Coblos Semua Bukan Cara Efektif Melawan Dominasi Kekuasaan
Senin, 9 September 2024 09:21 WIBDalam konteks Pilgub Jakarta niat dan saling mengajak coblos semua di antara sesama pemilih ini lahir dari kekecewaan massif yang dipicu oleh gagalnya Anies maju di satu sisi, sekaligus munculnya figur Pramono Anung di sisi lain, yang dianggap bukan sosok yang dikehendaki warga Jakarta.
Oleh: Agus Sutisna
Fenomena menarik berkembang di ruang publik pasca gagalnya Anies Baswedan maju di Pilgub Jakarta dan Jawa Barat. Yakni niat dan saling mengajakl diantara sesama netizen untuk mencoblos semua pasangan calon.
Dalam konteks Pilgub Jakarta niat dan saling mengajak “coblos semua” di antara sesama pemilih ini lahir dari kekecewaan massif yang dipicu oleh gagalnya Anies maju di satu sisi, sekaligus munculnya figur Pramono Anung di sisi lain, yang dianggap bukan sosok yang dikehendaki warga Jakarta.
Bagi para pendukung fanatik Anies yang berharap PDIP mau mengusungnya di Pilgub Jakarta, fakta gagalnya Anies dan munculnya Pramono sama sekali tidak bisa dimaklumi. Bagi mereka Anies adalah keniscayaan buat Jakarta. Mereka lupa, bahwa otoritas pengusungan ada di tangan elit partai, bukan di Ketua Ormas atau paguyuban warga.
Sementara bagi warga Jakarta yang menghendaki adanya perlawanan terhadap dominasi KIM Plus tetapi bukan massa fanatik Anies, kegagalan Anies bisa dimaklumi karena berbagai alasan. Bagi mereka, keniscayaan bukan ada pada sosok Aniesnya. Melainkan pada ide dan semangat perlawanan atas hegemoni kelompok politik yang saat ini sedang berada di atas angin kekuasaan.
Maka Anies boleh gagal, tetapi sosok alternatifnya haruslah merupakan bagian dari ikon perlawanan yang lebih kurang harus setara dan serupa Anies. Sosok ikonik perlawanan yang setara dan serupa Anies ini adalah Ahok. Bukan Pramono Anung. Perihal figur Rano sebagai Cawagub pendampingnya nyaris tidak banyak dipersoalkan oleh warga Jakarta. Bang Doel silahkan maju, tapi pendampingnya haruslah diantara Anies dan Ahok.
Sayangnya, lagi-lagi mereka lupa, bahwa otoritas dan keputusan final pengusungan ada di tangan elit partai, bukan di tangan Ketua Ormas atau paguyuban warga, apalagi berdasarkan mimpinya Babeh Sabeni.
Kembali ke isu “coblos semua.” Saya membaca niat dan ajakan “coblos semua” paslon di Pilgub Jakarta itu berasal dari dua kelompok warga Jakarta (dan mendapat sokongan publik luar Jakarta yang sudah kehilangan kepercayaan terhadap elit-elit partai) tersebut. Yakni pendukung fanatik Anies dan pendukung militan ide perlawanan.
Tidak Berguna, Tidak Efektif
“Coblos semua.” Artinya para pemilih datang ke TPS pada hari dan tanggal pemungutan suara. Tetapi dengan sadar semua gambar paslon pada lembar surat suara itu dicoblos. Cara mencoblos yang demikian akibatnya fatal, karena coblosan termasuk dalam kategori surat suara tidak sah lantaran mencoblos lebih dari satu kali pada gambar paslon yang berbeda.
Jika kampanye “coblos semua” itu berhasil pada waktunya nanti bisa dipastikan akan sangat banyak surat suara yang tidak sah. Tetapi sebagai bentuk artikulasi perlawanan, perilaku “coblos semua” sesungguhnya bukan cara yang efektif sekurang-kurangnya karena dua alasan berikut.
Pertama, surat suara tidak sah tetap dihitung sebagai bentuk partisipasi pemilih. Karena surat suara itu terbukti diberikan kepada pemilih yang datang ke TPS dan digunakan meski dengan cara yang salah. Jadi ukuran partisipasi pemilih bukan sah atau tidak sahnya surat suara, melainkan datang dan memberikan suara atau tidak memberikan suara.
Padahal tingkat partisipasi pemilih merupakan salah satu aspek penting untuk mengukur suatu Pemilu atau Pilkada dikategorikan baik dan berhasil atau buruk bahkan gagal. Semakin tinggi tingkat partisipasi pemilih semakin baik dan dinilai berhasil penyelenggaraan Pemilu, dan demikian sebaliknya.
Itulah sebabnya, para pihak yang berkepentingan langsung dengan perhelatan Pilkada (KPU sebagai penyelenggara, partai politik dan paslon, juga pemerintah) sebagai sarana merotasi kepemimpinan politik daerah selalu berupaya keras agar tingkat partisipasi pemilih tinggi.
Secara politik tingkat partisipasi pemilih itu berkaitan erat dengan nilai legitimasi politik karena kepercayaan publik terhadap Pemilu atau Pilkada sebagai sarana merotasi kepemimpinan dan memperbarui legitimasi politiknya. Tingkat partisipasi pemilih yang tinggi dianggap mewakili tingkat kepercayaan publik terhadap proses politik (Pilkada), dan demikian sebaliknya.
Kedua, surat suara yang tidak sah karena dengan sadar dicoblos semua sama saja nilainya dengan surat suara tidak sah karena kesalahan teknis dalam mencoblos. Misalnya mencoblos di luar gambar paslon yang kerap dilakukan oleh pemilih yang kurang memahami cara memberikan suara yang benar menurut ketentuan. Jadi tidak bisa dibedakan mana coblosan salah yang dilakukan dengan sengaja sebagai bentuk perlawanan dan mana yang terjadi karena ketidakfahaman pemilih.
Ringkasnya, perilaku “coblos semua” paslon sebagai bentuk perlawanan atau protes politik warga sama sekali tidak berguna. Tidak ada manfaatnya kecuali sekedar jalan untuk menumpahkan kekesalan atau kekecewaan politik belaka. Atau, yang mungkin sedikit lebih berguna adalah sekedar “menjaga kesehatan mental” politik saja.
Berbeda misalnya, tanpa bermaksud mengajak atau menganjurkan, dengan tidak datang ke TPS alias tidak mencoblos. Atau yang lazim dikenal dengan istilah Golput, “Golongan Putih”. Berbeda dengan “coblos semua” paslon, ketidakhadiran pemilih ke TPS (apapun alasannya) akan memengaruhi secara signifikan tingkat partisipasi pemilih.
Melawan dengan Cara Memilih
Oleh karena “coblos semua” paslon bukanlah cara yang efektif dan nyaris tidak ada gunanya sebagai bentuk perlawanan politik, maka hemat saya niat dan ajakan “coblos semua” sebaiknya diabaikan. Tetapi juga jangan kemudian memilih jalan Golput, memilih tidak datang ke TPS dan tidak memberikan suara.
Tetaplah datang ke TPS dan memberikan suara dengan benar sesuai ketentuan perundang-undangan. Dengan cara demikian perlawanan masih tetap bisa dilakukan. Caranya sederhana saja yakni memberikan suara untuk paslon yang diyakini lebih sedikit potensi “mudhoratnya”. Atau paslon yang lebih mendekati kriteria preferensi warga berdasarkan dinamika politik elektoral yang melatarbelakangi kemunculannya sebagai paslon.
Dalam konteks kekecawaan dua kategori warga Jakarta sebagaimana digambarkan diatas tadi. Yakni yang kecewa lantaran aspirasinya agar Anies atau Ahok yang dimajukan sebagai kandidat Gubernur tidak diakomodir oleh partai politik. Maka paslon yang lebih mendekati kriteria preferensi politik itu mestinya adalah paslon alternatif yang mewakili ide dan semangat perlawanan terhadap dominasi politik dari kubu paslon yang saat ini sedang berada diatas angin kekuasaan.
Apapun informasi dan bagaimanapun cerita-cerita serem yang terjadi di sepanjang proses prakandidasi, saat ini fasenya sudah bergeser. Pilgub Jakarta telah memasuki proses kandidasi dan tiga bakal paslon sudah mendaftar ke KPU. Jika tidak ada kendala berat, misalnya berhalangan tetap dalam proses kandidasi yang sedang belangsung ini, ketiga bakal paslon akan ditetapkan sebagai Paslon Gubernur dan Wakil Gubernur di akhir September nanti.
Dengan fakta politik itu, warga Jakarta baik pendukung fanatik Anies Baswedan maupun pendukung militan ide dan semangat perlawanan, sebaiknya segera move on menselaraskan diri dengan tahapan Pilkada. Konsolidasikan lagi kekuatan, hidupkan terus nyala api semangat perjuangan. Dan datanglah kelak ke TPS pada tanggal 27 November 2024. Di bilik suara perlawanan terhadap dominasi kekuasaan itu masih tetap bisa dilakukan.
Penulis Indonesiana | Dosen | Pegiat Sosial
5 Pengikut
Kampanye Deliberatif di Pilkada 2024
3 hari laluBaca Juga
Artikel Terpopuler