Book Review: Jejak Ironi Perhelatan Pilpres 2024

Senin, 16 September 2024 12:19 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pemilu 2024 yang diharapkan menjadi tonggak sejarah penting bagi konsolidasi demokrasi menuju penguatan sistem demokrasi yang substansial, ternyata justru melahirkan suatu ironi.

(Prof. Ikrar Nusa Bhakti)

Alhamdulillah. Buku saya yang kedua, yang merekam ulasan berbagai isu dan peristiwa seputar perhelatan Pilpres 2024 silam akhirnya tuntas. Dan insyaAllah, akhir September ini terbit.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Judul utama buku ini sama dengan buku pertama yang terbit Juni 2024 lalu, Pesta Demokrasi Bertabur Ironi. Tetapi dengan subjudul berbeda. Buku pertama subjudulnya “Cawe-cawe Presiden Jokowi dan Robohnya Pilar Etik,” buku kedua subjudulnya “Wakanda No More, Indonesia Forever.”

 Sebagaimana buku pertama yang diberi pengantar oleh Calon Presiden pada Pilpres 2024, Mas Ganjar Pranowo.  Buku kedua ini maunya juga diberi pengantar oleh Calon Presiden 2024 lainnya, Mas Anies Bawsedan. Terlebih lagi karena subjudul buku menggunakan quotenya beliau pada saat kampanye, “Wakanda No More Indonesia Forever.” Tetapi karena perkara teknis, pengantar Mas Anies tidak bisa saya peroleh hingga buku memasuki fase proses finishing.

Bersyukur, Profesor Ikrar Nura Bhakti, dosen sewaktu di FISIP UI dan SPs Universitas Satyagamana Jakarta, berkenan mengisi space pengantar buku dan memberinya sebuah catatan penting dan berharga. Seperti kita kenal, selain intelektual, dosen dan peneliti LIPI (sekarang BRIN) beliau pernah diamanahi menjabat Dubes RI untuk Tunisia oleh Presiden Jokowi, 2017-2021.

 

Spirit Perubahan

Buku ini, sebagaimana edisi yang pertama, merupakan kumpulan artikel yang saya tulis (dan sebagian besarnya sudah diterbitkan di beberapa media nasional, termasuk di Kompasiana), yang memuat dan mendiskusikan berbagai isu penting di sepanjang perhelatan Pilpres 2024.

Selain membahas seputar proses sengketa hasil Pilpres, berbagai problematika dan dinamika elektoral lainnya, topik yang lebih mendominasi pembahasan dalam buku ini, yang coba direkam dan disajikan kembali adalah isu perubahan yang mewarnai sejarah penyelenggaraan Pilpres 2024, bahkan jauh sebelum tahapan-tahapan pentingnya dilaksanakan.

Laksana gelombang laut, gagasan dan semangat perubahan yang diusung oleh kubu Pasangan Anies-Gus Muhaimin mengarus deras di ruang publik kala itu. Spirit ini berhadapan, atau lebih tepatnya “melawan” isu keberlanjutan yang digaungkan oleh kubu Prabowo-Gibran dan didukung Presiden Jokowi.

Perubahan. Saya sendiri memahami konsep ini sebagai sebuah keniscayaan, natur dalam kehidupan. Tentu saja yang dimaksud adalah perubahan yang terukur, bukan asal ubah. Perubahan yang bermakna pembaruan dan perbaikan atas berbagai sisi lemah dan kurang dari apa yang telah dihasilkan sebelumnya.

Di atas semangat itu pula, lebih dari sekadar merekam peristiwa, kumpulan tulisan ini dibukukan. Yakni semangat merawat perubahan dan perbaikan yang harus terus dilakukan dari waktu ke waktu, dari periode ke periode, oleh siapa saja yang mendapat amanah rakyat.  

 

Ironi yang Mencederai

Di dalam catatang pengantar buku ini, Profesor Ikrar Nusa Bhakti menulis: “Pemilu 2024 yang diharapkan menjadi tonggak sejarah penting bagi konsolidasi demokrasi menuju penguatan sistem demokrasi yang substansial, ternyata justru melahirkan suatu ironi. Betapa tidak. Reformasi politik yang terjadi sejak lenggsernya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998 yang diharapkan dapat mengubah praktik politik di Indonesia dari sistem otoriter menuju demokrasi, ternyata terhenti, kalau tidak dapat dikatakan bahkan mengalami kemunduran, setelah reformasi berumur 26 tahun.”

 Sebagaimana saya ungkapkan pada judul buku ini, Pilpres 2024 lalu memang ditaburi berbagai ironi yang tidak terbayangkan sebelumnya akan terjadi. Deretan ironi itu sudah dimulai sejak fase prakandidasi Pilpres yang ditandai oleh insecuritas partai-partai politik dalam menyiapkan bakal pasangan calon Presiden-Wakil Presiden di tengah harapan publik terhadap kemandirian dan integritas partai politik sebagai kanal infrasatruktur demokrasi elektoral paling penting.

Ironi berikutnya terjadi pada saat akan memasuki masa pendaftaran pasangan Capres-Cawapres. Yakni ketika Majelis Kehormatan MK menyatakan dengan lugas bahwa telah terjadi pelanggaran etik oleh Ketua MK pada saat mengadili dan memutus perkara Nomor 90 terkait syarat usia Capres-Cawapres.

Ironis tentu saja, karena selain merupakan lembaga tinggi negara benteng penjaga keadilan sekaligus the guardian of constitution, MK juga merupakan lembaga pengadil terakhir dalam sengketa hasil Pemilu termasuk Pilpres. 

Selain di MK, pelanggaran etik juga terjadi (bahkan berulang kali) di lembaga KPU sebagai penyelenggara Pemilu justru di tengah desakan publik agar KPU menjaga integritas dan menjunjung tinggi moralitasnya sebagai penyelenggara Pemilu.

Selain terampasnya kedaulatan dan kemandirian partai serta terjadinya pelanggaran etik, irona demokrasi elektoral juga terjadi dalam berbagai gejala yang memperlihatkan pemihakan Presiden dan sejumlah pembantunya di pemerintahan terhadap salah satu pasangan Capres-Cawapres di tengah gencarnya para pihak (termasuk pemerintah) mengkampanyekan secara verbal pentingnya aparatur negara dan pemerintah menjaga netralitas.

 

Salam 4 Jari, Dirty Vote, dan Amicus Curiae  

Dipicu oleh berbagai ironi itulah dinamika perhelatan Pilpres kemarin itu telah melahirkan sejumlah peristiwa penting yang patut direkam dan dijadikan pengingat sejarah elektoral agar bangsa ini tidak menjadi keledai yang terjerumus dua kali pada lubang bahaya yang sama. 

Diantara peristiwa-peristiwa penting itu adalah munculnya Gerakan Salam 4 Jari oleh sekelompok anak muda kritis, film dokumenter Dirty Vote yang dibuat oleh tiga orang akademisi, dan Amicus Curiae yang disampaikan kepada MK oleh berbagai kelompok Masyarakat, termasuk ratusan akademisi dan intelektual dari kampus. Buku ini merekam semua peristiwa penting itu.

Gerakan Salam 4 Jari adalah kampanye yang dilakukan oleh sejumlah aktifis sebagai bentuk kegelisah publik atas perhelatan Pilpres yang diwarnai berbagai ironi dan problematika tadi. Salam 4 Jari memiliki 4 makna simbolik sebagai berikut.

Pertama, pentingnya membangun kekuatan koalisi paslon Nomor 1 dan 3 melalui tangan kita sendiri (tangan rakyat, bukan elit). Kedua, artikulasi peneguhan komitmen atas Sila ke-4 Pancasila: “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan” yang berarti dari, oleh dan untuk rakyat (demokrasi) melalui musyawarah mufakat. Ketiga, isyarat internasional untuk tanda bahaya dan/atau meminta pertolongan. Keempat, simbol azas kekuatan politik baru (ke-4) yang lebih progresif melawan oligarki dan politik dinasti.

Sementra itu Dirty Vote, film dokumenter akademik berdurasi hampir 2 jam memuat narasi; mengurai fakta-fakta, menjelaskan persitemalian antara satu fakta dengan fakta lainnya, serta opini analitik perihal desain kecurangan Pemilu 2024.

Mulai dari inkonsistensi pernyataan-pernyataan Jokowi terkait isu pencalonan Gibran dan soal netralitas aparat negara, penempatan orang-orang Jokowi di sejumah daerah dalam jabatan Pejabat Gubernur, Bupati dan Walikota, percepatan pemekaran Papua menjadi 6 provinsi, mobilisasi para Kepala Desa, kasus putusan MK Nomor 90, politisasi Bansos, dan ketidaknetralan para pembantu Presiden di kabinet.

Terakhir Amicus Curiae atau "Sahabat Pengadilan" (Friends of the Court). Yakni pihak-pihak yang merasa berkepentingan terhadap suatu perkara sehingga mendorong mereka untuk memberikan pendapat hukumnya kepada pengadilan, dalam kasus ini adalah Mahkamah Konstitusi.

Amicus Curiae ini, seperti juga Gerakan Salam 4 Jari, film documenter Dirty Vote dan beberapa peristiwa lain sejenis, hadir sebagai respon publik atas berbagai fenomena yang dinilai tidak sehat dalam kontestasi Pilpres dan nyata-nyata dapat mencederai proses demokrasi.

Secara moral, Amicus Curiae dimaksudkan mendorong para hakim konstitusi untuk memiliki keberanian mengambil putusan obyektif dan adil. Sebagaimana diungkapkan oleh Megawati melalui tulisan tangannya menyertai dokumen Amicus Curiae yang diajukannya kepada Mahkamah Konstitusi, 16 April 2024:

Rakyat Indonesia yang tercinta marilah kita berdoa semoga ketuk palu MK bukan merupakan palu godam, melainkan palu emas, seperti kata Ibu Kartini pada tahun 1911 habis gelap terbitlah terang sehingga fajar demokrasi yang telah kita perjuangkan dari dulu timbul kembali dan akan diingat terus menerus oleh generasi bangsa Indonesia. Amin ya rabbal alamin.”

 

                                                                                                                                                                            

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Agus Sutisna

Penulis Indonesiana | Dosen | Pegiat Sosial

6 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler