Kotak Kosong, Pseudo-Democracy dan Langkah Sigap Menyikapinya

Senin, 9 September 2024 09:20 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Mengapa Pilkada dengan calon tunggal, meminjam istilah yang digunakan George Sorensen, layak disebut pseudo-democracy, demokrasi semu?

Oleh: Agus Sutisna

Meski tidak sebanyak yang diperkirakan di awal perhelatan, Pilkada serentak 2024 akhirnya bakal menyajikan kontestasi pseudo-democracy di 1 Provinsi, 35 Kabupaten dan 5 Kota (total 41 daerah) di seluruh Indonesia. Yakni Pilkada yang diselenggarakan dengan mengikutsertakan Kotak Kosong sebagai “peserta.”

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Mengapa Kotak Kosong jadi peserta? Karena pasangan calon dari species manusia tidak lebih dari satu pasangan calon alias calon tunggal. Sementara secara qodrati yang namanya “pemilihan” jelas wajib ada obyek yang akan dipilih, dan obyek itu wajib lebih dari satu jumlahnya. Jadi, kehadiran Kotak Kosong sebagai peserta Pilkada dimaksudkan untuk menunjukan bahwa rakyat tetap punya pilihan, demokrasi elektoral di daerah masih ada.

Lalu mengapa Pilkada dengan calon tunggal, meminjam istilah yang digunakan George Sorensen, layak disebut pseudo-democracy, demokrasi semu? Nanti kita ulas di bawah. 

Jumlah total calon tunggal Pilkada ini bertambah (dan trendnya memang terus mengalami peningkatan) dibandingkan dengan Pilkada serentak periode-periode sebelumnya.  Pilkada serentak pertama tahun 2015 baru terdapat 3 paslon. Kemudian bertambah jadi 9 paslon di Pilkada 2017 dan 16 paslon di Pilkada 2018. Dan naik lagi jadi 25 paslon pada Pilkada serentak terakhir tahun 2020 silam.

Menariknya (atau konyolnya?), di sepanjang hampir satu dekade ini tidak ada upaya politik yang kongkrit dan langkah hukum yang mengikat, baik dari parlemen dan pemerintah, maupun dari partai politik untuk mencegah pertumbuhan gejala elektoral yang tidak sehat ini. Kecuali sekedar warning akademik dan catatan-catatan kritis dari kalangan akademisi dan masyarakat sipil perihal tak sehatnya Pilkada yang digelar dengan calon tunggal, yang kemudian dianggap angin lalu saja.

 

Faktor Penyebab

Kehadiran kotak kosong sebagai peserta Pilkada mengisyaratkan ada gejala politik yang tidak sehat dalam sistem kepartaian kita, khususnya terkait proses demokrasi elektoral di tingkak lokal (Pilkada).

Dalam konteks ini partai-partai gagal menjalankan salah satu fungsi dasarnya sebagai sarana rekruitmen kepemimpinan politik yang demokratis di semua tingkatan pemerintahan demokrasi.

Sebagaimana pernah diulas dalam beberapa tulisan saya sebelumnya, salah satu faktor yang memicu kemunculan Kotak Kosong adalah bersitemali dengan isu semakin menguatnya fenomena politik kartel dalam perhelatan Pilkada atau bahkan dalam lanskap kepolitikan nasional pada umumnya.

Premis dasar politik kartel adalah bahwa partai-partai sesungguhnya tidak bersaing satu sama lain, melainkan berkolusi untuk melindungi kepentingan kolektif mereka dan memastikan partainya tetap memiliki akses terhadap ruang pemanfaatan kekuasaan.

Dalam konteks Pilkada, gejala politik kartel muncul sebagai akibat dari minusnya kepercayaan diri partai-partai politik untuk memajukan kader-kadernya ke arena konstestasi karena adanya kekuatan politik hegemonik di daerahnya yang sukar dilawan.

Atau bisa juga karena adanya tekanan dan/atau tawaran kompensasi politik dari kekuasaan di aras nasional. Dalam konteks ini ada partai politik yang memiliki surplus kekuasaan di aras nasional lalu menggunakan kekuasaannya itu untuk menekan dan "menyandera" partai lain agar mengikuti kemauannya.

Di sisi lain juga ada partai politik yang memang tidak memiliki komitmen pada suara-suara rakyat, bahkan kadernya sendiri di daerah. Mereka lebih memilih "jalan aman" bagi partai dan elitnya sendiri, yang "tersandera," mungkin oleh kasus tertentu atau gurihnya menduduki jabatan penting di pemerintahan.

Faktor lain adalah mahalnya biaya politik (political cost) yang harus disiapkan oleh para bakal kandidat yang berminat (bahkan juga layak maju sebagai calon pemimpin di daerah) untuk bisa mengikuti kontestasi Pilkada. Mulai dari biaya “membeli perahu untuk berlayar,” sosialisasi dan kampanye, hingga biaya tetek-bengek lainnya.

 

Pseudo-Democracy, Pseudo-Election

Lalu mengapa Pilkada dengan calon tunggal layak disebut sebagai pseudo-democracy, demokrasi semu sekaligus juga pseudo-election, pemilihan semu dan sarat dengan kepura-puraan?

Pilkada dengan pasangan calon tunggal, terutama karena disebabkan oleh insecuritas partai-partai dalam mengartikulasikan aspirasi rakyat di daerahnya menghadapi hegemoni dan tekanan partai-partai berkuasa tentu tidak sehat dalam tradisi demokrasi. Gejala ini bisa disebut sebagai pseudo-democracy alias demokrasi semu setidaknya karena beberapa alasan berikut ini.

Pertama, masyarakat tidak diberikan pilihan kecuali figur pasangan calon hasil kesepakatan elit yang sangat mungkin berlangsung dalam proses yang sarat dengan transaksi-transaksi gelap politik. Hakikat makna meaningful participation (partisipasi yang bermakna) sebagai indikator utama demokrasi sebagaimana pernah diamanatkan dalam salah satu putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tidak mewujud dalam proses kandidasi pasangan calon.

Kedua, calon tunggal tidak memungkinkan munculnya kontestasi gagasan yang berlangsung secara diskursif, kompetitif dan bisa diuji oleh publik. Kompetisi gagasan jadi berlangsung monolitik, tidak ada pembanding visi misi dan program yang ditawarkan kepada masyarakat.

Ketiga, selain pseudo-democracy, calon tunggal dalam perhelatan Pilkada juga praktis menjadi pseudo-election, pemilihan yang semu. Karena paket pasangan calon yang ditawarkan kepada masyarakat hanya satu. Contradictio in terminis. Memilih itu artinya mengambil satu diantara minimal dua pasangan calon yang tersedia. Benar bahwa ada opsi pilihan lain. Tetapi itu Kotak Kosong, bukan pasangan manusia yang disiapkan menjadi pemimpin. Ia sekedar bentuk “kepura-puraan” dalam kegiatan pemilihan.

 

Dampak dan Implikasi Dilematis

Tahapan Pilkada terus bergulir, dan sekarang sudah sampai pada fase verifikasi berkas persyaratan pasangan calon. Lima ratus lebih bakal pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah akan segera ditetapkan sebagai pasangan calon, dan sekali lagi 41 diantaranya adalah paslon tunggal yang bakal menghadapi Kotak Kosong.

Alih-alih bisa dicegah atau menimal diturunkan jumlahnya, gejala ini bahkan meningkat lumayan pesat. Dari 25 Paslon di Pilkada serentak terakhir tahun 2020 kini menjadi 41 Paslon.

Salah satu nilai utama demokrasi adalah partisipasi publik, keterlibatan rakyat dalam mengambil keputusan-keputusan strategis seperti memilih pemimpin. Pilkada dengan calon tunggal potensial bisa memicu apatisme publik lantaran absennya alternatif pilihan kecuali Kotak Kosong tadi.

Selain itu, di tengah literasi politik elektoral warga yang sebetulnya semakin membaik, Pilkada dengan calon tunggal ini potensial akan membuat para pemilih malas datang ke TPS karena mereka tahu proses kandidasi hingga melahirkan calon tunggal lazimnya berlangsung tidak sungguh-sungguh demokratis.

Sementara itu, di bebebrapa daerah yang ber-Pilkada dengan calon tunggal mungkin saja ada gerakan massif untuk memenangkan Kotak Kosong sebagai bentuk kesadaran perlawanan publik terhadap hegemoni kekuasaan monolitik. Dan ini sah sebagai bentuk artikulasi pilihan politik warga karena dijamin oleh undang-undang seperti pernah terjadi dalam Pilkada Kota Makasar tahun 2018 silam.

Masalahnya kemudian jika Kotak Kosong unggul dan memenangi kontestasi, maka Pilkada harus diulang dari awal. Nah dalam jeda waktu menuju Pilkada ulang itu, daerah tersebut bakal dipimpin oleh Penjabat (Pj) Kepala Daerah yang ditunjuk pemerintah pusat. Dalam situasi ini kepemimpinan demokrasi lokal kehilangan esensinya karena pemimpin daerah ditunjuk oleh pemerintah, bukan dipilih.

Lebih parahnya lagi jika merujuk pada UU Pilkada, khususnya Pasal 3 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2015 (yang tidak diubah dalam UU perubahan berikutnya) yang mengedepankan desain keserentakan Pilkada, Pj Kepala Daerah yang ditunjuk itu akan memimpin selama lima tahun atau satu periode pemerintahan. Satu masalah memang kerap memicu munculnya masalah baru, masalah susulan, masalah berkelanjutan.

 

Pilih Kotak Kosong, Ulang Pilkada Secepatnya

Lalu langkah apa yang harus dilakukan sebagai terobosan untuk memastikan masalah yang dipicu oleh munculnya calon tunggal Pilkada ini tidak menjadi berkelanjutan merusak esensi demokrasi, menegasikan kedaulatan rakyat?

Pertama membantu dan mengupayakan kemenangan bagi Kotak Kosong. Ini penting sebagai bentuk artikulasi perlawanan publik terhadap perilaku para elit partai yang kelewat pragmatis, hingga melupakan kewajibannya menyediakan pilihan-pilihan politik yang memadai bagi rakyat.

Dengan cara demikian publik di daerah bisa berharap, kedepan tidak ada lagi elit-elit parpol yang abai terhadap hak-hak rakyat untuk memperoleh pilihan-pilihan calon pemimpinnya secara demokratis dan pantas disebut sebagai pemilihan.

Kedua, mendorong parlemen dan pemerintah untuk segera melakukan perubahan terhadap norma-norma regulasi yang mengatur masa jeda Pilkada ulang jika Kotak Kosong memenangi Pilkada seperti antara lain Pasal 3 ayat (1) UU Pilkada Nomor 8 tadi.

Poin penting perubahan itu adalah Pilkada ulang wajib segera dilakukan paling lambat satu tahun terhitung sejak penetapan hasil Pilkada 2024 dimana Si Kotak Kosong memenangi kontestasi. Ini artinya, masa jeda daerah yang mengalami kasus dipimpin oleh Kepala Daerah “give away” pemerintah pusat cukup satu tahun. Dan kedaulatan rakyat segera dikembalikan kepada pemiliknya!

Bagikan Artikel Ini
img-content
Agus Sutisna

Penulis Indonesiana | Dosen | Pegiat Sosial

5 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler