Paradigma Nuklir Korea Utara bagi Stabilitas Kawasan

Sabtu, 14 September 2024 20:25 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content1
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Berbicara tentang konflik di semenanjung Korea memang tiada habisnya, terlebih belum adanya status perjanjian perdamaian di antara kedua negara tersebut yang tentunya dapat menimbulkan panas dingin kawasan regional Asia Timur.

Bermula dari perang ideologi (Proxy War) layaknya Perang Vietnam, Korea pun terbagi dua antara Korea Utara beserta Tiongkok dan Uni Soviet melawan Korea Selatan beserta Amerika Serikat dan sekutunya.

Perang Korea yang meletus pada Tahun 1950an hingga kini belum dinyatakan usai. Status antara kedua negara adalah gencatan senjata yang ditandai dengan adanya Zona Demiliterisasi Korea yang memisahkan kedua negara tersebut.

Korea Utara pada era kepemimpinan Kim Jong Un menjelma menjadi salah satu negara nuklir, bahkan Kim Jong Un mengklaim rudal hulu ledak nuklir milik negaranya mampu menjangkau daratan Amerika Serikat. Dinamika kawasan regional Asia Timur tentu saja memanas kembali dan perlombaan senjata tentu tak terhindarkan lagi walaupun Amerika Serikat telah menyiagakan armada tempurnya di Korsel dan Jepang.

Korsel telah mengalokasikan sekitar 45,2 miliar dollar untuk anggaran pertahanan Tahun 2024 dan diperkirakan akan meningkat menjadi 54,7 miliar dollar pada Tahun 2029. Begitu pula dengan Jepang yang juga menyesuaikan kebijakan anggaran pertahanan sekitar 5,3 miliar dollar untuk Tahun 2024. Peningkatan anggaran pertahanan kedua negara tersebut tentu merupakan respon terhadap agresifitas Korea Utara dalam menguji coba rudal nuklirnya.

Latihan bersama antara AS, Korsel dan Jepanag pun baru-baru ini dilaksanakan dan menimbulkan reaksi keras dari pihak Korea Utara. Korea Utara mengecam keras latihan militer gabungan tersebut dan menyebut latihan gabungan tersebut sebagai 'NATO versi Asia'. Pihak Korea Utara pun memperingatkan akan ada konsekuensi fatal akibat dari pelaksanaan latihan militer bersama tersebut. Pernyataan ini disampaikan Korut setelah ketiga negara menyelesaikan latihan gabungan bernama 'Freedom Edge' yang diselenggarakan selama tiga hari. Mereka berlatih di bidang rudal balistik dan pertahanan udara, perang anti-kapal selam, dan pelatihan siber defensif.

Bahkan dalam beberapa pekan terakhir ini hubungan kedua negara sedang dalam fase yang buruk, kedua negara tersebut sedang terjebak dalam aksi saling balas balon.

Korea Utara mengirimkan balon-balon berisi sampah ke arah selatan sebagai pembalasan atas misi serupa yang dikirim ke utara dari Korea Selatan yang membawa propaganda pro-Seoul. Korea Selatan juga semakin cemas atas mesranya hubungan antara Korea Utara dengan Rusia. Terlebih beberapa waktu lalu, Presiden Rusia Vladimir Putin mengadakan pertemuan puncak dengan pemimpin Kim Jong Un di Pyongyang untuk menunjukkan kekompakkan di antara kedua negara. Tindakan-tindakan yang dilakukan Kim saat ini membuat krisis di Semenanjung Korea semakin memanas. Melihat keagresifan Korea Utara dibawah pimpinan Kim Jong Un dalam pengembangan nuklir dan rudalnya tentu menjadi ketakutan tersendiri. Dengan potensi yang dimiliki Korea Utara saat ini, ditambah dengan kekuatan militernya dapat dipastikan hal ini menjadi ancaman yang serius. Kim Jong Un yang juga terkenal lebih memilih untuk mengambil langkah militer dibandingkan diplomasi membuat hal ini harus ditangani dengan serius.  Bagi Korea Utara, senjata nuklir akan membuat Korea Utara lebih kuat dari Korea Selatan, selain itu hal ini bertujuan untuk menangkal serangan dari Amerika Serikat dan mengurangi ketergantungan Korea Utara terhadap negara – negara komunis lainnya seperti Uni Soviet dan Cina.

Kebijakan Korea Utara untuk penggunaan senjata nuklir mengundang banyak pihak untuk menghentikan program nuklirnya, hal ini dikarenakan kebijakan yang dibuat oleh pemimpin Korea Utara ini dianggap akan sangat membahayakan dan tindakan ini dikatakan terlalu mengancam dan bisa dimasukan dalam kategori diplomasi. Ketegangan di semenanjung Korea dan memanasnya hubungan bilateral kedua negara tentu mendapat perhatian dari forum internasional. ASEAN sebagai kawasan bebas senjata nuklir pun turut memperhatikan eskalasi di semenanjung Korea, walaupun bukan sebagai pakta pertahanan namun ASEAN diharapkan mampu meredam gejolak konflik di Semenanjung Korea melalui diplomasi dan kebijakan sebagai jembatan penghubung kedua negara yang bersitegang tersebut. Begitu pula dengan posisi Indonesia, walaupun bukan negara superpower, Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di Asia bahkan di dunia diharapkan mampu berperan aktif untuk melaksanakan pendekatan diplomatik untuk mendukung upaya perdamaian kedua negara. Melalui forum internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Indonesia secara konsisten menyuarakan dukungannya terhadap dialog dan resolusi damai untuk menangani program nuklir Korea Utara. Indonesia pun turut aktif mendukung resolusi PBB yang menuntut denuklirisasi dan penerapan sanksi sebagai bagian dari upaya internasional untuk menekan program senjata nuklir tersebut.

Denuklirisasi semenanjung Korea merupakan harapan banyak pihak saat ini, mengingat ancaman nuklir Korea Utara sangat memiliki pengaruh besar bagi stabilitas kawasan Asia Timur. Pemberian sanksi ekonomi saja tentu tidak akan membuat Korea Utara gentar, harus ada upaya diplomasi kuat dari pihak internasional guna meredakan ketegangan ini. Stabilitas regional di Asia Timur sangat bergantung pada upaya kolektif dari negara-negara di kawasan tersebut akan pentingnya sebuah perdamaian.

 

Penulis : Gita Tamtama Pribadi

Bagikan Artikel Ini
img-content
Gita Tamtama

Penulis Indonesiana

1 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler