Menularnya Motonormativity

Jumat, 13 September 2024 12:55 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kematian-kematian di jalan, termasuk pengguna sepeda, tidak terlihat menjadi urgensi untuk mengatasi masalah keselamatan di jalan. Ada pandemi motonormativity.

Oleh: Purwanto Setiadi

Seorang pengemudi truk menabrak seorang pengguna sepeda yang hendak menyeberang jalan di Jalan Raya Bogor pada pagi 7 Maret lalu. Korban, pesepeda itu, meregang nyawa di lokasi kejadian.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dari tahun ke tahun, berita tentang musibah serupa terus terjadi. Kecelakaan, jika memang insiden seperti itu bisa disebut demikian, tidak menimpa pengguna sepeda saja, tentunya. Tapi kemalangan berulang-ulang yang menimpa kelompok pengguna jalan yang lemah--selain pejalan kaki, pengguna sepeda termasuk di dalamnya--memperlihatkan betapa langka tindakan pencegahan dilakukan. Langka itu artinya ada tindakan, barangkali, tapi tidak berefek apa-apa; tidak mengatasi masalah riilnya.

Motonormativity.

Di kalangan pengguna sepeda, dalam diskusi merespons peristiwa-peristiwa yang menimpa pengguna sepeda itu, topiknya selalu pada akhirnya digiring ke muara ini: bahwa menggunakan helm adalah keniscayaan, seakan-akan helm adalah mantra yang mengandung kekuatan magis yang membebaskan kita dari bencana apa pun di jalan--sekalipun dalam kenyataannya bahkan perusahaan penghasil helm sepeda mengakui tidak benar begitu.

Penggunaan helm sebagai tindakan berjaga-jaga tidaklah salah, tentu saja. Ada kategori “kecelakaan” yang bisa dicegah peluangnya dalam menimbulkan cedera kepala. Misalnya jatuh karena keseimbangan goyah. Tapi ia sama sekali bukan solusi dari problem yang sebenarnya.

Apa masalah yang kita hadapi di jalan, sebenarnya? Bukan pengguna sepeda, juga bukan pejalan kaki. Problem kita yang nyata, yang tidak direspons dengan semestinya oleh pemerintah, adalah kendaraan bermotor dan penggunanya yang berperilaku buruk. Dan kita, sebagian besar dari kita, menerima begitu saja situasi itu apa adanya.

Dengan kebiasaan mengamati realitas sehari-hari, orang sebetulnya bisa menyimpulkan bahwa mengemudikan kendaraan bermotor seperti mendapat tempat spesial di tengah masyarakat. Tidak ada halangan untuk sampai pada kesimpulan ini. Yang ada adalah ketidakjujuran untuk mengakuinya.

Terkait dengan fenomena tersebut, berulang kali telah diperlihatkan kepada kita bagaimana dampak buruknya: polusi udara dan emisi, kemacetan yang seperti menenggelamkan ruang-ruang di perkotaan, tingkat kematian yang tinggi akibat tabrakan, dan kemalasan bergerak atau mager (sedentary lifestyle). Semuanya adalah destruksi; destruksi terhadap lingkungan, terhadap ruang, terhadap kesehatan. Tapi masyarakat kita seperti kebas. Sikap ini tidak berlaku untuk hal lain yang juga berdampak buruk, terutama karena merugikan orang, yang kerap bahkan menimbulkan kegaduhan sosial.

Para ahli punya sebutan untuk keadaan itu: motonormativity. Contoh temuan dari sebuah riset oleh tim dari Swansea University dan University of the West of England, yang dipublikasikan tahun lalu, ini dapat mendefinisikannya: (1) 75 persen responden menjawab setuju untuk pernyataan “Orang seharusnya dilarang merokok di tempat yang padat penduduknya agar tidak ada yang terpaksa menghirup udara dengan asap rokok”; dan (2) 17 persen responden setuju pada pernyataan “Orang seharusnya dilarang mengemudikan kendaraan bermotor di tempat yang padat penduduknya agar tidak ada yang terpaksa menghirup udara dengan asap mesin”.

Perbedaan dari dua pernyataan itu hanyalah pada “merokok” dan “mengemudikan kendaraan bermotor”. Secara moral dan etika, semestinya standar yang berlaku adalah sama. Tidak demikian yang berlaku. Lihat kontras dari temuannya, yang sangat signifikan. Ibarat penyakit menular, motonormativity sudah menjadi pandemi, wabah yang berjangkit di mana-mana.

Salah satu wujud dari motonormativy adalah orang menormalkan kebiasaan memacu kendaraan bermotor dengan kecepatan tinggi, merasa sebagai pengemudi yang terampil, dan menganggap kematian yang diakibatkan oleh kebiasaan ini semata-mata sebagai “fakta kehidupan”; dan yang justru dikampanyekan adalah perlunya pengguna jalan yang lemah untuk selalu melindungi diri dengan segala macam peralatan seakan-akan seperti di medan perang.

Yang sangat mungkin terjadi dari keadaan itu adalah pengalihan tanggung jawab keselamatan. Pengalihan ini berlaku dari pengemudi kendaraan bermotor ke pengguna jalan yang lemah dan menafikan prinsip yang para penggemar Spider-Man pasti kenal: with great power comes great responsibility, semakin besar kekuatanmu, tanggung jawabmu jadi bertambah besar. Misalnya, itu tadi, menyarankan dan bahkan ada yang cenderung ingin mewajibkan penggunaan helm kepada pengguna sepeda untuk mobilitas. Selain itu, dan ini yang ironis, terjadi pula pelepasan tanggung jawab mewujudkan keselamatan dan keadilan di jalan dari pundak pemerintah.

Kecenderungan yang menyedihkan itu bisa dihindarkan asalkan pemerintah mengaku problem riilnya, menyadarkan masyarakat, dan bertindak nyata serta sungguh-sungguh untuk mengatasinya. Menghindarikan kematian pengguna sepeda seperti yang terjadi di Jalan Raya Bogor itu sama bernilainya dengan mencegah kematian, umpamanya, akibat asap rokok.

Bagikan Artikel Ini
img-content
purwanto setiadi

...wartawan, penggemar musik, dan pengguna sepeda yang telah ke sana kemari tapi belum ke semua tempat.

3 Pengikut

img-content

Menyoal Fasilitas Parkir Sepeda di Stasiun

Sabtu, 21 September 2024 06:58 WIB
img-content

Menularnya Motonormativity

Jumat, 13 September 2024 12:55 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler











Terkini di Catatan Dari Palmerah

img-content
img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Catatan Dari Palmerah

Lihat semua