapannya jatuh beberapa meter dari jangkauannya. Ia merasa nyawanya berada di ujung tanduk, namun naluri bertahannya membuatnya terus berjuang. Dengan cepat, ia meraih pisau berburu di pinggangnya dan bersiap untuk bertarung sampai akhir.

Makhluk itu mendekat dengan geraman mengerikan, taringnya yang tajam berkilauan di bawah sinar api. Arga tahu bahwa ini adalah saat yang menentukan, hidup atau mati. Dengan segenap kekuatannya, ia mengayunkan pisaunya ke arah makhluk itu. Namun, makhluk itu menghindar dengan lincah, dan dengan cakar yang besar, makhluk itu menyerang balik.

Cakaran itu menghantam lengan Arga, membuatnya menjerit kesakitan. Tapi dia tidak berhenti. Dengan cepat, dia menusukkan pisaunya ke arah makhluk itu lagi, kali ini mengenai bahunya. Makhluk itu mengaum kesakitan dan mundur beberapa langkah, darah hitam mengalir dari lukanya.

Arga tahu bahwa ini adalah kesempatan terakhirnya. Dia harus memanfaatkan momen ini sebelum makhluk itu menyerang lagi. Dengan seluruh kekuatan yang tersisa, dia bangkit dan berlari menuju senapannya yang terjatuh. Tapi sebelum dia sempat meraihnya, makhluk itu sudah kembali, lebih marah dari sebelumnya.

Dengan cepat, makhluk itu menerjang Arga, menjatuhkannya ke tanah. Arga berusaha melawan, tapi cakar makhluk itu menancap dalam di dadanya, membuatnya merasakan sakit yang tak tertahankan. Dunia di sekitarnya mulai memudar, dan Arga tahu bahwa dia tidak akan bertahan lama.

Namun, di saat-saat terakhirnya, Arga melihat sesuatu yang aneh. Mata makhluk itu berubah, dari merah menyala menjadi abu-abu, seolah-olah kehidupan sedang menghilang dari tubuhnya. Makhluk itu tiba-tiba berhenti menyerang, dan dengan suara yang rendah dan serak, ia berbisik di telinga Arga.

“Pemburu… kau bukan yang pertama, dan kau bukan yang terakhir. Aku adalah bayangan, lahir dari ketakutan yang tersembunyi dalam setiap jiwa. Kau telah menantang kegelapan, dan sekarang, kau akan menjadi bagian darinya.”

Kata-kata itu adalah hal terakhir yang Arga dengar sebelum kegelapan menelannya sepenuhnya. Dunia di sekitarnya hilang, dan dia merasa dirinya jatuh ke dalam kekosongan yang tak berujung.

Pagi harinya, penduduk desa menemukan hutan Serigala dalam keadaan yang tidak biasa. Lingkaran api yang sudah padam masih tampak di antara pepohonan, dengan jejak-jejak darah di tanah. Namun, tidak ada tanda-tanda keberadaan Arga atau makhluk yang dikisahkan. Hanya senapan Arga yang tergeletak di tanah, dengan pisau berburu yang masih menancap di lumpur.

Penduduk desa tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi malam itu, namun mereka merasa ada sesuatu yang berubah. Hutan Serigala kini menjadi lebih sunyi dari sebelumnya, seolah-olah telah kehilangan satu bagian dari misteri yang selama ini menyelimutinya. Namun, di balik sunyi itu, ada perasaan yang mencekam, seakan-akan hutan itu menyimpan rahasia yang tidak boleh diganggu gugat.

Kisah Arga menjadi legenda di desa itu, diceritakan dari generasi ke generasi. Orang-orang berbicara tentang pemburu pemberani yang menghilang dalam kegelapan, dan tentang makhluk misterius yang menjaga hutan Serigala. Tapi tidak ada yang berani menguji kebenaran kisah itu, tidak ada yang cukup berani untuk masuk ke dalam hutan saat malam tiba. Karena mereka tahu, dalam kegelapan hutan itu, pemburu bisa menjadi yang diburu. Dan kegelapan tidak pernah benar-benar pergi, hanya menunggu saat yang tepat untuk kembali.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Ervan Yuhenda

Berani Beropini Santun Mengkritisi

5 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler











Terpopuler di Fiksi

img-content
Lihat semua