Mendekonstruksi Narasi Poros Kejahatan: Nuklir Korea Utara

Selasa, 10 September 2024 08:36 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Artikel ini bertujuan untuk mendekonstrusi narasi yang dibangun Amerikas Serikat terhadap kebijakan nuklir Korea Utara. Hasil dari dekonstruksi menunjukan opsisi biner yang memepertahankan dominasi narasi sisi Amerika Serikat dan mengabaikan perspektif Korea Utara.

Dalam pidato kenegaraannya pada tahun 2002, Presiden AS George W. Bush memperkenalkan istilah ‘Poros Kejahatan’, yang menyebut Korea Utara, Iran, dan Irak sebagai ancaman utama terhadap keamanan global. Bush menyatakan:

“Beberapa rezim sudah cukup tenang sejak 11 September. Tapi kita tahu sifat aslinya. Korea Utara adalah rezim yang mempersenjatai diri dengan rudal dan senjata pemusnah massal, sementara membuat warganya kelaparan…… Negara-negara seperti ini [Iran, Irak, dan Korea Utara], dan sekutu teroris mereka, merupakan poros kejahatan, yang mempersenjatai diri untuk mengancam perdamaian dunia. dunia.  Dengan mencari senjata pemusnah massal, rezim-rezim ini menimbulkan bahaya yang besar dan semakin besar.”

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

(Bush 2002)

Narasi ini membentuk oposisi biner: baik vs. jahat, dengan Amerika Serikat sebagai penjunjung perdamaian, sementara negara-negara seperti Korea Utara sebagai pengancam stabilitas perdamaian dunia (Segell 2004; Kyle 2001; Hoyt 2000a; Hoyt 2000b; Bleiker 2003). Narasi ini menyederhanakan realitas geopolitik yang kompleks (Ryan 2002). Dengan mendekonstruksi ‘Poros Kejahatan’ menunjukan bahwa kebijakan nuklir Korea utara didorong oleh keinginan rezimnya untuk bertahan hidup di dunia yang memusuhi mereka (Panda 2020; Kim 2020; Howell, 2020).

Post-strukturalisme menekankan  bahwa narasi politik, seperti ‘Poros Kejahatan’, tidak netral atau objektif, namun dipengaruhi dinamika kekuasaan. Teori dekonstruksi Jacques Derrida menunjukkan bagaimana narasi semacam itu menciptakan gambaran realitas yang stabil dengan mengandalkan oposisi biner yang mengutamakan satu pihak dan mensubordinasikan pihak lain (Devetak 2022). Narasi ‘Axis of Evil’ menggambarkan Amerika Serikat sebagai pembela perdamaian global, sementara negara-negara seperti Korea Utara digambarkan sebagai negara yang menentang norma-norma internasional (Hoyt 2000a; Segell 2004; Bleiker 2003). Narasi ini menjadi stabil dengan mengabaikan peran kebijakan dan kehadiran militer AS di kawasan semenanjung Korea yang memperburuk rasa tidak aman di Korea Utara (Howell 2020; Pradana 2023; Bleiker 2003).

Dalam narasi ini, ambisi nuklir Korea Utara digambarkan sebagai tidak rasional dan mengancam (Malici dan Walker 2014; Homolar 2011; Cho 2014). Diasumsikan dalam narasi ini bahwa Korea Utara mengembangkan senjata nuklir untuk tujuan agresif terhadap tetangganya (Hoyt 2000a; Bleiker 2003; O'Neil 2007). Stabilitas narasi ini diperkuat melalui pengulangan gagasan bahwa rezim seperti Korea Utara menimbulkan “bahaya yang besar dan semakin besar” terhadap perdamaian global (Bush 2002; Homoloar 2011). Kemudian Amerika Serikat digambarkan sebagai kekuatan penstabil yang harus melakukan intervensi untuk mencegah “negara-negara jahat” tersebut memperbanyak senjata pemusnah massal (Hoyt, 2000a; O'Reilly, 2007). Dengan menetapkan oposisi biner ini, narasinya tampak koheren dan stabil, dan membenarkan tindakan kebijakan luar negeri AS seperti sanksi, aliansi militer, dan bahkan potensi intervensi militer terhadap Korea Utara. (Kyle 2001; Smith 2021; Lankov 2021)

Dekonstruksi mengungkapkan bahwa oposisi biner narasi ‘Poros Kejahatan’ tidak sesederhana itu. Ambisi nuklir Korea Utara bukan hasil dari irasionalitas, namun berakar dalam konteks sejarah dan geopolitik (Cho 2014; Panda 2020), seperti rasa ketidakamanan hidup di wilayah yang terdapat dominasi AS (Anderson 2017; Jackson 2017). Sejak berakhirnya Perang Korea pada tahun 1953, Korea Utara telah menghadapi ancaman militer yang signifikan dari Korea Selatan, yang merupakan negara yang lebih kaya dan bersekutu dengan Amerika Serikat (Panda 2020). Selama Perang Dingin, Amerika Serikat menempatkan senjata nuklir di Korea Selatan, sehingga semakin meningkatkan rasa tidak aman Pyongyang (Jang 2016; Panda 2020). Para pemimpin Korea Utara, dimulai dengan Kim Il Sung, telah mengembangkan senjata nuklir sebagai cara untuk memastikan kelangsungan hidup rezim terhadap ancaman invasi atau perubahan rezim oleh AS dan sekutunya (Panda 2020; Howell 2020; Kim 2020).

Sebagaimana tertulis dalam Pasal 2 Undang-Undang Korea Utara tahun 2013 tentang Konsolidasi Posisi Negara Senjata Nuklir:

“Mereka [senjata nuklir] bertujuan untuk menghalangi dan menangkis agresi dan serangan musuh terhadap DPRK dan melakukan serangan balasan yang mematikan di benteng-benteng agresi sampai dunia melakukan denuklirisasi.”

(Panda 2020)

Pernyataan juru bicara Kementerian Luar Negeri Korea Utara memperkuat implikasi senjata nuklir bagi Korea Utara:

“Kekuatan nuklir DPRK berfungsi [sebagai] pedang berharga yang kuat untuk melindungi kedaulatan negara dan martabat bangsa dan memberikan jaminan yang pasti untuk memfokuskan upaya menjaga perdamaian dan keamanan, membangun perekonomian dan meningkatkan taraf hidup masyarakat.”

(Smith 2021)

Ketika mengumumkan bahwa mereka mempunyai senjata nuklir pada tahun 2005, Menitri Luar Negeri Korea Utara menyatakan:

AS mengungkapkan upayanya untuk menggulingkan sistem politik di DPRK dengan cara apa pun, dan mengancamnya dengan tongkat nuklir. Hal ini memaksa kami untuk mengambil tindakan untuk meningkatkan persenjataan nuklir [kami] untuk melindungi ideologi, sistem, kebebasan dan demokrasi yang dipilih oleh rakyat [kami]. Kami telah mengambil tindakan tegas untuk menarik diri dari NPT dan telah memproduksi nuklir untuk pertahanan diri guna menghadapi kebijakan pemerintahan Bush yang tidak berselubung untuk mengisolasi dan membungkam DPRK.”

(Smith 2021)

Dalam uji coba nuklir pertama Korea Utara pada tahun 2006, Menteri Luar Negeri Korea Utara menjelaskan:

“Senjata nuklir akan berfungsi sebagai pencegah perang yang dapat diandalkan untuk melindungi kepentingan tertinggi negara dan keamanan bangsa Korea dari ancaman agresi AS”

(Smith 2020)

Kim Jong Un juga memperjelas dalam Pidato Tahun Baru 2018 bahwa menghalangi Amerika Serikat adalah pendorong utama:

“Kekuatan nuklir negara kami mampu menggagalkan dan melawan ancaman nuklir apapun dari Amerika Serikat, dan mereka merupakan pencegah yang kuat yang mencegah negara kita memulai perang yang penuh petualangan … Amerika Serikat sama sekali tidak berani mengobarkan perang melawan saya dan negara kita. negara."

(Smith 2020)

Kita dapat melihat bahwa pengembangan nuklir Korea Utara merupakan respons terhadap kehadiran militer AS di wilayah semenanjung Korea (Jackson 2017). Hal ini menantang narasi bahwa ambisi nuklir Korea Utara hanya bersifat agresif. Bagi Korea Utara, kepemilikan senjata nuklir adalah cara untuk mengamankan kedaulatannya dan mencegah potensi agresi AS (Cho 2014; Gergiieva 2020). Narasi Korea Utara sebagai aktor yang tidak rasional dan berbahaya bergantung pada pengecualian konteks ancaman militer dan isolasi geopolitik selama beberapa dekade. (Hoyt 2000a; Smith 2021; Panda 2020; Bleiker 2003).

Narasi ‘Poros Kejahatan’ menjadi tidak stabil ketika kita mempertimbangkan nasib rezim-rezim lain yang telah melakukan pelucutan senjata nuklir, seperti Saddam Hussein di Irak dan Muammar Gadhafi di Libya (Gallucci 2021; Panda 2020). Kedua pemimpin tersebut meninggalkan program senjata nuklir mereka—Hussein melalui paksaan dan Gadhafi secara sukarela—dan keduanya kemudian digulingkan dan dibunuh, sebagian karena intervensi militer yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan sekutunya (Litwak 2008).

Editorial media pemerintah Korea Utara menulis:

“Rezim Saddam Hussein di Irak dan rezim Gaddafi di Libya tidak bisa lepas dari nasib kehancuran setelah landasan mereka untuk pengembangan nuklir dirampas,”

(Panda 2020)

 Kim Jong Un melihat contoh-contoh ini sebagai alasan untuk mempertahankan senjata nuklirnya. Dalam pandangannya, perlucutan senjata akan membuat rezimnya rentan terhadap invasi AS (Panda 2020). Hal lain menjadi poin ketidakstabilan dalam narasi ‘Poros Kejahatan,’ dengan terciptanya interdependensi AS dan Korea Utara, seperti peran aliansi AS-Korea Selatan (Kim 2010; Jackson 2017). Strategi Kim Jong Un meniru strategi Pakistan, yang menggunakan senjata nuklirnya untuk menghalangi India. Korea Utara berupaya menggunakan kemampuan nuklirnya untuk mencegah AS dan Korea Selatan melakukan opsi militer yang dapat menyebabkan perubahan rezim (Panda 2020). Dinamika ini menciptakan paradoks stabilitas-ketidakstabilan: meskipun senjata nuklir dapat mencegah pecahnya perang skala penuh, senjata nuklir juga memungkinkan Korea Utara untuk melakukan provokasi tingkat rendah tanpa takut akan adanya pembalasan yang signifikan. (Panda 2020; Powell 2015).

Dekonstruksi Poros Kejahatan Narasi ini menunjukkan bahwa upaya nuklir Korea Utara merupakan strategi yang diperhitungkan demi kelangsungan rezim (Cho 2014). Untuk mengatasi masalah ini, kita perlu bergerak melampaui oposisi biner berfokus pada jaminan keamanan, keterlibatan diplomatik, kerjasama regional, insentif ekonomi, pendekatan bertahap yang menekankan membangun kepercayaan, dan jaminan keamanan multilateral  (Noland 2019; Bleiker 2018; Fuqua 2007; Kurata 2007; Howe 2014; Glaser 2018; Galusia 2021).

Daftar Pustaka

 Anderson, Nicholas D. 2017. “Explaining North Korea’s Nuclear Ambitions: Power and Position on the Korean Peninsula.” Australian Journal of International Affairs 71 (6): 621–41. https://doi.org/10.1080/10357718.2017.1317328.

Bleiker, Roland. 2003. “A Rogue Is a Rogue Is a Rogue: US Foreign Policy and the Korean Nuclear Crisis.” International Affairs 79 (4): 719–37. https://doi.org/10.1111/1468-2346.00333.

———. 2018. “Dealing With a Nuclear North Korea.” In Manchester University Press eBooks. https://doi.org/10.7765/9781526130877.00022.

Bush, George W. 2002. “President Delivers State of the Union Address.” January 20, 2002. https://georgewbush-whitehouse.archives.gov/news/releases/2002/01/20020129-11.html.

Cho, Youngwon. 2014. “Method to the Madness of Chairman Kim: The Instrumental Rationality of North Korea’s Pursuit of Nuclear Weapons.” International Journal Canada S Journal of Global Policy Analysis 69 (1): 5–25. https://doi.org/10.1177/0020702013518489.

Devetak, Richard. 2022. “Post-Structuralism.” In Theories of International Relations, 164–87. Bloomsbury Publishing.

Frederking, Brian, Kaitlyne Motl, and Nishant Timilsina. 2009. “Nuclear Proliferation and Authority in World Politics.” Journal of International and Global Studies 1 (1). https://doi.org/10.62608/2158-0669.1003.

Fuqua, Jacques L. 2008. “Nuclear Endgame: The Need for Engagement With North Korea.” Choice Reviews Online 45 (08): 45–4642. https://doi.org/10.5860/choice.45-4642.

Gallucci, Robert L. 2021. “Negotiating With North Korea … Again.” Survival 63 (6): 101–6. https://doi.org/10.1080/00396338.2021.2006446.

Gergiieva, Valeriia. 2020. “NORTH KOREA’S NUCLEAR PROGRAM: FROM NONPROLIFERATION ISSUE TO DETERRENCE.” European Political and Law Discourse 7 (5): 14–18. https://doi.org/10.46340/eppd.2020.7.5.2.

Glaser, Alexander, and Zia Mian. 2018. “Denuclearizing North Korea: A Verified, Phased Approach.” Science 361 (6406): 981–83. https://doi.org/10.1126/science.aau4817.

Homolar, Alexandra. 2010. “Rebels Without a Conscience: The Evolution of the Rogue States Narrative in US Security Policy.” European Journal of International Relations 17 (4): 705–27. https://doi.org/10.1177/1354066110383996.

Howe, Brendan, and Jason Park. 2014. “Addressing North Korean Security Challenges Through Non-State-Centric International Economic Engagement.” North Korean Review 10 (1): 39–54. https://doi.org/10.3172/nkr.10.1.39.

Howell, Edward. 2020. “The Juche H-bomb? North Korea, Nuclear Weapons and Regime-state Survival.” International Affairs 96 (4): 1051–68. https://doi.org/10.1093/ia/iiz253.

Hoyt, Paul D. 2000a. “‘Rogue States’ and International Relations Theory | Semantic Scholar.” 2000. https://www.semanticscholar.org/paper/%22Rogue-States%22-and-International-Relations-Theory-Hoyt/96f5a3c4b0c6d8f232bf661cdd18995ec4198bf8.

———. 2000b. “The ‘Rogue State’ Image in American Foreign Policy.” Global Society 14 (2): 297–310. https://doi.org/10.1080/13600820050008494.

Jackson, Van. 2017. “Deterring a Nuclear-Armed Adversary in a Contested Regional Order: The ‘Trilemma’ of U.S.–North Korea Relations.” Asia Policy 1 (1): 97–103. https://doi.org/10.1353/asp.2017.0014.

Jang, Se Young. 2016. “The Evolution of US Extended Deterrence and South Korea’s Nuclear Ambitions.” Journal of Strategic Studies 39 (4): 502–20. https://doi.org/10.1080/01402390.2016.1168012.

Kim, Min-Hyung. 2020. “Why Nuclear? Explaining North Korea’s Strategic Choice of Going Nuclear and Its Implications for East Asian Security.” Journal of Asian and African Studies 56 (7): 1488–1502. https://doi.org/10.1177/0021909620971338.

Kim, Samuel S. 2010. “North Korea’s Nuclear Strategy and the Interface Between International and Domestic Politics.” Asian Perspective 34 (1): 49–85. https://doi.org/10.1353/apr.2010.0032.

Kurata, Hideya. 2007. “A Conceptual Analysis of the Six-Party Talks: Building Peace Through Security Assurances.” Asian Security 3 (1): 12–26. https://doi.org/10.1080/14799850601141926.

Kyle, Ken. 2001. “U.S. Nationalism And The Axis of Evil: U.S. Policy And Rhetoric on North Korea.” Humanity & Society 25 (3): 239–62. https://doi.org/10.1177/016059760102500304.

Lankov, Andrei. 2020. “Master of Surival: North Korean Leadership in A Hostile World.” In Routledge Handbook of Contemporary North Korea, 42–55. Routledge.

Litwak, Robert S. 2008. “Living With Ambiguity: Nuclear Deals With Iran and North Korea.” Survival 50 (1): 91–118. https://doi.org/10.1080/00396330801899496.

Malici, Akan, and Stephen G. Walker. 2014. “Role Theory and ‘Rogue States.’” In Palgrave Macmillan UK eBooks, 132–51. https://doi.org/10.1057/9781137357274_7.

Noland, Marcus. 2019. “North Korea: Sanctions, Engagement and Strategic Reorientation.” Asian Economic Policy Review 14 (2): 189–209. https://doi.org/10.1111/aepr.12255.

O’neil, Andrew. 2005. “Learning to Live With Uncertainty: The Strategic Implications of North Korea’s Nuclear Weapons Capability.” Contemporary Security Policy 26 (2): 317–34. https://doi.org/10.1080/13523260500190435.

O?Reilly, K. P. 2007. “Perceiving Rogue States: The Use of the ‘Rogue State’ Concept by U.S. Foreign Policy Elites.” Foreign Policy Analysis 3 (4): 295–315. https://doi.org/10.1111/j.1743-8594.2007.00052.x.

Panda, Ankit. 2020. Kim Jong Un and the Bomb: Survival and Deterrence in North Korea. Journal of American-East Asian Relations. New York, United States of America: Oxford University Press.

Pradana, Muhammad Erza. 2023. “What Drives Nuclear-Aspiring States? The Cases of Iran and North Korea.” Jurnal Sentris 4 (1): 61–72. https://doi.org/10.26593/sentris.v4i1.6425.61-72.

Ryan, Maria. 2002. “Inventing the ‘Axis of Evil’: The Myth and Reality of Us Intelligence and Policy-making After 9/11.” Intelligence & National Security 17 (4): 55–76. https://doi.org/10.1080/02684520412331306640.

Segell, Glen. 2004. “Counter-proliferating the Rogue States.” Defense and Security Analysis 20 (4): 343–54. https://doi.org/10.1080/1475179042000305804.

Smith, Derek D. 2003. “Deterrence and Counterproliferation in an Age of Weapons of Mass Destruction.” Security Studies 12 (4): 152–97. https://doi.org/10.1080/09636410390447671.

Smith, Shane. 2020. “Nuclear Weapon and North Korea Foreign Policy.” In Routledge Handbook of Contemporary North Korea, 141–54. Routledge.

 

Bagikan Artikel Ini
img-content

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler