Warga Negara Indonesia, Pembaca Buku, Penonton Film, Pendengar Musik, Pemain Games, Penikmat Kopi, Senang Tertawa, Suka Berimajinasi, Kadang Merenung, Mengolah Pikir, Kerap Hanyut Dalam Khayalan, Mengutamakan Logika, Kadang Emosi Juga, Mudah Menyesuaikan Diri Dengan Lingkungan, Kadang Bimbang, Kadang Ragu, Kadang Pikiran Sehat, Kadang Realistis, Kadang Ngawur, Kondisi Ekonomi Biasa-Biasa Saja, Senang Berkorban, Kadang Juga Sering Merepotkan, Sering Ngobrol Politik, Senang Dengan Gagasan-Gagasan, Mudah Bergaul Dengan Siapa Saja, Namun Juga Sering Curiga Dengan Siapa Saja, Ingin Selalu Bebas, Merdeka Dari Campur Tangan Orang Lain. Kontak : 08992611956

Mimpi di Planet X

Sabtu, 14 September 2024 20:29 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Zara bukanlah tipe pemimpin yang mudah gentar. Puluhan misi ke berbagai penjuru tata surya telah ia pimpin, namun tidak ada yang seaneh misi ini. Sinyal misterius yang terdeteksi setahun lalu dari arah Planet X telah memicu ketertarikan global.

Oleh: Ervan Yuhenda

Di antara gemerlap bintang-bintang, jauh di luar jangkauan Bumi, sebuah kapal antariksa bernama Celestial Voyager melaju dengan kecepatan cahaya, menyusuri kehampaan ruang angkasa yang sunyi. Tujuan mereka adalah Planet X, sebuah planet yang baru ditemukan yang letaknya begitu jauh, sehingga hanya sedikit yang percaya pada eksistensinya hingga sekarang.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Celestial Voyager tidak hanya sebuah kapal penjelajah biasa. Kapal ini dilengkapi dengan teknologi tercanggih umat manusia, termasuk sistem navigasi kuantum dan perisai energi yang mampu menahan tekanan kosmik paling ekstrim. Namun, meski dengan segala kemajuan teknologi, misi ini adalah sebuah pertaruhan. Sebuah misi untuk mengungkap misteri terbesar alam semesta.

Komandan Zara Rami, seorang perempuan dengan reputasi luar biasa dalam dunia eksplorasi antariksa, berdiri tegak di jendela observasi utama, menatap lautan bintang yang seolah tak berujung. Rambut hitamnya yang terikat rapi memantulkan cahaya biru dari panel kontrol di belakangnya. Dalam benaknya, berbagai kemungkinan bergemuruh, mencoba memprediksi apa yang akan mereka temukan di Planet X.

"Dalam beberapa hari lagi kita akan tiba," kata Zara pada dirinya sendiri, seolah mencoba menenangkan kegelisahan yang tak bisa dihindari. "Hanya beberapa hari lagi."

Zara bukanlah tipe pemimpin yang mudah gentar. Puluhan misi ke berbagai penjuru tata surya telah ia pimpin, namun tidak ada yang seaneh misi ini. Sinyal misterius yang terdeteksi setahun lalu dari arah Planet X telah memicu ketertarikan global. Sinyal itu bukan hanya anomali biasa, frekuensinya menyerupai pola yang bisa diartikan sebagai komunikasi, meskipun tidak ada yang bisa memahaminya.

Ketika Zara pertama kali mendengar tentang sinyal tersebut, hatinya tergelitik oleh dorongan untuk menyelidikinya. Namun, begitu mereka semakin mendekati Planet X, kegelisahan yang awalnya hanya bayangan samar berubah menjadi kenyataan yang tidak bisa diabaikan. Semua anggota awak mulai mengalami mimpi yang sama, mimpi yang terlalu nyata untuk dianggap sebagai bunga tidur.

Di antara kru, Dr. Leila Hannigan, seorang ahli biologi dan psikiater, paling merasakan dampaknya. Sejak mereka mendekati Planet X, ia telah mencatat setiap detail dari mimpi-mimpi mereka, berharap menemukan petunjuk atau pola yang bisa menjelaskan fenomena ini. Namun, semakin ia mendalami, semakin aneh semuanya terasa.

"Zara, aku perlu bicara," kata Leila, muncul di ruang observasi dengan raut wajah serius.

Zara berbalik, menyadari bahwa Leila tampak lebih letih dari biasanya. "Ada apa, Leila?"

Leila menarik napas panjang sebelum menjawab, "Mimpi-mimpi ini… Mereka bukan sekadar ilusi atau stres karena misi. Mereka memiliki pola, dan yang paling menakutkan adalah, mimpi kita tampaknya saling terkait. Seolah-olah kita sedang berbagi pengalaman yang sama."

Zara mengangguk. "Aku juga merasakannya. Tapi apa artinya? Apakah kita sedang berinteraksi dengan sesuatu dari Planet X, atau hanya hasil dari pikiran kita yang terlalu tegang?"

Leila menggigit bibirnya, seolah ragu untuk mengungkapkan pikirannya. "Aku tidak yakin, tapi aku sangat khawatir bahwa ini bukanlah sekadar imajinasi kita saja. Ini seperti pesan, sesuatu yang mencoba mencapai kita."

Zara terdiam sejenak, membiarkan kata-kata Leila meresap. Dalam hatinya, ia tahu Leila mungkin benar. Sesuatu, atau seseorang, sedang mencoba berkomunikasi dengan mereka, tetapi apakah itu niat baik atau buruk, masih belum jelas.

Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Celestial Voyager memasuki orbit Planet X, dan semua mata tertuju pada layar utama yang menampilkan pemandangan permukaan planet. Planet X tidak seperti yang mereka bayangkan. Atmosfernya dipenuhi warna-warna yang tidak pernah mereka lihat sebelumnya di planet mana pun. Langitnya berwarna ungu gelap, dihiasi oleh kilatan cahaya yang bergerak lambat seperti aurora yang membekukan.

Ketika pesawat mulai mendekati permukaan, mereka bisa melihat lebih jelas betapa anehnya planet ini. Tanahnya berbatu, tetapi batu-batunya bersinar dengan cahaya redup yang tidak berasal dari pantulan sinar matahari, melainkan dari dalamnya sendiri. Namun, yang paling mengganggu adalah kota besar yang terlihat di kejauhan. Sebuah kota yang tampaknya sudah lama ditinggalkan, tetapi tetap berdiri megah dengan menara-menara tinggi yang tampak seperti kristal.

"Komandan, kita sudah siap untuk mendarat," suara dari kru navigasi terdengar di interkom.

"Baik, mulailah prosedur pendaratan," jawab Zara, matanya tetap terfokus pada kota misterius itu. "Kita akan mendarat di sekitar dekat kota itu."

Proses pendaratan berlangsung mulus, meskipun getaran aneh terasa saat mereka menyentuh permukaan planet. Begitu pendaratan selesai, Zara dan timnya bersiap-siap untuk meninggalkan pesawat dan menjelajah ke kota yang penuh teka-teki itu.

Pakaian antariksa mereka dilengkapi dengan semua perlengkapan yang dibutuhkan untuk bertahan di lingkungan yang tidak bersahabat, termasuk oksigen, pelindung radiasi, dan komunikasi jarak jauh. Namun, tidak ada dari mereka yang benar-benar siap menghadapi apa yang akan mereka temui di planet ini.

Zara memimpin tim keluar dari pesawat. Saat mereka menginjak tanah Planet X, sensasi aneh langsung menyerang tubuh mereka. Rasanya seperti ada tekanan yang tidak terlihat, menekan tubuh mereka dari semua sisi. Namun, yang paling mengejutkan adalah keheningan yang menakutkan. Tidak ada suara angin, tidak ada gemerisik, hanya keheningan absolut yang membuat setiap langkah mereka terasa seperti ledakan di telinga.

Ketika mereka mendekati kota, mereka mulai melihat lebih jelas detailnya. Dinding-dinding kota dipenuhi dengan ukiran-ukiran aneh yang tidak menyerupai tulisan atau gambar dari peradaban mana pun yang mereka kenal. Namun, ukiran-ukiran itu tampak memiliki pola yang berulang, seolah-olah mencoba menyampaikan sesuatu yang penting.

"Kota ini terasa… hidup, tetapi mati pada saat yang sama," bisik salah satu kru.

Leila, yang berjalan di samping Zara, memperhatikan ukiran-ukiran itu dengan cermat. "Ini bukan sekadar kota yang ditinggalkan. Ini adalah peninggalan dari peradaban yang sangat maju. Tapi ada sesuatu yang salah di sini, sesuatu yang… tidak seharusnya ada."

Zara merasakan hal yang sama. Kota ini memiliki aura yang tidak wajar, seolah-olah ada kekuatan yang lebih besar dari sekadar teknologi yang beroperasi di sini. Semakin dalam mereka masuk ke kota, semakin kuat perasaan itu, dan semakin sering mereka mendengar suara-suara aneh di kepala mereka, suara yang tidak berasal dari lingkungan sekitar, tetapi dari dalam pikiran mereka sendiri.

Mereka berhenti di depan sebuah menara besar yang tampak sebagai pusat kota. Menara itu menjulang tinggi ke langit, terbuat dari kristal bercahaya yang memantulkan cahaya ungu di sekitarnya. Di dasarnya, terdapat pintu besar yang terbuka, seolah-olah mengundang mereka masuk.

"Kita harus masuk ke dalam," kata Zara dengan suara yang penuh keyakinan, meskipun hatinya berdebar kencang. "Di sana, kita mungkin akan menemukan jawaban."

Mereka melangkah ke dalam menara, dan begitu masuk, mereka disambut oleh pemandangan yang mengejutkan. Interior menara itu jauh lebih besar daripada yang terlihat dari luar. Ruangan itu dipenuhi dengan alat-alat dan perangkat yang tidak bisa mereka pahami, tetapi jelas memiliki fungsi tertentu. Lantai, dinding, dan langit-langit semuanya bersinar dengan cahaya lembut yang berasal dari kristal-kristal yang tertanam di seluruh struktur.

Di tengah ruangan, terdapat sebuah perangkat besar berbentuk bola yang melayang di udara, dikelilingi oleh lingkaran cahaya biru yang berputar perlahan. Perangkat ini tampak seperti pusat dari segala sesuatu yang ada di menara ini.

Leila melangkah maju untuk memeriksa bola itu lebih dekat, tetapi tiba-tiba, suara gemuruh terdengar, dan lantai di bawah mereka mulai bergetar. Cahaya biru dari perangkat mulai memancar lebih terang, dan dalam sekejap, sebuah hologram muncul di hadapan mereka.

Hologram itu menampilkan sosok tinggi dengan tubuh transparan dan wajah yang tidak bisa mereka pahami. Makhluk itu tampak seperti bayangan dari dimensi lain, berdiri di antara dua dunia. Tanpa suara, makhluk itu mengangkat tangannya, dan segera setelah itu, semua orang di ruangan merasakan gelombang energi kuat yang mengalir melalui tubuh mereka, seolah-olah makhluk itu sedang memindai mereka.

Zara merasa tubuhnya menjadi ringan, dan di saat yang sama, pikirannya diserang oleh serangkaian gambar dan suara yang tidak bisa ia pahami. Ia melihat kehancuran, kebingungan, dan kegelapan yang mendalam. Namun, di balik semua itu, ada sebuah pesan yang mencoba keluar dari kekacauan itu, pesan yang sangat mendesak.

"Apa yang kau inginkan?" Zara berteriak, mencoba berkomunikasi dengan makhluk itu. Namun, tidak ada jawaban verbal. Sebaliknya, makhluk itu hanya menatap mereka dengan mata kosongnya, seolah-olah sedang menilai setiap tindakan mereka.

Leila, yang masih berdiri di samping perangkat, mulai merasakan getaran aneh di tangannya. Ia mengangkat tangannya, dan menyadari bahwa tangannya mulai bercahaya, seolah-olah disinkronkan dengan perangkat di hadapannya. "Zara, aku pikir… aku pikir perangkat ini berusaha menunjukkan sesuatu kepada kita."

Tiba-tiba, hologram berubah. Kini mereka melihat gambar-gambar kota ini di masa lalu, penuh dengan kehidupan, dengan makhluk-makhluk yang tampak seperti penghuni asli planet ini. Mereka adalah makhluk yang anggun, dengan tubuh berkilauan dan kemampuan untuk berinteraksi dengan energi di sekitar mereka. Namun, gambar itu berubah menjadi suram ketika mereka melihat makhluk-makhluk ini membuka sebuah portal ke dimensi lain.

Dari portal itu, muncul kegelapan yang melahap segala sesuatu di jalannya. Kota ini, yang dulunya penuh kehidupan, dengan cepat berubah menjadi tempat yang sunyi dan kosong. Dan makhluk-makhluk itu, yang dulunya penuh kebijaksanaan, hilang begitu saja atau mungkin, terperangkap di antara dimensi-dimensi yang mereka buka.

"Ini adalah peringatan," bisik Zara, kini menyadari keseriusan situasinya. "Mereka mencoba memperingatkan kita tentang bahaya membuka pintu ke dimensi lain. Tapi sudah terlambat bagi mereka."

Namun, sebelum Zara bisa mengutarakan pikirannya lebih lanjut, hologram itu berubah lagi. Kali ini, mereka melihat bayangan diri mereka sendiri, manusia datang ke planet ini, membawa teknologi dan ambisi untuk mengeksplorasi yang tak diketahui. Gambar itu kemudian berubah menjadi kehancuran, seperti yang terjadi pada penduduk asli planet ini.

"Ini adalah masa depan kita jika kita tidak berhati-hati," kata Leila, suaranya bergetar. "Mereka ingin kita belajar dari kesalahan mereka."

Seketika itu juga, bola cahaya di tengah ruangan mulai berputar dengan kecepatan yang meningkat. Ruangan itu dipenuhi dengan energi yang semakin liar, membuat Zara dan timnya merasa seolah-olah mereka akan tersedot ke dalam pusaran energi itu.

"Keluar dari sini!" teriak Zara. "Cepat!"

Tanpa ragu-ragu, mereka semua berlari keluar dari menara, kembali ke arah pesawat. Setiap langkah terasa seperti berlari melawan angin kencang, dan tanah di bawah mereka mulai bergetar semakin keras. Mereka tahu, jika mereka tidak segera meninggalkan planet ini, mereka mungkin tidak akan pernah bisa kembali.

Begitu mereka mencapai pesawat, Zara segera memerintahkan peluncuran darurat. Mesin pesawat meraung dan dalam sekejap, mereka lepas landas dari permukaan Planet X. Saat pesawat mulai naik, mereka melihat ke belakang, dan menyaksikan menara kristal itu runtuh, disertai dengan ledakan cahaya yang menyilaukan.

Di dalam pesawat, semua orang terdiam, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Mereka selamat, tetapi dengan harga mahal. Sesuatu telah dilenyapkan dari alam semesta, sesuatu yang seharusnya tidak pernah diusik.

Zara menatap layar utama yang menunjukkan Planet X semakin kecil di belakang mereka. "Planet itu adalah peringatan bagi kita semua," katanya pelan. "Tidak semua pengetahuan layak untuk digali, dan tidak semua misteri harus diungkapkan."
 
Leila mengangguk setuju. "Kita mungkin telah melarikan diri, tapi pengalaman ini akan terus menghantui kita. Kita telah melihat apa yang terjadi ketika batas-batas antara dunia dilanggar."

Zara tahu Leila benar. Mimpi-mimpi yang telah mereka alami bukan sekadar pesan, tetapi peringatan. Mimpi-mimpi itu mungkin tidak akan pernah hilang, tetapi mereka telah belajar satu hal, dalam pencarian tanpa henti akan pengetahuan, ada risiko yang tidak bisa diabaikan. Planet X adalah bukti bahwa tidak semua rahasia alam semesta seharusnya ditemukan.

Saat mereka melaju menjauh dari Planet X, suasana di dalam pesawat menjadi semakin tenang, tetapi bukan tenang yang menenangkan. Keheningan itu adalah keheningan yang berat, penuh dengan renungan tentang apa yang telah mereka alami. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi setelah ini, tetapi satu hal yang pasti, perjalanan mereka ke Planet X akan meninggalkan jejak yang dalam, tidak hanya pada mereka, tetapi mungkin pada seluruh umat manusia.

Di dalam kamar pribadinya, Zara duduk sendirian, menatap bintang-bintang di luar jendela. Pikirannya berkelana ke berbagai kemungkinan, apakah ada lebih banyak tempat seperti Planet X di luar sana? Dan jika ada, apakah manusia akan membuat kesalahan yang sama, atau mereka akan belajar untuk berhati-hati?

Zara tahu bahwa tidak ada jawaban pasti untuk pertanyaan-pertanyaan ini. Yang bisa mereka lakukan hanyalah melanjutkan perjalanan mereka, tetapi dengan kesadaran baru bahwa tidak semua misteri harus dipecahkan, dan tidak semua pintu harus dibuka.

Malam itu, Zara kembali bermimpi. Dalam mimpinya, ia melihat sebuah dunia yang tenang, tanpa kegelapan yang mengintai. Sebuah dunia di mana pengetahuan dan kebijaksanaan berjalan beriringan, di mana rasa ingin tahu tidak lagi menjadi kutukan, tetapi sebuah berkat. Dunia itu bukan Planet X, tetapi mungkin, di suatu tempat di alam semesta, dunia seperti itu benar-benar ada.

Zara tersenyum dalam tidurnya, dan untuk pertama kalinya sejak mereka meninggalkan Bumi, ia merasakan kedamaian. Mungkin, pikirnya, ada harapan. Mungkin, meskipun Planet X adalah peringatan, itu juga bisa menjadi pelajaran yang akan menyelamatkan mereka di masa depan.

Dan dengan pikiran itu, Zara terlelap dalam tidur yang tenang, tanpa mimpi. Pesawat terus melaju di antara bintang-bintang, meninggalkan Planet X di belakang, menuju ke ketidakpastian yang baru, tetapi kali ini, dengan kesadaran bahwa mereka tidak sendirian di alam semesta ini.

Mereka telah melihat kegelapan yang mengintai di balik tabir ruang dan waktu, tetapi mereka juga tahu bahwa cahaya masih ada di antara bintang-bintang. Dan itu adalah cahaya yang akan mereka kejar, dalam pencarian tanpa akhir untuk pemahaman dan kedamaian.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Ervan Yuhenda

Berani Beropini Santun Mengkritisi

5 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler











Terpopuler di Fiksi

img-content
Lihat semua