Hikayat Negeri Badutistan (3)

Minggu, 15 September 2024 14:52 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Bimo mulai merasakan perlawanan dari dalam. Setiap kebijakan yang ia usulkan selalu dipermainkan, dicurangi, atau dipelintir oleh para Badut Senior.

OLeh: Asep K Nur Zaman
 
Di masa-masa awal kepemimpinan Bimo, Badutistan penuh dengan optimisme. Ia adalah sosok pemimpin yang dianggap mampu mengangkat negeri badut itu dari jurang kehancuran.
 
Dikenal sebagai "Badut Cerdas", Bimo tampil beda dari pemimpin-pemimpin sebelumnya. Ia tidak hanya piawai melucu di atas panggung sirkus politik, tetapi juga membawa harapan baru dengan janji reformasi besar-besaran.

Rakyat Badutistan, yang sudah lama bosan dengan pemimpin-pemimpin yang hanya memikirkan kekuasaan, mulai melihat Bimo sebagai penyelamat. Ia menjanjikan perubahan di segala bidang—pendidikan, ekonomi, hukum, dan terutama dalam tata kelola negara. Bimo ingin Badutistan diakui bukan hanya sebagai negeri badut, tapi sebagai negara yang berpengaruh di dunia.

Namun, kekuasaan tidak pernah sepenuhnya berada di tangan Bimo. Di belakang layar, ada para "Badut Senior" yang merasa terancam oleh reformasi yang diusulkan Bimo. Mereka adalah badut-badut tua yang sudah puluhan tahun mengendalikan negeri ini dengan tangan besi dalam sarung tangan berbulu. Reformasi yang dijanjikan Bimo dianggap terlalu progresif, merongrong tatanan lama, dan bisa menggoyang kekuasaan mereka.

Bimo mulai merasakan perlawanan dari dalam. Setiap kebijakan yang ia usulkan selalu dipermainkan, dicurangi, atau dipelintir oleh para Badut Senior. Rapat kabinet yang seharusnya menjadi ajang diskusi serius berubah menjadi sirkus politik, di mana setiap argumen Bimo dibalas dengan lawakan yang merendahkan. Di setiap pojok negeri, para pelawak bayaran menyebar fitnah bahwa Bimo tidak lagi lucu—sebuah penghinaan terbesar bagi pemimpin Badutistan.

Kebijakan-kebijakan ekonominya, yang awalnya disambut baik, mulai hancur karena sabotase. Program reformasi pendidikan yang ia gagas—di mana anak-anak tidak hanya diajari melucu tapi juga diajarkan berpikir kritis—ditentang habis-habisan oleh para Badut Senior yang takut kehilangan kontrol. Dalam pidato terakhirnya sebagai pemimpin, Bimo dengan pahit mengakui, "Ternyata, di negeri badut, harapan adalah lelucon paling menyakitkan."

---

Kejatuhan Bimo begitu cepat dan dramatis. Para Badut Senior, yang merasa terancam oleh kebijakannya, mulai menggerakkan rakyat melalui hiburan murahan dan fitnah bahwa Bimo telah "mengkhianati tradisi badut." Mereka menggulingkan Bimo dengan cara yang sangat khas Badutistan: melalui sirkus politik besar-besaran yang lebih menyerupai pertunjukan badut daripada kudeta. Bimo tidak dijatuhkan oleh rakyat, melainkan oleh tawa yang berubah menjadi ejekan.

Setelah kejatuhannya, Bimo menghilang dari panggung politik. Banyak yang mengira ia akan pergi selamanya, menjadi badut pengembara yang mencari makna di dunia luar. Namun, beberapa tahun kemudian, kabar tersebar bahwa Bimo kembali ke Badutistan, bukan sebagai pemimpin, tetapi sebagai kepala sekolah di Sekolah Badut Utama.

Ia memutuskan untuk mulai dari akar permasalahan: pendidikan. "Jika aku tidak bisa memperbaiki negeri ini dari atas, mungkin aku bisa memperbaikinya dari bawah," pikirnya. Ia tahu bahwa generasi muda Badutistan adalah harapan terakhir. Meskipun lelucon politik menghancurkannya, ia tetap percaya bahwa pendidikan adalah kunci untuk mengubah nasib negeri badut ini.

Dengan penuh semangat, Bimo memulai revolusi di dunia pendidikan. Sekolah yang dulu hanya mengajarkan seni melucu kini menjadi tempat di mana siswa-siswa mulai berpikir kritis, belajar tentang dunia, dan bercita-cita lebih dari sekadar menjadi badut panggung. Namun, tantangan di depan masih besar, karena negeri Badutistan tetap dikuasai oleh tawa yang salah arah.

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Asep K Nur Zaman

Penulis Indonesiana l Veteran Jurnalis

3 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler