Bangsat

Senin, 9 September 2024 14:10 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Panorama cerpen, imaji mengurai sel-sel otak agar tetap sehat walafiat. Tak ada pembaca tak ada seni susastra. Jelajah imajinasi obralobrol warung kopi. Hati gembira setiap hari. Hore.

Oleh: Taufan S. Chandranegara

"Namamu siapa?"
"Namaku Bangsat."
"Oh! Bangsat juga."
"Oh!" Keduanya. Lantas berpelukan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

"Sesama Bangsat tak seharusnya berpelukan." Kata sebuah suara.
"Oh! Kok gitu." Jawab kedua Bangsat.

"Ya emang begitu. Pake nanya lagi."
"Loh kenapa?" Suara kedua Bangsat.

Sejak itu kedua Bangsat kehilangan suara. Entahlah atau mengkin hilang selamanya atau sengaja dihilangkan. Karena keadaan waktu khawatir kalau ke dua Bangsat itu akan bikin kekacauan. Bahaya. Bisa gawat isme loh. Dunia akan membaca tandatanda, selama ini tidak terbaca. Bisa gawat toh.

"Maksudmu sepasang Bangsat itu?"
"Iya. Mereka sejenis tumbilak."
"Oh! Hahaha." 
"Iya! Hahaha."

"Nah itu sedang diperlukan."
"Begitu ya,"
"Alah sok akting"
"Kan lagi purapura tak tahumenahu."

Sejak waktu itu pula tak lagi terdengar suarasuara menyebut nama ke dua Bangsat itu. Misteri di angkasa. Padahal ke dua Bangsat itu diperlukan untuk hadir tepat waktu tanpa meleset sedetikpun, hanya kedua Bangsat itu, mampu melakukan halhal legal formal terbaik tanpa cela, di tepat waktu, terkini, terdepan kontemporer.

Nah, isu berkembang di angkasa. Berbagai opini, opsiopsi setingkat abalabal beterbangan, carmuk, mencuri waktu kesempatan tampil, meski sadar tak berguna. Berbagai prraduga berkumndang dari berbagai kalangan hingga top of the top berkelas. Menggoyang langit berebut popularitas.

"Kita harus merubah wacana."
"Maksudmu strategi terpercaya telah terbentuk."
"Ya."
"Caranya?" Lalu keduanya saling berbisik.

"Ohh, paham."
"Nah gitu dong."
"Tahu sama tahu."
"Enak sama di jinjing."

"Cocok isme."
"Justru hal itu..."
"Akan segera menjadi..."
"Musim." Suara keduanya.

Ternyata tanpa setahu waktu dalam bentuk apapun telah lahir secara rampak serempak kompak jenis tumbilak bernama Bangsat. Situasi menjadikan saling selidik, berkelit dalam waktu jungkirbalik, terbolakbalik. Semakin rawan kontinuitas kelahiran bangsatbangsat bisa segara meluas menyatu dengan para bangsat pendahulunya.

Ini tak mungkin bisa dicegah. Para bangsat pendahulu berkumpul malam itu di tempat tersulit untuk di praduga, agar alibi bisa berkembang menjadi isuisu politis tertiup angin kembara sebagaimana takdir sosok angin membawa kabar kian kemari dalam kumparan wacanawacana tak terperi para bangsat secepat itu adaptif menyatu.

Tumbilak telah terbolakbalik menjadi Bangsat. Segala hal berkaitan dengan halihwal lingkungan tak sekadar wacana berkembang, apapun bentuknya, rupanya, ciricirinya, perwatakan apapun all in one berubah rupa menjadi Bangsat, tanpa strata kelas sosial, merata samarasa samabentuk samatampilan, seluruhnya berubah menjadi Bangsat.

"Apa terjadi padamu."
"Goblok. Bukan "mu" dalam tanda petik buka atau tutup tolol."
"Lantas?"
"Kita."

"Hah!"
"Dasar begog."
"Hah!"
"Kamu telah menjadi bangsat."

"Aku?"
"Iya kamu."
"Telah menjadi bangsat."
"Hahaha. Asik dong." Terpingkalpingkal.

"Kamu juga loh."
"Aku."
"Iya kamu. Juga telah menjadi bangsat."
"Aku?"

"Aiiihh! Kamu pandir deh."
"Hihihi hiks hiks hiks." Duet cekikikan.
"Hahahaha." Ngakak dahsyat.
"Huaaaa... Huaa ... Hahaha." Suara keduanya memecah angkasa.

Cuaca semakin ramah. Tak ada mendung kelabu tak ada rekam jejak diwacanakan menjadi upacaraupacara remeh temeh renyah engkaulah hua hihu blabla alahalah ah hiya ah hiyu ah hiya cas cic cos dar der dor. Semua menjadi samarasa samarupa samabentuk seolaholah sama bernasib laiknya nyanyian angsa sepagi buta.

"Gue sih ogah."
"Maksud lo?"
"Dor!"
"Dor!" Kedua bangsat itu memilih mati dengan cara menembank kepala masingmasing. Bagi kedua bangsat itu jauh lebih baik mati bunuh diri ketimbang hidup di antara neobangsat. 

"Oh! Halah. Eh! Halah."
"Seolaholah menjadi pilihan tersulit."
"Padahal tak perlu purapura bunuh diri."
"Agar kita menjadi golongan bangsat di papan reklame."

"Enggak gitu juga kale."
"Terus!" Tak pernah ada jawaban. Tak ada lagi perdebatan dari kedua bangsat itu. Sebab hidup telah di bangsatkan oleh citarasa keduanya.
"Kok bisa ya nasib kita jadi begini."
"Salah siapa ya." Keduanya terlanjur mati dengan kepala bolong setelah pertanyaan itu.

***

Jakarta Indonesiana, September 09, 2024.
Salam NKRI Pancasila. Banyak kebaikan setiap hari.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Taufan S. Chandranegara

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Retrospeksi

Senin, 30 September 2024 13:57 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler