Repertoar

Sabtu, 14 September 2024 08:25 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Persoalan susastra tak sekadar siasat keindahan kata-kata lantas menjadi puisi ataupun literasi mengangkasa di podium pesanan the invisible hand. Ehem.

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Persoalan susastra tak sekadar siasat keindahan kata-kata lantas menjadi puisi. Juga bukan sekedar literasi mengangkasa di podium pesanan the invisible hand dalam kisah alegoris mimpi siang bolong yang menjauh dari realitas dan mendahulukan abstraksi mimpi irasional. Melupakan perut keroncongan komposisi musik tanpa partitur.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Mengapa dilema menjadi kudapan zaman berlari kata dalam abong-abong omong-omong berlomba merebut bendera semapor peradaban tak mampu membaca gejala flu lanjutan tanpa warna tanda-tanda identitas. Siapa pemilik virus parodi monolog di balik layar dalang wayang sesungguhnya.

Berteka-teki malu-malu kucing mengeong-ngeong dalam karung, barter ini itu dari balik bebunyian ragam instrumen dalam acakadut irama meramu syair kemarau. Siapakah kamu wahai pelukis peristiwa pemalu lantas tumpah ruah atap bocor tak terperi? Ehem, sini dong maju kedepan tak jua tersampaikan kata maaf darimu loh.

Malu ya karena tekno milikmu terbelakang atau sengaja memperbelakangkan seolah-olah ada maling masuk lewat bolongan pintu belakang. Lantas siapa penjaga sekeliling halaman. Apakah mereka bobok manis semua? Iyau, opera dalam kisah cinta, selalu seolah-olah ada perselingkuhan sebagai alibi, hmmh.

Kebahagiaan sebagai keseimbangan kehidupan, dilarang ada khianat nurani, berdosa loh. Masuk neraka. Mau? Ogahkan. Maunya pasti masuk surga, sekalipun imitasi informasi tayang riuh di angkasa, seolah-olah pencurinya raib entah kemana. Apa betulkah begitu sih, akh masa. Adegan pembukapun dimulai dalam tanda petik.

"Tarik pelatukmu."
"Kau duluan. Mati bareng."
"Kau berkelamin ganda ya."
"Kau juga kan."
"Sama-sama pecundang bayaran."
"Dor!" Keduanya serentak terkapar.

Senandika mengumandangkan cerita baru sekalipun dalam pola lawas, olah napasnya belum matang di pohon tak mampu mengolah kata dalam adegan. Tergagap bernapas pengap oksigen tak mampu mencapai intonasi suara dari karakter peranan. Pecah topeng para badut, tak jua terkuak kedok di balik pemeranan.

Sungguh malang nasib para kurcaci jadi alas kaki di maki-maki. Nah loh, mungkin akibat feodalisme terselubung dalam kisah sandiwara satu babak. Bagaikan kisah cinta Romeo and Juliet, tetap minum racun pura-pura dalam adegan sebab hidup tetap menjadi pilihan utama dibanding kematian sesungguhnya. Menyalalah fatamorgana lilin-lilin plastik kefanaan.

"Loh! Kau mati di scene tadi kan."
"Lah! Kau kenapa masih hidup."
"Happy ending, lebih disukai penonton."
"Penulis juga bilang begitu."
"Sutradara? Terserah aktor katanya."
"Wah!" Duet para aktor. Lantas cekikikan.

***

Jakarta Indonesiana, September 13, 2024.
Salam NKRI Pancasila. Banyak kebaikan setiap hari.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Taufan S. Chandranegara

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler